Lalu aku terdiam. Bukan tak mau bilang pada ibu, melainkan aku sepintas merenung....
Besok hari ibu, kita belum menyiapkan apa-apa untuk memberikan 'sesuatu' yang spesial untuknya.
Barangkali memang beliau tidak meminta apa-apa pada kita, tapi apakah hanya satu tahun sekali saja, kita tak bisa memberikan sesuatu yang 'wah'?
Memang benar, memberikan sesuatu yang berharga, apapun itu, tidak harus di hari ibu - tiap hari juga bisa. Tapi apakah di hari, yang banyak orang mengkhususkannya, kita menyuruh beliau untuk meminjam uang???
Rasanya cukup, kita merepotkan orang tua kita selama kita sekolah, dulu. Meski 'hanya' sampai jenjang D3 atau S1, itu perjuangan yang luar biasa untuk seorang ibu yang hanya lulusan SD.
Aku yang paling malu, brother. Engkau memiliki kesempatan untuk menuju mimpi-mimpimu, dengan kecerdasanmu. Engkau masuk sekolah unggulan, banyak teman, telah mengenal banyak lingkungan. Cobalah lihat adikmu ini. Tubuh kerempeng. Lulusan sekolah berandalan. Saat SD pernah tak naik kelas. Tak punya teman 'high-class' sepertimu. Engkau pasti bisa, untuk tidak menjadikan ibu kita merendahkan diri lagi - dengan meminjam - pada orang lain. Cukuplah kita yang bekerja keras. Sudah cukup bagi mereka, untuk direpotkan kita lagi, meski 'hanya' meminjam uang. Sudah cukup rasanya membebani orangtua dengan mengurus kita sejak lahir sampai berumah tangga. Kapan lagi kita mau memberikan kesempatan kepada orangtua untuk penuh beribadah sepanjang waktu di hari tuanya.
Karena aku yang paling -katakanlah- memalukan dalam keluarga ini, aku berani mengorbankan kenikmatan masa mudaku untuknya. Engkau berkeliling Jawa berikhtiar menjemput jodoh, sedangkan aku? Banyak wanita datang, bahkan merelakan tubuhnya kunikmati gratis, namun itu semua tak terlihat berharga daripadanya. Semua upahku dalam bekerja, aku bagi dua, untukkeponakan kita yang dalam pesantren, dan untuknya. Saat beliau bertanya,"Uang kamu buat kamu. Nanti kamu nggak bisa beli apa-apa," apa jawabku?
"Ma, aku sudah tak menginginkan apa-apa lagi," yang aku pikirkan adalah, HOW TO SAY THANK'S TO YOU, MA???
Namun aku tahu, dan itu pasti, engkau juga paham bahwa terkadang kita tak bisa memaksa Tuhan untuk memenuhi keinginan (kebutuhan?) kita, meski kita beribadah hingga lelah. Terkadang kita harus sabar bahwa apa yang kita rencanakan, Ia (Tuhan) sangat mampu untuk membatalkannya. Aku yakin, engkau saat itu sedang khilaf.
Tenggelam Dalam Hitam
Kelopak mata ini terbuka
Kelopak mata ini terbuka
Awalnya aku menangis
Manusia di ujung mata mulai tersenyum tipis
Manusia pertama yang kulihat
Kata mereka aku boleh memanggilnya ibu
Ia menimang dengan irama senandung malam
Begitu seterusnya…
Hingga aku tenggelam dalam hitam
Aku hidup dalam tidurku
Sepasang mata terus perhatikan raga mungil ini
Perlahan wujud itu mengais pipi ini dengan lembut
Lalu wujud itu berkata
“Ia malaikatmu, dan ini adalah mimpimu”
Malam itu aku menangis…
Tangisan yang memecah sunyi di belantara sepi
Ia terbangun dengan setengah mata terbuka
Lalu…
La menimang dengan irama senandung malam
Begitu seterusnya…
Hingga aku tenggelam dalam hitam
Sampai di ujung umurnya
Aku selalu mengucap do’anya
Di sepertiga malam tanpa riuhnya
Aku mulai belajar bagaimana hidup mengukir kisahnya
Begitu sempurna…
Aku mulai belajar bagaimana waktu berguguran mengurai cerita cintanya
Begitu sempurna…
Kata mereka tidak ada yang sempurna
Perlahan aku tercekat dalam kata-kata
Angin utara yang mendesak
Membuatku tak berkutik membuat jejak
Aku dihantui putus asa
Bagaimana jika aku tak sanggup?
Bagaimana jika aku gugup menghadapi hidup?
Sampai pada suatu akhir aku tersungkur
Sekarang siapa?
Siapa yang akan menimangku dengan irama senandung malam hingga aku tenggelam dalam hitam?
