Kamis, 15 Agustus 2013
Ini cerita rumit.
Sekitar jam 3 sore (12 Agustus lalu), teman saya yang baru menikah 4 bulan, ditelepon istrinya, “Mas, aku lagi di guru ngaji kita, beliau pengin ketemu,”
“Wah, aku lagi di Cirebon. Lagi menenangkan pikiran,” ia ingin menceraikan istrinya yang baru 4 bulan dinikahi.
Sekitar jam 8 malam, putra bungsu guru mengajinya menelepon, “Kamu lagi dimana? Dicari abah, disuruh kesini,”
“Wah, saya lagi di kakak saya, di Wonosobo,”
Lalu guru mengaji kami pun gondok, “Ini anak menyebalkan sekali. Saya yang meng-akidkan dia, kok dia seakan tak mau dibantu untuk menyelesaikan persoalannya?” kata guru mengaji kami. “Sana, susul dia, bawa kesini, kalau perlu seret kalau dia tak mau,” ucap beliau pada putra bungsunya.
Lalu secara kebetulan saya mengirim sms pada teman saya itu sekitar jam 8-an juga, “Kapan mau silaturahim ke guru ngaji kita?”
Balasnya, “Nanti, saya tenangkan pikiran dulu,”
Jam 9.30 malam, saya ditelepon putra bungsu guru mengaji kami, “Kamu lagi dimana? Abah kangen sama kamu, tak tunggu di rumahnya anu (teman saya itu) ya? Sekarang!” saya yang menjadi saksi pernikahan teman saya itu, sekaligus yang mengenalkan dia pada guru mengaji kami.
“Ok, saya langsung ke sana,” rasa capek setelah menggembala seharian pun lanjut sampai sekitar jam setengah dua pagi, hari selasa.
Di rumah guru mengaji kami, sepasang suami istri ini ‘disidang’. Si istri tak mau cerai, tapi suami keukeuh tak mau bersatu lagi. Dan alasan di Cirebon dan Wonosobo itu, adalah kebohongannya belaka.
Persoalannya apa sih???
Kita kembali ke bulan April 2013
Tanggal 14 April 2013
“Fa, temani aku ke guru mengaji kita. Aku mau nikah, dan aku pengin beliau yang meng-akidkan,”
“Ok, kapan?” tanyaku.
“Besok malam ya?”
“Ok, Insya Alloh,”
Tanggal 15 April 2013 di rumah guru
“Kapan akidnya?” tanya guru.
“Tanggal 21, guru,” jawab teman saya.
“O, kalau begitu, nanti jemput saya ya sebelum jam-nya,”
“Insya Allah, guru,”
Beliau tak bertanya kenapa tiba-tiba teman saya yang sudah berabad-abad tak pernah mengaji, tiba-tiba muncul, meminta di akid-kan, tanpa guru kami tahu seluk-beluknya : ini yang nantinya jadi ‘prahara’.
Tanggal 16 April 2013 di perjalanan menuju rumah mempelai perempuan
“Kamu kenal dia sudah berapa lama, X (nama samaran teman saya)?” tanyaku.
“Sekitar 2-3 bulan,” jawabnya polos. Ia memang terkenal anak polos dari kami SMA (dulu kami satu kelas saat SMA selama 3 tahun).
“Kenapa cuma diberi waktu satu minggu?”
“Ya… dari keluarga sana mintanya begitu,”
Dalam hati saya, “Jangan-jangan….”
Lalu kami ke petugas pencatat nikah.
“Umumnya, paling cepat itu selisih 10 hari, mas, sebelum hari H,” kata petugas.
“Iya, pak,”
“Ini… tidak terjadi apa-apa kan ya?” maksudnya, tidak terjadi perzinaan sebelum pernikahan.
“Enggak, pak, enggak,”
Tanggal 17 April 2013
“Mas, aku mau pinjam jas,” kata X pada kakaknya, lewat telepon.
“Pinjam jas? Buat apa?
“Buat akid nikah aku,”
“Hah??? Akid? Kapan? Kok nggak diberi tahu ke keluarga?”
“Nanti hari minggu mas, tanggal 21 April,”
Tanggal 18 April
Semua keluarga X ribut, marah, mengumpati adiknya sendiri. Ternyata, ia tak memberi tahu keluarganya, bahwa ia mau menikah. Ini yang akan menjadi sebab ‘prahara’ di kemudian hari.
Tanggal 20 April, malam hari di rumah guru mengaji
“Katanya baru kenal beberapa bulan, guru. Saya khawatir, X itu disuruh menanggungjawabi perbuatan yang tidak ia lakukan. Dia itu orangnya sangat amat polos. Calon istrinya itu dua bulan yang lalu kerja di Cengkareng, tapi tiba-tiba pulang, dan memberi tenggat waktu satu minggu pada X untuk menikahinya,” ceritaku pada guru.
