Engkau terlahir dengan suatu alasan, (II)

Java Tivi
0
Senin, 12 Agustus 2013

            Setiap segala sesuatu tercipta dengan suatu alasan yang benar. Tidak ada yang tercipta dengan sia-sia. Semua memiliki alasan, walaupun terkadang tidak masuk akal. Kata siapa akal mampu menerawang maksud Tuhan? Aku ajak untuk belajar dari laba-laba, begini dialog-ku dengannya :

Matsaluladzinat takhodzu mindunillahi awliya a kamatsalil ‘ankabut. Ittakhodzat baiyta.. Wahai, laba-laba, buat apa sih kau bikin rumah? Rumahmu itu selemah-lemahnya rumah, mudah rusak,” tanyaku.

“Tapi, segala sesuatu yang hidup, butuh rumah. Bahkan, Tuhan kita juga ‘butuh rumah’,” jawabnya.

“Tapi kan, kau seakan hidup percuma. Kau bikin rumah, lalu rusak, bikin, rusak lagi, bikin lagi, rusak lagi. Kan capek,”

“Hidup ini ya capek, yang penting kan bahagia. Aku butuh rumah, selain utnuk sejenak istirahat, juga menangkap mangsa,”

“Kau bahagia dengan tugas hidup yang seperti itu? Buat rumah capek-capek, lalu rusak dengan mudahnya…”

“Ya, aku bahagia. Lampauilah alasan untuk apa hidupmu, maka kau akan merasa bahagia dalam kesia-siaan. Hamba yang terdekat dengan-Nya adalah mereka yang bahagia dengan apapun keadaannya. Dalam kesedihan atau kesenangan, ia biasa saja,” katanya. “Kau sudah bicara dengan nyamuk? Belajar-lah darinya,”
Lalu aku menemui nyamuk.

“Aku disuruh Laba-laba menemuimu. Tapi, jika dipikir-pikir, hidupmu ini tragis. Kau bisa mati jika hidup seperti itu,”

“Maksudmu dengan menghisap darah manusia?” tanya nyamuk.

“Yap,”

“Tapi aku butuh makan,”

“Iya, tapi kau bisa mati jika hidup seperti itu,”

“Tapi aku bahagia dengan hidup yang seperti ini. Resiko kematian adalah bayangan kebahagiaan terbesar,” katanya.

Aku jadi ingat kata-kata Budha, bahwa hidup adalah penderitaan. Tapi, mereka bisa hidup bahagia dalam kesia-siaan seperti itu?

Bahagia dalam kesia-siaan? What the f#ck?!

Perenunganku melayang, sampai pada kesimpulan, bahwa anugerah Tuhan yang terbesar tidak akan dapat diberikan pada mereka yang menutup pikiran. Bahwa kebahagiaan, ada di dalam keserbacukupan, kemapanan, kekayaan. Bagaimana Tuhan akan memberi sesuatu yang besar pada kita, jika tangan kita selalu terisi penuh : dengan kesombongan yang tak disadari. Bagaimana Tuhan akan memasukan cahaya cinta dalam hati kita, jika kita selalu menutup pintunya? Bagaimana mungkin kita akan diberikan keikhlasan, kebahagiaan seperti nyamuk, laba-laba, atau binatang perumpamaan yang lebih rendah dari itu, jika tangan-tangan kita selalu tertutup?
Dunia-ku memang menyempit setelah kelulusanku dari kuliah. Gerak kaki-ku hanya sebatas rumah-kandang sapi-tempat rumput-sekolah-rumah. Tapi pikiran dan imajinasiku akan terus ku buka, dan ku alirkan pada mereka yang membutuhkan. Aku tidak menutup diri dari apapun, juga tidak menyimpan apapun di dalam diri ini. Semisal cinta, aku tidak munafik. Sampai hari ini aku masih mencintai seseorang yang, sekalipun menolakku dengan amat sangat memalukan, tapi aku tak pernah membencinya. Tentu, saat aku muda, rasa sakit itu menghendaki pembalasan dendam. Tapi bukan dengan menyakiti, melainkan pengorbanan untuk kemanusiaan. Dan itu aku buktikan. Apa karena mengharap ia tahu dengan, katakanlah, kehebatan pengorbananku? Ah, tidak, tidak. Itu hanya dilakukan manusia berjiwa kerdil. Betul, bahwa kesombongan bersembunyi dalam setiap ungkapanku aku tak menginginkan apapun, aku tak mengharap apapun lagi, tapi itulah kenyataannya. Aku selalu mendoakan dia, agar mendapat seorang pria yang mendukung cita-citanya. Hidupku di sini selalu merendah, sedangkan ia meninggi, ingin melanjutkan karirnya. Itu mengapa, barangkali masa lalu, penolakan yang sangat menyakitkan itu, merupakan pelajaran berharga. Bahwa cinta, bukan selalu hanya urusan individu semata. Cinta universal, terpancar dari Tuhan untuk alam semesta.

Pagi tadi seperti biasa, pergi ke kandang sapi jam 7. Tapi, ternyata kakak mulai kesakitan, barangkali kecapean. Aku tersenyum saat mendengar keluhan beliau. Aku bercanda pada bapak, “Apa mau gantian, saya di kandang dan beliau menarik becak membawa tumpukan rumput?” bapak malah tertawa. Paham, bahwa membecak itu lebih berat daripada bekerja di kandang. Tapi, tidak ada pekerjaan yang berat, jika kita menyenanginya. Dan tidak ada pekerjaan yang ringan, jika kita tidak menyukainya. Sangat jarang orang yang menyukai pekerjaan, yang tidak disukai banyak orang. Apa misalnya? Ya itu, membersihkan kotoran sapi, atau membecak.
Siang istirahat. Kakak ipar nampaknya sakit. Mungkin gara-gara kemarin aku pinta untuk membantu mencari rumput. Ah ya ampun, ceroboh sekali aku ini. Maafkan aku.

Sore sebelum ashar, coba download film Death Note 3 : L Change The World, tapi gagal bae. Asem iz. Sinyalnya sejelek tampang gue. Hehe.

Tapi, kata-kata bahagia dalam kesia-siaan, itu benar-benar menyadarkanku akan ‘diriku’ saat tersesat ketika kuliah dulu. Kata para sufi, ada jalan termudah untuk mencapai Tuhan, yaitu dengan pengorbanan, qurban, mirip hidup para kambing. Mereka makan, gemuk, lalu diqurbankan begitu saja, tanpa batu nisan tanpa tahlilan tanpa kenang-kenangan. Jalan terdekat adalah jalan pengorbanan pada umat manusia, hingga kita kehilangan diri sendiri. Tanpa tuntutan, tanpa permintaan, tanpa ingin diperhatikan, tanpa minta dianggap ada, tanpa pengharapan, tanpa keluhan. Bahwa kita adalah mereka. Perasaan terluka mereka, meresap dalam perasaan kita. Hingga kita melampaui alasan kita untuk hidup, bahwa kita hidup butuh ini, butuh itu, ingin ini, ingin itu, lenyap dalam kekosongan kesia-siaan. Bahagia dalam ketiadaan. Life for nothing. Happiness zero.

Tags

Post a Comment

0Comments
Post a Comment (0)