Jumat, 16 Agustus 2013

Java Tivi
0

            Sampai sekarang, aku belum menemukan jawaban mengapa hidupku ini begitu konyol? Seakan jeda di tengah-tengah frekuensi waktu, hanya menjadi saat istirahat sejenak. Setelah itu? Hentakan-hentakan persoalan kehidupan pun menyerang, kembali. Sampai kapanpun, manusia tak akan pernah bisa menghentikan kedatangan masalah atau musibah. Karena yang manusia bisa adalah, menyikapi dengan baik dan benar bagaimana menyelesaikan permasalahan itu. Apa yang harus dilakukan ketika musibah datang? Katakanlah, Innalillahi wa inna’ilaihi roji’uwn… sesungguhnya, segala hal berawal dan akan kembali pada Allah. Lalu, apakah setelah mengucapkan itu, permasalahan tuntas? Sama sekali, tidak! Lalu apa? Berjuanglah!

            Seperti nyanyian Tagore :

Izinkan aku untuk tidak berdoa agar dilindungi dari marabahaya, melainkan untuk tidak takut menghadapinya.
Izinkan aku untuk tidak memohon agar disembuhkan dari kepedihan, melainkan agar hatiku mampu mengatasinya.
Biarlah aku tidak mencari sekutu di medan tempur kehidupan, tetapi hanya mengandalkan kekuatanku sendiri.
Biarlah aku tidak memohon dalam ketakutan yang gelisah agar diselamatkan, tetapi berharap memiliki kesabaran untuk memenangkan kebebasanku.
Pastikan bahwa aku tidak akan menjadi pengecut, yang menerima belas-kasihanmu dalam kesuksesanku; dan biarlah aku merasakan genggaman erat tanganmu dalam kegagalanku.

Dan aku pun berkata – sungguh-sungguh : Aku tidak meminta kuasa-Mu untuk menaklukan kehidupan ini untukku, Tuhan. Tapi aku akan berjuang, terus berjuang, meski Engkau dan para setan menertawakan kekonyolan hidupku ini. Akan ku buktikan di hadapan-Mu, Tuhan. Akan kubuktikan!

Malam lalu, saat ada selamatan di rumah teman, sebelum berangkat ibu berkata, “Selamatan di temanmu yang suka bawa tasbih itu, ya?”
“Iya,”
“Baca Sholawatnya seperti Afa itu anak,” tambah bapak.
“Iya, tapi lebih rajin dia, karena hasil. Aku membaca sholawatnya sambil malas-malasan, soalnya nggak pernah hasil, hehehe,”
“Bukan nggak hasil, tapi belum,” kata bapak menyemangati.
Terkadang, agar aku nampak seperti manusia beriman yang lain, kata-kataku harus ku rendahkan. Bahwa ibadahku juga seperti mereka, mengharap pahala, dilimpahkannya rizki, jodoh yang ajib, surga, de el el.
“Dia baca sholawatnya rajin, soalnya sholatnya juga rajin. Kerjanya malah ada jam istirahat buat sholat. Pokoknya hidup teratur-lah,” kataku.
“Iya, dia hidup teratur dan dapat honor besar karena kerja yang terjadwal. Kamu kan kerjanya gedebukan (kerja keras tanpa batas, hehe), jadi wajar sholat dan sholawatnya nggak kayak dia,” ibu menambahkan. Aku hanya tersenyum.

Murid-murid guru kami, setelah isya, membaca sholawat rahmat 3100 kali. Banyak yang ingin hajatnya terkabul, tapi untukku sendiri, tak ada hajat tertinggi kecuali bertemu dengan-Nya. Itu mengapa aku meremehkan dunia ini, tidak ada yang penting termasuk ibadah, hidup dalam kesia-siaan.

Saat selamatan di rumah temanku itu, ada marhabanan, itu lho membaca sholawat yang sambil berdiri. Asem tenan, gua udah seneng mau ekstase ketemu sama rasululloh, eh, malah lagu sama syair sholawatannya kagak enak. Asem. Bukannya ekstase, malah gua ngantuk, ketiduran sambil berdiri. Orang lain udah pada duduk, gua masih tetep ngadek (berdiri). Malu sendiri sayah. Untung iler kagak netes. Hahaha.

Tadi pagi, eksekusi satu guru selesai. Satu guru sudah diputuskan untuk tidak bisa melanjutkan kinerjanya. Ia ngambek, banyak bicara, tak terima, mengatakan akan menjadi huru-hara besar suatu saat nanti di masyarakat. Aku tidak berkata, “Aku tak takut,” tapi dengan santunisme menyebalkan, aku jawab, “Konsekuensi,”

Hidupku ini sudah terlanjur keras, konyol, irasional. Ini yang membuatku setengah sableng. Kelas 4 SD, sekalipun anak PNS, aku menjadi pemulung. Anak PNS mana yang jam segitu sudah berpikir, bahwa mencari duit itu susah, bahwa menjadi laki-laki itu memalukan jika terus meminta? Itu mengapa, sekalipun seorang sarjana, kepala sekolah (bangga?? Masya Allah…) aku tetap mencai rumput (ngarit), membersihkan kotoran sapi, membecak, dan mengajar, semua itu tanpa bayaran. Keren kan gue? Hahaha, konyol sekali!

Saat SMA, menjadi berandalan. Berkelahi di depan sekolah. Diremehkan anak-anak karena pendiam, tapi setelah mereka tahu siapa aku mereka segan. Pemberontak system, penentang para guru, tukang tidur, tukang Koran, tukang (penjual) rokok, meski banyak yang ingin memiliki (kecoa dan curut, hehe), aku menjawab dengan mesra : Aku selalu dekat dengan siapapun wanita itu, tapi aku tak dapat dimiliki siapapun wanita itu. Saat itu, SMA. Sekarang sih berbeda. Aku bisa dimiliki empat wanita secara bersamaan (hahaha!). kagak denk. Gua orangnya setia, setiap tikungan ada (tempat mampir wanita). Hihihi


Aku hanya berpikir, setiap manusia besar harus memiliki keturunan. Tapi aku kerempeng, jadi? Tetep donk! Tapi cukup satu wanita saja. Satu wanita bernuansa keibuan : its my style, yeah, serasa bangga. Sama janda mau lu, Fa? Hihi,,kalau jandanya sekelas Desi Ratnasari, mau sayah.wkwkwk (becanda!!!)
Tags

Post a Comment

0Comments
Post a Comment (0)