Hujarat, 12

Java Tivi
0
Serial Jon Quixote de la Indonesia
               
Seperti biasa, sore hari selepas ashar, aku hendak menemui teman karibku, Jon. Sore itu ada yang beda, ternyata dia ada acara di POMG (Pengajian Orangtua Murid dan Guru). Dan Jon akan menjadi penceramah untuk sore itu. Temanku yang satu ini memang unik. Tidak pernah membatasi diri dalam pekerjaan apapun. Terkadang menjadi pembicara (public speaking), terkadang menjadi pesulap amatir, penyanyi asal-asalan, penyair, tukang becak, kuli angon sapi, dan kesehariannya adalah sebagai guru SD. Sebenarnya ia tak mau jika disuruh berceramah, ia lebih suka diskusi. Tapi, sudah menjadi takdir Jon, untuk melakukan pekerjaan yang tidak disukainya, atau bahkan tidak disukai kebanyakan orang : contohnya ya membersihkan kotoran sapid an mbecak.

                “Aku ikut, dong?” pintaku.

                “Boleh, ayuh,” jawab Jon singkat sambil menyalakan motor bututnya.

                “Biasanya elu nggak mau disuruh ceramah, Jon?”

                “Biasanya kakak gue. Tapi karena beliau berhalangan hadir, ya harus tetap ada yang mengisi,”
Sesampainya di rumah siswa yang mendapat giliran tempat, si Jon duduk di dekat pintu.

                “Assalamu’alaikum warahmatullohi wabarakatuh…” ia mulai membuka ceramah. “Alhamdulillahirabbil ‘alamin. Allahuma sholli ‘ala sayyidina Muhammad wa ‘ala ‘ali sayyidina Muhammad. Qolallohu ta’ala fil qur’anil karim, Ya ayyuhaladzinaj tanibu katsirom minadzoni, inna ba’dlo dzoni itsmu wa la tajassasu wa la yaghtab ba’dlukum ba’dlo… al ayah…

                “Ibu-ibu ingkang kawulo mulyaken (Ibu-ibu yang saya muliakan, si Jon pakai bahasa planetnya saat ceramah). Barangkali selama satu minggu ini banyak yang bertanya-tanya, alasan apa sih yang menjadikan dua guru mengundurkan diri, atau bahasa kasarnya, diberhentikan. Dalam mukodimah tadi, saya kutipkan satu ayat, Suroh Al Hujarat ayat 12. Ya ayyuhaladzinaj tanibu, wahai orang-orang beriman jauhilah, katsirom minadzoni, banyak dari prasangka. Inna ba’dlo, sesungguhnya sebagian (besar), dzonni itsmu, prasangka adalah perbuatan kejam, jahat, syetan. Wa la tajassasu, dan jangan engkau cari-cari kesalahan orang, wa la yaghtab, dan jangan engkau menggunjing, menghina, menjelek-jelekan, ba’dlukum ba’dlo, sebagian orang atau kelompok lain.

                Seorang wai murid kelas dua bertanya, ‘pak, katanya bu x diberhentikan ya?’ saya jawab, ‘iya, tapi saya nggak bakal menjelaskan pada banyak orang mengapa beliau diberhentikan. Biarkan saya yang terlihat kejam, biarkan saya yang terlihat zalim.’ Jika kita mengaku orang yang beriman pada Tuhan kita, Allah, jauhilah dari pembicaraan kita, atau bahkan pikiran kita dari prasangka jelek. Karena, prasangka itu lebih dekat pada membicarakan kejelekan orang lain. Seorang muslim yang salih, ia tidak akan membuka kesalahan-kesalahan muslim lain, sekalipun orang tersebut sangat menyebalkan (orang sulit/wong angel). Karena pada hakekatnya, semua muslim itu bersaudara. Kecuali, para auliya Allah, Nabi Khidir misalnya. Ketika Nabi Musa menginginkan berguru padanya, beliau sudah mengatakan, ‘Kamu nggak bakalan kuat,” karena pandangan seorang auliya itu melewati batas ruang dan waktu. Kita ‘kan sanes (bukan) auliya, tapi manusia yang banyak… dosa…hehe,” Jon berceramah.

                Wa la tajassasu, dan janganlah kita cari kesalahan-kesalahan orang lain, wa la yaghtab, dan juga jangan menggunjing, menghina, menjelek-jelekan sesama muslim yang lain. Memang disini saya serba salah, sebagai pengambil keputusan, jika saya membuka kesalahan-kesalahan guru tersebut, saya termasuk muslim yang jahat. Allah melarang kita menjahati saudara kita seiman. Tapi jika tidak dijelaskan pada orangtua siswa yang bertanya, akan sangat dicurigai bahwa saya memang kejam, zalim, otoriter. Tapi… Terkadang seorang muslim yang memegang teguh keislamannya lebih memilih dituduh seperti itu, daripada mmbiarkan dirinya menyalahi aturan Allah dan rasulullah. Saya tidak merasa sudah menjadi orang benar, saya anak muda, umur saya masih 24 tahun, dibandingkan dengan ibu-ibu, saya masih perlu banyak belajar.”

                Wa la yaghtab, dan jangan menjelek-jelekan muslim lain, sekalipun sebenarnya ia memang buruk watak dan akhlaknya. Saya tidak berbicara dosa disini, karena, terkadang kita meremehkan ancaman sebuah dosa, karena memang dosa tidak terlihat seperti polisi atau penagih hutang (debt collector). Tugas kita, tawashouw bil haq tawashouw bish shobr, mengingatkan dalam kebenaran dan kesabaran. Kita mengingatkan seseorang, jika memang seseorang tersebut melakukan ketidakbenaran. Begitupun sebaliknya, kita jangan marah jika diingatkan tentang kebenaran. Setelah kebenaran kita sampaikan, tapi ternyata orang yang disampaikan tidak mau paham, maka bersabarlah. Berbeda kejadiannya, jika kita berada dalam dunia administrative, atau lembaga. Jika memang kita tak mau dipahamkan, maka satu-satunya cara adalah memberhentikan.”

                Baiklah, demikian apa yang dapat saya sampaikan. Kita sama-sama belajar. Ada nasehat yang mengatakan, jika engkau tak tahu, aku pun sama. Karena kita berdua tak tahu, kita tak akan saling mengajari, tapi saling belajar bersama. Kurang lebihnya mohon maaf, al’afwu minkummatur suwun saking wekdal ingkat diparing (terima kasih atas waktu yang diberikan), Asslamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh…”

                Lalu aku berbisik di belakang Jon, “Naehat itu kan elu sendiri yang bikin. Tinggal bilang saja identitasnya, susah amat,”

                “Itu etika. Di depan orangtua, masayarakat umum, secerdas apapun kita, sebaiknya merendahkan hati. Terlebih lagi, aku kan tidak begitu cerdas,” Jon tersenyum.

                “Halahhh… merendah aja, dasar lu,” kami meminum teh yang disajikan.

Post a Comment

0Comments
Post a Comment (0)