Hujan
Jika hujan ibarat tangisan
Maka kemungkinannya ada dua alasan
Karena kesedihan
Atau bisa jadi kebahagiaan
Tapi alam tak mungkin menangis
Hanya bisa hujan
Entah sedih melihat anak-anak muda berpesta zina
Atau menatap manusia-manusia tua yg pikun dosa
Atau, ia bahagia
Memandang kaum jelata
Yang masih mengharap utopia pahala
Ah, entahlah...
Hujan,
Seperti cinta
Menyirami bumi yg dulu mati
Seperti cinta yg selalu menyegarkan hati
Karena apakah bumi dulu mati?
Penghancuran manusia tak tahu diri,
Bencana besar pada saatnya mengakhiri
Bumi,
Menjadi hancur
Mati,
Tapi tidak hilang
Karena apakah hati mati?
Penghancuran akan cinta yg dikasihi
Lalu hidup terasa hancur
Sebagian menutup diri
Separuh lagi mencari Sang Penguasa Hari
Hati hancur,
Mati
Tapi tidak hilang
Menunggu kembali cinta mengaliri
Seperti hujan yg menghidupkan bumi lagi
Maka kemungkinannya ada dua alasan
Karena kesedihan
Atau bisa jadi kebahagiaan
Tapi alam tak mungkin menangis
Hanya bisa hujan
Entah sedih melihat anak-anak muda berpesta zina
Atau menatap manusia-manusia tua yg pikun dosa
Atau, ia bahagia
Memandang kaum jelata
Yang masih mengharap utopia pahala
Ah, entahlah...
Hujan,
Seperti cinta
Menyirami bumi yg dulu mati
Seperti cinta yg selalu menyegarkan hati
Karena apakah bumi dulu mati?
Penghancuran manusia tak tahu diri,
Bencana besar pada saatnya mengakhiri
Bumi,
Menjadi hancur
Mati,
Tapi tidak hilang
Karena apakah hati mati?
Penghancuran akan cinta yg dikasihi
Lalu hidup terasa hancur
Sebagian menutup diri
Separuh lagi mencari Sang Penguasa Hari
Hati hancur,
Mati
Tapi tidak hilang
Menunggu kembali cinta mengaliri
Seperti hujan yg menghidupkan bumi lagi
Ambisi
Menanjaklah tinggi ke langit. Tapi jika hatimu
tertinggal di bumi, kau akan sadar dan bertanya pada diri sendiri,"Untuk
apa semua ini?"
Aku juga pernah muda -sekarang juga masih muda kali, memiliki ambisi dari mimpi-mimpi. Tapi, di satu ujung 'jalan' -kerja keras, aku tersadar. Ambisi, menjadikanku tega mengorbankan orang-orang yg (katakanlah) lemah. Mengesampingkan orang-orang yg ku sayangi : keluarga, teman, hati kecilku sendiri. Aku memang harus berubah, tapi cukup secara pelan-pelan. Ambisi menjadikan pandanganku mantap ke depan, dan dengan tak sadar banyak kaki-kaki yg ku injak saat berjalan.
Aku juga pernah muda -sekarang juga masih muda kali, memiliki ambisi dari mimpi-mimpi. Tapi, di satu ujung 'jalan' -kerja keras, aku tersadar. Ambisi, menjadikanku tega mengorbankan orang-orang yg (katakanlah) lemah. Mengesampingkan orang-orang yg ku sayangi : keluarga, teman, hati kecilku sendiri. Aku memang harus berubah, tapi cukup secara pelan-pelan. Ambisi menjadikan pandanganku mantap ke depan, dan dengan tak sadar banyak kaki-kaki yg ku injak saat berjalan.
Pada akhirnya, aku mengumpulkan kembali mimpi-mimpiku, lalu membiarkannya 'terbang' dan hinggap di dahan manapun. Tetap keras bekerja, namun hidup mengalir tanpa meninggalkan orang-orang yg membutuhkan.
Mimpi-mimpi memang indah. Dan dengan tetap bekerja keras, pasti kita akan sampai kesana. Tapi hakekat dunia adalah penderitaan. Tercapai atau gagal, masalah akan tetap datang. Sedangkan ambisi, menguatkan pikiran, namun mengebiri perasaan -hati. Mungkin ini hanya untukku, bahwa pencapaian yg pertama harus diraih adalah, hati yg lepas, ikhlas. Hati yg sadar, bahwa hidup adalah permainan, tak ada yg tak berakhir, saling merusak dan memperbaiki, juga tak ada yg benar-benar kita miliki, semuanya mengalir, bergilir. Pencapaian utama adalah sampai pada hati yg tenang, meski raga terus bekerja keras. Tidak ada dunia yg bisa kita nikmati, jika diri penuh ambisi. Karena nikmat yg paling enak, sesungguhnya 'hanya' 2 : rasa sehat dan waktu luang.
Menanjaklah tinggi ke langit mimpi-mimpi, tapi saat hati tertinggal di bumi, pencapaian itu rasanya seperti mati : bayangan ketakutan. Di akhir kehidupan, pertanyaan absurd akan berdatangan. "Untuk apa semua ini? Kemana orang-orang yg dulu menemaniku? Mengapa pencapaian ini tak membuatku tenang?" tapi, lebih baik terlambat (sadar) daripada tidak sama sekali.
Anggap saja ini omong kosong
Anggap saja ini omong kosong, kebohongan.
Berceritalah seorang kepala sekolah yg masih muda, bahkan dari para guru. Ia bercerita pada para guru dan siswa :
Berceritalah seorang kepala sekolah yg masih muda, bahkan dari para guru. Ia bercerita pada para guru dan siswa :
Tidak ada toleransi pada kecurangan. Bersikap jujur memang tidak semudah saat membicarakannya. Karena kejujuran bukanlah untuk dibicarakan panjang lebar. Melainkan untuk dipraktekan dalam kehidupan, seberat apapun.
Para siswa membenciku, karena tidak toleran pada kebiasaan mencontek. Kejujuran memang seringkali tidak enak, tapi itu adalah watak yg oleh Tuhan ditancapkan dalam hati seseorang. Sekali tertancap, oleh apapun tidak akan tercerabut. Memang bersikap jujur itu tak enak, aku pernah tak naik kelas karena itu. Aku memang berandalan. Bukan lulusan SMA unggulan -seperti bapak dan ibu guru. Tapi aku berusaha menjauhi kecurangan -yg membuat orang dirugikan.
Aku bukan hanya ingin mengubah sekolah ini, tapi juga seluruh sekolah di bangsa ini. Oh, bukan, bukan aku, tapi kita. Kita akan mengubah pendidikan bangsa ini. Jika tak mau, maka tak usah dipikirkan. Ini hanya untuk yg mau -berjuang- saja. Ibu dan bapak guru yg tak mau, pikirkan saja bagaimana mengajar dengan baik -lalu sertifikasi atau menjadi PNS. Itu sudah lebih dari cukup.
Begitu ia mendongeng sebelum rapat dimulai. Ia dan kakaknya (yayasan) memiliki idealisme yg tak nampak. Berpenampilan rakyat, tapi memegang semangat yg kuat. Mereka sadar, perbaikan terjadi pelan-pelan. Karena perbaikan instan, akan banyak yg dikorbankan. Mereka merangkul, mendorong semangat, dan menuntun perlahan, demi mimpi yg dicita-citakan. Menggenggam beratnya kejujuran, menahan lapar, tersenyum pada hinaan, dan tak mau kalah dengan ujian kehidupan.
Anggap saja ini omong kosong di pagi hari...