"Seorang pemimpin pejuang tak boleh meninggalkan gelanggang perang, meski orang-orang di sekitarnya, membangkang dan membuangnya. Bagaimana seseorang akan berjuang di medan laga, jika dunia di sekitarnya saja ia tak dapat memenangkan?"
Sabtu, 23 Juni 2013
Pengambilan rapot nampaknya telah rampung. Ada yang 'istimewa' saat pembagian rapot tahun ini. Orang tua siswa, dan jamaah POMG (Pengajian orangtua murid dan guru) mendapat kupon beras murah dan pengobatan gratis : Kerjasama sekolah dan lembaga sosial kemanusiaan. Seperti perencanaan dadakan sebelumnya, program beras murah dan pengobatan gratis adalah rangkaian acara dalam Harlah (hari lahir) sekolah ini. Apa saja susunan acaranya :
- Santunan 50 anak yatim tanggal 14 Juni 2013
- Karya wisata / piknik ke Purwahamba Indah (Purin) tanggal 17 Juni 2013
- Pengobatan gratis dan bazar beras murah tanggal 23 Juni 2013
- Pengajian selamatan tanggal 23 Juni 2013
- Santunan 50 janda tanggal 5 Juli 2013
Untuk santunan anak yatim, janda, dan pengobatan gratis, semua dana dari lembaga sosial kemanusiaan tersebut. Bahkan, setelah saya ceritakan 'dreamschool', dengan desain sederhana yang saya buat, beliau berkata,"Susun saja pak, berapa total dana yang digunakan sekolah ini, insya allah akan saya bantu," rencana kami, 2014 lepas dari segala bantuan yang bersangkutan dengan pemerintah. Dana pemerintah, 3/4 adalah hutang. Hutang, cenderung riba. Dan riba, menahan berkah. Untuk apa hidup kaya, jika kita tak dapat menikmati dan berbagi pada mereka yang lemah?
Awal bulan Juni, banyak orang tua murid yang bertanya, dan menuntut,"Pak, piknik jadi nggak? Nanti kayak kemarin-kemarin, cuma omong tok?" yang disebut 'kemarin-kemarin' adalah saat kakak saya yang jadi kepala sekolah ini. Tapi, saya tak mungkin berkata : Kepala sekolah sekarang itu saya, bu. Saya!
"Insya Allah jadi, bu," jawab saya pendek. Padahal, saya pusing tujuh puluh keliling, dari mana saya dapat uang untuk piknik, sedangkan orangtua siswa kebanyakan tidak mampu : menginginkan piknik gratis?
"Uangnya dari mana pak?"
"Allah, hehe," setiap kami ditanya seperti itu, hanya jawaban tersebut yang bisa kami ucapkan. Jika dihitung dengan logika, adanya sekolah ini adalah suatu kemustahilan. Perjuangan ini, sungguh di luar perhitungan akal. Sebut saja, kami adalah orang-orang miskin yang sok pahlawan membela orang-orang teraniaya di negeri ini. Karena kebanyakan orang kaya dan penguasa, mereka tertidur nyaman di kasur dan istri yang empuk.
Dan sekitar tanggal 5 Juni, berita baik datang dari Hongkong (terdengar gila, bukan?). "Afa, aku udah kirim 'sekian rupiah' tinggal ambil saja di WU (western Union)," kurang lebih seperti itu.
"Iya, nanti tak ambil. Sebelumnya terima kasih banyak ya," sebenarnya, saya bukan tipikal 'peminta-minta', sekalipun atas nama sejumlah kaum menderita. Karena itu, saya tekadkan, setelah buku-buku saya terbit, ia yang akan pertama mendapatkannya : semuanya 5 buku kontemplasi. Saya kira, yang ia kirim beberapa ratus ribu (200-300rb) karena katanya mau menyumbang untuk membeli samsak, atau alat tinju, untuk anak-anak saya yang cengeng. Tapi ternyata, ya ampun, barangkali memang Tuhan memiliki banyak 'tangan' yang tak terduga. Masya Allah, lahawla wa la quwwata illa billah....
Dana itupun kami gunakan untuk piknik siswa. Sepeserpun, siswa tak dipungut biaya. Alhamdulillah.
