Rabu, 21 Agustus 2013
Jika
tak pernah dimulai, kisah beberapa hari ini tak akan terabadikan, menjadi tamparan pengingat di masa depan. Hari
Senin kemarin, sekolah mulai berangkat. Hanya sampai jam 9, karena ada
halalbihalal guru dan kepala sekolah se-kecamatan. Ada tiga siswa baru
mendaftar. Suara hatiku benar lagi, takdir kali ini bukan sekedar 15 siswa,
tapi lebih. Ini bisa jadi anugerah, atau, masalah. Anugerah jika kami mampu
memberikan pendidikan yang terbaik untuk mereka. Pendidikan yang baik bukan
berarti pendidikan tanpa kesalahan. Kami manusia biasa, mudah salah dan lupa.
Melainkan selalu memperbaiki diri dalam setiap kesalahan yang dilakukan. Atau,
menjadi masalah, jika kami tak mampu, lalu mendidik mereka seenaknya saja.
Tanpa aturan main, tanpa instruksi, tanpa arah yang jelas.
Halalbihalal
ternyata cuma salaman bergilir. Banyak sekali ternyata. Sempat malu sebenarnya,
apalagi setiap kepala sekolah diminta berjejer, disalami para guru. Aku merasa
tak pantas. Meski diberikan amanah sebagai pimpinan, tapi rasanya lebih pantas
menjadi orang-orang yang berbaris menyalami para pejabat di depan. Setelah
selesai sakramen maaf-memaafkan, guru pulang, sedangkan kepala sekolah makan
siang bersama.
Di
sana, bertemu dengan kepala sekolah A, yang ternyata satu kelompok mengaji
(liqo) dengan suami guru yang mengundurkan diri. Saya ceritakan sedikit, tapi
karena ia ada keperluan, ia mempersilakan untuk main ke rumah.
“Bahkan,
surat pemberhentiannya belum saya tanda tangani pak. Karena memang kami hanya
meminta dukungannya, dengan menyekolahkan anaknya ke sekolah kami. Karena memang
kami sedang butuh murid. Kami sekolah yang baru dirintis. Tapi dia dengan tegas
bilang, ‘Tanda tangani saja langsung, pak. Sekarang,’. Saya tidak menganggap
itu sebagai tantangan, meski Juli lalu dia juga sudah pasrah, nampaknya mau
mengundurkan diri. Saya tidak mengedepankan ego, pak. Betul, dia mengedepankan
ego, ‘Anak anak saya, mau di sekolahkan di mana juga terserah saya,’ saya
sebenarnya bisa saja menjawab, ‘Sekolah sekolah kami, siapa saja guru yang
tidak mendukung, kami persilahkan untuk mengundurkan diri,’ tapi kan enggak.
Bahkan hari itu surat pemberitahuannya belum saya tanda tangani, karena memang kami
masih membutuhkan tenaganya, sekalipun dia mempercayakan sekolah lain untuk
mendidik anaknya,”
Hari
Selasa, kami juga pulang jam 9. Memang ada halalbihalal di balai kota, tapi
hanya kepala sekolahnya saja. Saya persilahkan guru yang mengundurkan diri itu
untuk mengambil surat referensi kerja dan sedikit honor. Tapi dia meminta
dititipkan saja ke guru temannya. Waktu saya balas smsnya, “Silahkan ambil
sendiri, bu.” Karena memang ada yang harus ditandatangani, ia membalas :
“Kenapa
sih anda senang mempersulit orang? Saya sudah menerima anda memberhentikan saya
dengan tidak hormat, tidak etis, tidak waktu ajaran baru ketika sekolah-sekolah
membuka lowongan guru baru seperti sekolah anda yang menerima guru baru saat
ajaran baru. Terima kasih atas penderitaan yang anda berikan pada saya. Saya
cuma minta surat-surat itu dititipkan ke teman saya. Semoga tidak ada guru yang
bernasib seperti saya,”
Ketika
dia sms itu, saya baru saja muntah-muntah, setelah memakan (makanan syubhat?)
sajian makan siang di balai kota. Tubuh lemas, tak bisa apa-apa. Orangtua dan
kakak-kakak saya bingung, ini anak kenapa pulang-pulang muntah sebanyak itu?
Sama
sekali badan lemas itu belum sembuh, tugas-tugas dari dinas pendidikan dan
kementerian agama menanti jam itu juga. Tapi aku memilih istirahat, sejenak.