Disaat ketenangan mulai menghasutku
Aku teringat wujud rapuh itu
Ya aku ingat…
Kata mereka aku memanggilnya ibu
“Tak perlu menjadi sempurna, hanya untuk sekedar mengejar mimpi dan asa, jadilah yang terbaik, lalu kejar angan tanpa harus menoleh berbalik,”
Itu pesan terakhirnya
Pesan yang ia bawa dipelukan sang lahat
dan di batu nisan itu namanya dipahat
Karya : Z. Hanif
Manusia di ujung mata mulai tersenyum tipis
Manusia pertama yang kulihat
Kata mereka aku boleh memanggilnya ibu
Ia menimang dengan irama senandung malam
Begitu seterusnya…
Hingga aku tenggelam dalam hitam
Aku hidup dalam tidurku
Sepasang mata terus perhatikan raga mungil ini
Perlahan wujud itu mengais pipi ini dengan lembut
Lalu wujud itu berkata
“Ia malaikatmu, dan ini adalah mimpimu”
Malam itu aku menangis…
Tangisan yang memecah sunyi di belantara sepi
Ia terbangun dengan setengah mata terbuka
Lalu…
La menimang dengan irama senandung malam
Begitu seterusnya…
Hingga aku tenggelam dalam hitam
Sampai di ujung umurnya
Aku selalu mengucap do’anya
Di sepertiga malam tanpa riuhnya
Aku mulai belajar bagaimana hidup mengukir kisahnya
Begitu sempurna…
Aku mulai belajar bagaimana waktu berguguran mengurai cerita cintanya
Begitu sempurna…
Kata mereka tidak ada yang sempurna
Perlahan aku tercekat dalam kata-kata
Angin utara yang mendesak
Membuatku tak berkutik membuat jejak
Aku dihantui putus asa
Bagaimana jika aku tak sanggup?
Bagaimana jika aku gugup menghadapi hidup?
Sampai pada suatu akhir aku tersungkur
Sekarang siapa?
Siapa yang akan menimangku dengan irama senandung malam hingga aku tenggelam dalam hitam?
Disaat ketenangan mulai menghasutku
Aku teringat wujud rapuh itu
Ya aku ingat…
Kata mereka aku memanggilnya ibu
“Tak perlu menjadi sempurna, hanya untuk sekedar mengejar mimpi dan asa, jadilah yang terbaik, lalu kejar angan tanpa harus menoleh berbalik,”
Itu pesan terakhirnya
Pesan yang ia bawa dipelukan sang lahat
dan di batu nisan itu namanya dipahat
Karya : Z. Hanif
Ibu
Ibu telah beranjak sepuh,
Dan kau telah beranjak dewasa
Waktu yang biasanya mudah dan tanpa upaya,
Kini menjadi beban
Saat mata terkasihnya nan setia
Tak mampu menerawang seperti dahulu
Ketika kakinya mulai lelah dan enggan menyokong tubuhnya lagi,
Saat itu tiba,
Berikanlah tanganmu untuk menguatkannya
Temanilah ia dengan kegembiraan dan sukacita
Saatnya tiba,
Kau akan terisak menemaninya
Dalam akhir perjalanan hidupnya
Dan saat ia bertanya padamu,
Jawablah selalu dengan hormat
Dan saat ia bertanya lagi,
Tetap jawablah dengan sopan,
Dan saat ia bertanya lagi lain kali,
Bicaralah padanya
Bukan dengan kemarahan
Namun dengan hati yang lembut
Seperti saat kau ditimangnya dahulu
Dan jika ia tak mampu mengertimu dengan baik,
Jelaskan semuanya dengan sukacita
Waktu akan tiba
Saat yang getir,
Ketika lisannya tak akan bertanya lagi
Karya.... Kau tahu puisi di atas karya siapa??? HITLER. Boleh percaya boleh tidak, lihat saja di Buku 'SI CACING DAN KOTORANNYA 2' karya Ajahm Brahm.
Ma, Aku Ingin Mama Bahagia
Kau tak pernah mengandungnya,
Tapi ia pernah mengandungmu
Merasakan tendangan-tendangan kaki kecilmu
Yang membuatnya kesakitan
Kau tak pernah memandikan
Membersihkan kotorannya,
Kecuali saat ia telah lanjut usia
Itu saja
Ia memandikan,
Membersihkan kotoranmu dengan bahagia,
Tapi engkau,
Melayani atau bahkan membersihkan kotorannya,
Dengan hati yang enggan,
Atau bahkan pertanyaan,"Kapan ibuku ini dijemput-Nya?"
Kau tak pernah menyekolahkannya,
Tapi ia,
Dengan segala pengorbanan hidupnya
Ingin melihatmu bahkan hingga memakai toga
Dan bekerja di ruangan yang nyaman
Dan saat kau menikah,
Dengan enaknya kau tinggalkan ia,
Menengoknya hanya saat lebaran saja,
Mengutamakan istri daripadanya,
Memberikan uang receh dan sisa untuknya,
Karena istrimu lebih menyenangkan daripada ia yang tua
Lihatlah rambutnya yang telah beruban,
Matanya yang lelah karena mendidik kita,
Tubuhnya yang ringkih termakan usia,
Pandangan dan ingatan yang semakin berkurang,
Apa kau masih menunda, untuk berkata,
"Ma, Aku ingin mama bahagia. Apapun keinginan mama, akan aku lakukan,"
Sebelum ia mendahului kita,
Atau sebaliknya,
Karya : Aku
Selamat Hari Ibu, 22 Desember 2012