Terkadang saat aku berbaring di kamar, rangkaian kehidupan ini benar-benar menyesakan. Tapi, untuk apa menangis? Itu sedikitpun tak akan menyelesaikan masalah. Walaupun, menangis memang tidak cenderung karena kesedihan. Bisa jadi karena kebahagiaan. Tapi tentang hati yang terluka, tentu tidak mudah untuk menyembuhkannya. Luka lama yang tergores di masa lampau, sampai kini belum benar-benar terobati. Lebih berat rasanya merelakan seseorang yang kita cinta bersanding dengan yang lain, daripada memutuskan hubungan di tengah perjalanan atau bahkan rasa pahitnya tertolak. Kau ingin tahu, perjuangan seperti apa yang ku alami disini? Mari, sini, berkunjung ke tanah lahirku. Akan ku perlihatkan orang-orang awam yang menyiapkan lehernya, untuk diqurbankan oleh mereka yang memiliki wewenang : Harta, tahta, komplotan preman. Akan ku tunjukan wajah-wajah keputusasaan, bukan karena mereka tak mampu berjuang, tapi penghalang yang begitu tajam, kejam. Gelar akademismu disini, menjadi bahan ejekan. Ulama penghapal kitab yang tak turun kerja bakti akan teranggap sesat. Engkau tak boleh marah, dendam, benci, pada dunia yang seperti ini. Kebencian hanya akan membuatmu kembali ke belakang : kekalahan mental, keputusasaan. Hanya ada satu jalan : Teruslah berjuang!
Engkau yang masih tertidur di kamar dan kasur empuk yang nyaman, akan menganggap tempat ini nerakaba'ts. Batas antara neraka, dan dunia. Engkau yang hanya 'memakan' buku saat menuntut ilmu, disini akan menjadi bahan tertawaan. Engkau yang berani, sebaiknya melangkah dengan hati-hati. Bukan karena resiko mati, tapi orang-orang lemah yang engkau lindungi. Engkau yang berani, tak bisa meninggalkan tempat ini, karena kau akan menjadi (Nabi) Yunus, pejuang yang lari dari tugasnya.
Malam hari, pertengahan bulan Sya'ban, 23 Juni.
Persiapan pengajian telah selesai. Sesuai rencana, pengajian akan diadakan di sekolah, selepas isya. Kabar buruk (?) pertama, datang dari seorang teman.
"Fa, guru kita (Habib Abdul Hadi bin Zain Baraqbah) nggak bisa hadir. Dan grup rebana juga nggak bisa malam ini,"
Aku menepuk kening. Lalu ku kabarkan pada panitia. Mereka kaget.
"Beliau nggak bisa datang? Waduh! Nanti siapa yang akan 'memarahi' ustadz-ustadz 'itu'?"
Aku menghela nafas, menggelengkan kepala. Di masyarakat ortodoks ini, dejarat keturunan rasul (ahlul baith, Habaib) cukup penting.
Kabar selanjutnya, datang dari orang kami, yang rumahnya dekat sekolah.
"Pak, ustadz madrasah mendadak akan mengadakan rapat nanti malam." apa maksudnya? Kita tak diperkenankan memakai gedung sekolah untuk pengajian masyarakat. Kita diusir dari bangunan yang kita buat sendiri. Dengan alasan? Para ustadz orang-orang desa itu, sedangkan kami, meski leluhur kami juga asli desa itu, disebut kaum pendatang. Lalu, apakah pengajian tetap diadakan, jika diundur, bagaimana dengan makanan yang sudah siap? Jika tetap diadakan, dimana tempatnya?"
Ba'da isya, kami bergerak cepat. Meminjam kursi, meminjam rumah saudara dekat sekolah, dan membawa makanan ke rumah itu, untuk diadakan pengajian. Acara pengajian sekolah, dilakukan di rumah warga, yang bukan termasuk orangtua murid. Luar biasa.
Saat ustadz pembicara kami datang, beliau bertanya, "Itu, di sekolah, ada acara apa?"
Saya jawab,"Rapat madrasah (MDA), tadz. Kita nggak boleh bertembat disana,"
Beliau mengucap istighfar, menggumam, "Tidak bisakah rapat seperti itu diundur? Ini acara masyarakat, acara sekolah, malah diadakan di rumah warga? Astaghfirullah..."
Jika kami ibarat Nabi Yunus, kami tak punya wahyu yang menandakan kesucian kami. Tapi, perjuangan ini harus terus berjalan. Tidak tahu sampai kapan, tidak tahu sampai apa, niat dan mimpi kami tak akan pernah terlupa. Terkadang, seorang pemimpin pasukan memilih berunding sebelum berperang. Bukan karena ia takut mati, tapi terlebih kekhawatiran orang-orang lemah yang dilindunginya. Tapi saat perundingan gagal, pasukan yang kuat akan menahan pukulan, seberat apapun. Dalam pukulan-pukulan yang ia terima, ia belajar semakin kuat, dan saatnya siap, kami akan memaafkan, tapi tetap saja ada yang harus dikalahkan.