Tanggal 21, hari H akid pernikahan X
Waktu saya jemput guru mengaji kami, beliau kelupaan bahwa hari itu adalah hari pernikahan X. selanjutnya, ketika di tengah perjalanan menuju rumah mempelai putri, kami tersesat, nyasar. Ketiga, ketika akid akan dimulai, kitab doa dan maulid tertinggal di rumah. Saya dan putra bungsu guru kami akhirnya kembali ke rumah beliau untuk mengambil kitab tersebut.
Di sini sudah mulai janggal. Biasanya, jika beliau mendapatkan masalah saat akan meng-akidkan seseorang, pasti ada sesuatu yang disembunyikan mempelai tersebut. Tapi, kami enggan berburuk sangka lebih jauh.
Senin malam, X dijemput putra bungsu guru mengaji saya. Ia sebenarnya tak mau, karena dia takut di konfrontir dengan istrinya. Saya akhirnya turun tangan, agak memaksa dia untuk menemui guru mengaji kami, karena selain saya yang menjadi saksi pernikahannya, guru mengaji kami-lah yang meng-akidkannya. Ia dan istrinya di marahi habis-habisan. Teman saya itu ternyata takut, setelah tahu bahwa berkeluarga itu tak seindah ketika pacaran. Mereka ternyata pacaran sudah tiga tahun lamanya. Dia berbohong saat April lalu saya tanya, sudah kenalan berapa lama. Dua tahun berkomunikasi, lalu satu tahun lost-contact. Entah bagaimana caranya, si X kembali mengirim sms pada istrinya itu sekitar bulan Maret lalu. Istrinya bilang, akan dilamar oleh orang Pandeglang, Serang. Si X cemburu buta. Ia menyeruduk mengambek.
“Kamu kok begitu tega sih? Kamu pacaran sama aku, kok nikahnya sama orang lain?” rengeknya.
“Ya.. sekarang sih udah nggak aneh kali, pacaran sama siapa, nikah sama siapa,”
“Nggak, nggak bisa! Minggu depan aku mau pulang dari sini (Bandung, tempatnya bekerja). Aku mau ke rumah kamu buat melamar kamu,” kata X.
“Eh? Kok begitu? Kalau aku nggak mau pulang gimana?”
“Ya aku susul kamu ke Cengkareng,”
Sekitar bulan Mei setelah pernikahan, si istri ikut bekerja di Warteg X ; ia bos warteg kakaknya. Banyak kesalahan yang ia lakukan, yang membuat seluruh keluarga X tersinggung. Jika aku baca, si X itu anak polos, istrinya juga sama : sama-sama orang yang baru mengenal pahitnya hidup.
Kami pulang dari rumah guru, hari Senin, eh, Selasa pagi jam setengah dua. Paginya, setelah saya menggembala, sekitar jam 11 siang, saya diminta kakak-kakak X untuk membantu adiknya yang polos itu. Dalam posisi, saya ini belum menikah, bagaimana bisa saya mengurusi prahara orang yang berkeluarga??
“Intinya, si X ini pilih siapa? Pilih keluarganya atau istrinya?”
X pun bingung. Jika ia memilih istrinya, ia tak akan punya pekerjaan lagi. Warteg yang kakaknya berikan akan diambil lagi, karena si istri terlalu awam untuk menjadi seorang istri. Jika memilih keluarganya, ia berarti harus menceraikan istri yang baru 4 bulan dinikahinya.
Setelah mengerti dengan kebohongan-kebohongan yang dibuatnya, saya pun ikut marah.
“Elu tuh brengsek. Ngerjain gue sama guru ngaji. Elu boleh ngerjain gue, temen lama elu. Tapi jangan keterlaluan dong, sampai guru ngaji gue elu libatin, tanpa cerita sedikitpun sebelum kalian nikah. Elu kan udah komitmen, beli (ijab kabul) istri lu dari emak bapaknya, padahal dia udah ada yang mau beli orang Pandeglang. Lah, sekarang elu udah ngerasainenaknya (malam pertama) terus elu mau ninggalin begitu aja? Kenapa elu nggak kePeleman (lokalisasi PSK) aja? Tinggal bayar cepek (seratus ribu), lu udah dapat puas, lu tinggal pulang ke rumah tanpa beban!”
Kami pun tak berkomunikasi lagi. Seorang teman SMA saya yang bareng mengaji juga di guru ngaji kami, sangat amat kaget saat mendengar cerita ini. “Si X begitu??? Masya Alloh… nggak nyangka di balik kepolosannya dia kurang ajar. Berani sekali dia melibatkan guru kita,” Rumit, rumit, rumiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiitttttttttt…………………!!!!!!!