Dimanakah Kebahagiaan Berada? Dimanakah Tuhan berada?

Java Tivi
0

"Ada sesuatu yang sangat ingin ku peluk, meski ku sadar itu tak bisa. Bukan tentang seseorang yang sangat kucintai, tapi seseorang yang telah lama ku tinggalkan pergi, yang telah begitu lama ku lupakan karena kehidupan ...."

Dimana kah Kebahagiaan Berada?
Dimanakah Tuhan berada?

Lima hari meringkuk di bangsal pesakitan, ternyata memang ada yang ingin diajarkan kehidupan padaku. Apa? Ini petualangan intelektual picisan saat terbaring lemas...

Tuhan adalah satu-satunya yang kekal. Dari kita lahir sampai kita mati, Ia tetap seperti 'itu' : tidak berubah, dekat, di sini (tanpa tanda kutip) dan saat ini (tanpa tanda kutip). 

Jika Ia dekat, di sini, dan saat ini, mengapa kita tak dapat melihat-Nya?

Orang-orang beriman akan berkata pedas (dan para ateis akan merasa merdeka), "Murtad kau, mengatakan dapat 'melihat' Tuhan saat ini, dan di sini!"

Tidak, teman. Kita beriman, yakin, karena kita tidak 'melihat-Nya'. Kita 'hanya' yakin, bahwa Ia, ada. Silahkan berdalil. Lalu, apakah orang-orang yang 'telah melihat Tuhan', ia akan meninggalkan ajaran para Nabi? 

Dalam kamus teosofi, tidak ada kata 'iman'. Karena iman hanya untuk mereka yang 'buta' (tak mampu 'menatap' Tuhan). Itu untuk para teosof barat, mereka menganggap agama bukan urusan ketuhanan, melainkan 'kearifan' dan peribadatan. Semua ibadah sama, selama itu mengkotinyuitaskan 'penglihatan' mereka akan Tuhan. Tapi Tuhan agama-agama, mereka menertawakan (geli), lebih khususnya lagi pengkhayalan manusia akan Tuhan-Tuhannya : semua agama tanpa terkecuali.

Bagaimana dengan teosof muslim? Pemahaman esoteris dan 'kekayaan' kebijaksanaan mereka, menjadikan banyak penjelasan yang sengaja disembunyikan. Terlepas beberapa teosof yang mengungkapkan 'perasaannya' saat itu (penyingkapan), mereka mengungkapkan dengan kata-kata yang susah dipahami oleh orang-orang seperti kita. 

Hampir berbeda dengan teosof barat, para teosof muslim tetap melakukan peribadatan, bahkan bukan hanya ibadah ritual dan sosial, tetapi juga akal dan hati. Untuk apa? Bukankah mereka telah 'menatap' Tuhan sejelas mereka melihat diri di depan cermin? Hanya dengan kontinyuitas cara kebaikan-lah, mereka akan tetap 'menatap' Tuhan. Dan ibadah (ritual, sosial, akal, dan hati) adalah kebaikan yang satu 'paket'. Lalu, dimanakah Tuhan berada? Belum, cerita belum selesai.

Dimanakah kebahagiaan berada? Kesehatan, kekayaan,kemewahan, pesta, kepuasan, bakat, kecantikan, pencapaian/kesuksesan, kecerdasan, apakah itu yang menjadi sumber kebahagiaan? Atau, hanya kebaikan-lah yang bisa mendatangkan kebahagiaan? Satu yang pasti, kebahagiaan tidak pernah datang atau pergi, hilang atau ditemukan. Ia ada, dekat, disini, dan saat ini.