Mengapa tidak ditugaskan ke guru lain? Aku memiliki prinsip, tidak akan
menugaskan seorang gurupun jika aku belum mengajari cara mengerjakannya. Karena
aku pernah berada dalam posisi itu. Tidak ada yang menemani, mengajari,
menuntun, tapi harus mengerjakan semua tugas administrasi. Aku sudah terlalu
biasa, menanggungjawabi sesuatu yang tidak aku kerjakan. Dan benar, muntah-muntah
setengah dua, setengah lima aku sudah bisa bangkit. Aku kerjakan semua tugas,
hingga membeli cd-rw untuk burning data. Orang tua dan kakak-kakak saya heran,
ini anak tadi muntah-muntah tak karuan, kok sekarang sudah gedebukan (kerja keras) lagi?
Malamnya,
bahkan aku ke counter henpon teman. Mau ambil duit pulsa modem yang gagal di
transfer. Setelah itu, menelepon Pak A, karena kemarin bilang main ke rumahnya
saja buat membicarakan persoalan guru yang mengundurkan diri itu. Tapi waktu
ditelepon, katanya baru saja keluar, sedang ada acara di kelurahan.
Hari
ini, ada sosialisasi bantuan operasional sekolah (bos) dari kementerian agama.
Acaranya sih dijadwal jam setengah delapan. Tapi baru mulai jam Sembilan. Waktu
istirahat makan siang, ada seorang ibu kepala sekolah yang mengkonfirmasi
pengunduran diri guru X.
“Pak,
bu X diberhentikan hanya gara-gara anaknya di sekolahkan di sekolah lain ya?”
“Bukan,
bu. Bukan hanya karena itu. Kesalahan administrative dan etika profesinya
sangat keterlaluan. Tapi kami (sekolah) masih bisa memaafkan itu, seandainya bu
X mempercayakan pendidikan anaknya di sekolah kami. Sekolah kami baru dirintis,
bu. Butuh tambahan siswa. Tapi dia malah mempercayakan anaknya ke sekolah lain.
Selain itu, satu-satunya guru yang berani memerintah kepala sekolah, ya bu X
itu. Contoh, pernah beberapa kali ada anak kelas satu berak di celana, bu X
guru kelas satu, tapi malah dengan enaknya mengatakan, ‘Biar Pak Afa saja yang
mengantarnya pulang,’ katanya ke guru lain. Dia mau memerintah, tapi diminta
bekerja, apalagi administrasi, dia enggan. Kenapa tidak diundurkan di bulan
Juli, saat sekolah-sekolah menerima pendaftaran guru baru? TF (tunjangan
fungsional) dan Arusbah senilai 2 juta 3 ratus tidak akan ia dapatkan jika
keputusan diambil bulan Juli. Saya rasa uang itu hak dia,”
“Ooo..
keras begitu ya orangnya,” nampaknya beliau paham.
Selepas
maghrib, kakak saya, mantan kepala sekolah kami, bertanya, “Bu X itu mengadu ke
kepala sekolah-kepala sekolah lain. Kemarin dia ke Bu S, dan mengadukan kamu.
Bu S sempat terpancing, ‘Berani sekali kepala sekolah yang baru menjabat itu
memberhentikan guru yang sudah bekerja 3 tahun?!’,” pantas, Bu S menanyakan itu
siang tadi.
“Sudah
aku ceritakan sebagian besar tadi siang. Dan sepertinya – mudah-mudahan, beliau
paham,”
Kata
siapa jalan perjuangan ini mudah, nyaman, damai? Seseorang yang mencintai
perdamaian bukan berarti ia lemah. Aku tak melawan ketika orang-orang
menginginkan perang denganku, bukan berarti aku takut kalah. Seorang yang kuat
dan berotak, tak akan menggunakan kekuatannya untuk menyakiti siapapun. Jangan
mengajak perang seseorang yang tak menginginkannya. Aku tumbuh di jalanan,
tempat yang sangat jauh dari kata nyaman. Memberhentikan truk di lampu merah,
itu kebiasaanku, untuk menumpang gratis menuju kota lain. Aku tumbuh dalam alam
pikiran yang mengerikan. Berdebat dengan Tuhan, itu makanan keseharianku, saat
ku masih muda dulu. Tidur di pinggir jalan, halte, emper masjid yang menjadi
jalan raya tikus dan kecoa, itu sudah sangat biasa. Dunia ini benar-benar bukan
tempat yang nyaman. Bukan karena orang-orangnya jahat, tapi karena
orang-orangnya menginginkan perang pada lawan yang mencintai perdamaian.
Orang-orang dangkal.