Kebahagiaan adalah kebahagiaan. Dari lahir sampai kita mati, kebahagiaan akan tetap (tidak berubah menjadi kesedihan).Ia -kebahagiaan- tidak datang atau pergi, dan tidak berada di luar diri kita (Happiness there is not your outside, but inside), Ia -kebahagiaan- selalu dekat, di sini, dan saat ini. Jika sumber kebahagiaan berada di luar diri kita (kekayaan, etc), selain itu konyol (kita tidak terlahir dengan itu!), itu semua bisa pergi dan hilang. Kebahagiaan adalah kekal, tetap, tidak pernah berubah menjadi apapun.

Kebahagiaan terletak dalam apa yang kita miliki sejak lahir, bawaan dari alam tak berwujud. Ia -kebahagiaan- berada di dalam diri kita sendiri (apa itu) yang, bahkan tak dapat dicuri oleh nasib apapun. Seseorang yang memenangkan lotre, dapat hadiah mobil, lulus dan dapat kerja memuaskan, dapat pacar seksi, itu tidak akan membuatnya bahagia, melainkan sebatas rasa senang yang membawa konsekuensi di belakangnya. Rasa senang hanya satu ruangan kecil di dalam ruang besar bernama Kebahagiaan. Dan lagi, kebahagiaan itu tanpa konsekuensi, gratis, tanpa kekhawatiran apapun. 

Rasa senang justru membuat kita seringkali bersikap berlebihan. Dan semua kesenangan, apapun itu, bisa hilang dari genggaman kita. Kebahagiaan tak bisa hilang, ia selalu ada, seperti Tuhan. Satu yang perlu kita pahami, kebahagiaan (saat kita 'menatapnya' secara total dan terus menerus) kita tidak akan merasa begitu senang, tidak akan melompat kegirangan setelah kita 'menemukannya' : Kebahagiaan. Setelah kita 'menemukanya'-kebahagiaan- kita tak akan merasa bulan bersinar begitu terang benderang, matahari panas terasa sejuk, angin sepoi-sepoi : tidak. Sebaliknya, kita 'hanya' merasakan ketenangan konstan, tetap, ketenangan yang tak bisa berubah, dalam segala tindakan yang kita lakukan : dalam kesusahan ataupun kemudahan.

Lalu, dimanakah kebahagiaan itu?

Segala suara yang memberontak atau menentang, itu pasti muncul dari kepala atau pikiran. Sebaliknya, suara hati, selalu menemani, menuntun, mendukung. Ini, bagiku, yang disebut KEBAHAGIAAN : Senyawa antara aku dan suara kedalaman jiwaku. Kebahagiaan tidak berada dalam nasib. Karena hidup tersiksa atau biasa, pikiran akan selalu memberontak. Sebaliknya, suara kedalaman jiwa akan selalu menenangkan, menemani, mendukung apapun yang akan kita lakukan dalam hidup ini. Suara kedalaman jiwa, ada sejak kita lahir, dan akan tetap ada bahkan saat kita sekarat : ia tidak pernah berubah. Tangis, tawa, gerak kita saat bayi, itu 'darisana' : suara kedalaman jiwa. Suara hati, seiring membesarnya tubuh, hidup kita, ia semakin lirih terdengar. Dan kita, bahkan menganggapnya tidak ada, seringkali. Kita menganggap bahwa kebahagiaan terletak pada nasib mujur, kesuksesan, kekayaan, keberlimpahan, pikiran yang cemerlang. Itu memang lebih disukai, tapi kebahagiaan tidak berada di sana. Justru sebaliknya, bahagia itu mudah : jangan berpikir. Tapi sering-seringlah berdialog dengan suara kedalaman jiwamu. Ia, selalu menunggumu menyapa.

"Ada sesuatu yang sangat ingin ku peluk, meski ku sadar itu tak bisa. Bukan tentang seseorang yang sangat kucintai, tapi seseorang yang telah lama ku tinggalkan pergi, yang telah begitu lama ku lupakan karena kehidupan : suara kedalaman jiwa,"

Lalu, bagaimana dengan Tuhan? Dimanakah Ia berada? Itu... Tidak gratis. ^_^
Tags

Post a Comment

0Comments
Post a Comment (0)