Sampai
sekarang, aku belum menemukan jawaban mengapa hidupku ini begitu konyol? Seakan
jeda di tengah-tengah frekuensi waktu, hanya menjadi saat istirahat sejenak. Setelah
itu? Hentakan-hentakan persoalan kehidupan pun menyerang, kembali. Sampai kapanpun,
manusia tak akan pernah bisa menghentikan kedatangan masalah atau musibah. Karena
yang manusia bisa adalah, menyikapi dengan baik dan benar bagaimana
menyelesaikan permasalahan itu. Apa yang harus dilakukan ketika musibah datang?
Katakanlah, Innalillahi wa inna’ilaihi
roji’uwn… sesungguhnya, segala hal berawal dan akan kembali pada Allah. Lalu,
apakah setelah mengucapkan itu, permasalahan tuntas? Sama sekali, tidak! Lalu apa?
Berjuanglah!
Seperti
nyanyian Tagore :
Izinkan aku untuk tidak berdoa agar dilindungi dari
marabahaya, melainkan untuk tidak takut menghadapinya.
Izinkan aku untuk tidak memohon agar disembuhkan dari
kepedihan, melainkan agar hatiku mampu mengatasinya.
Biarlah aku tidak mencari sekutu di medan tempur kehidupan,
tetapi hanya mengandalkan kekuatanku sendiri.
Biarlah aku tidak memohon dalam ketakutan yang gelisah agar
diselamatkan, tetapi berharap memiliki kesabaran untuk memenangkan kebebasanku.
Pastikan bahwa aku tidak akan menjadi pengecut, yang menerima
belas-kasihanmu dalam kesuksesanku; dan biarlah aku merasakan genggaman erat
tanganmu dalam kegagalanku.
Dan aku pun berkata
– sungguh-sungguh : Aku tidak meminta kuasa-Mu untuk menaklukan kehidupan ini
untukku, Tuhan. Tapi aku akan berjuang, terus berjuang, meski Engkau dan para
setan menertawakan kekonyolan hidupku ini. Akan ku buktikan di hadapan-Mu,
Tuhan. Akan kubuktikan!
Malam lalu, saat
ada selamatan di rumah teman, sebelum berangkat ibu berkata, “Selamatan di
temanmu yang suka bawa tasbih itu, ya?”
“Iya,”
“Baca Sholawatnya
seperti Afa itu anak,” tambah bapak.
“Iya, tapi lebih
rajin dia, karena hasil. Aku membaca sholawatnya sambil malas-malasan, soalnya
nggak pernah hasil, hehehe,”
“Bukan nggak hasil,
tapi belum,” kata bapak menyemangati.
Terkadang, agar aku
nampak seperti manusia beriman yang lain, kata-kataku harus ku rendahkan. Bahwa
ibadahku juga seperti mereka, mengharap pahala, dilimpahkannya rizki, jodoh yang
ajib, surga, de el el.
“Dia baca sholawatnya
rajin, soalnya sholatnya juga rajin. Kerjanya malah ada jam istirahat buat
sholat. Pokoknya hidup teratur-lah,” kataku.
“Iya, dia hidup
teratur dan dapat honor besar karena kerja yang terjadwal. Kamu kan kerjanya gedebukan (kerja keras tanpa batas,
hehe), jadi wajar sholat dan sholawatnya nggak kayak dia,” ibu menambahkan. Aku
hanya tersenyum.
Murid-murid guru
kami, setelah isya, membaca sholawat rahmat 3100 kali. Banyak yang ingin
hajatnya terkabul, tapi untukku sendiri, tak ada hajat tertinggi kecuali
bertemu dengan-Nya. Itu mengapa aku meremehkan dunia ini, tidak ada yang
penting termasuk ibadah, hidup dalam kesia-siaan.
Saat selamatan di
rumah temanku itu, ada marhabanan, itu lho membaca sholawat yang sambil
berdiri. Asem tenan, gua udah seneng mau ekstase
ketemu sama rasululloh, eh, malah lagu sama syair sholawatannya kagak enak.
Asem. Bukannya ekstase, malah gua ngantuk, ketiduran sambil berdiri. Orang lain
udah pada duduk, gua masih tetep ngadek (berdiri).
Malu sendiri sayah. Untung iler kagak netes. Hahaha.
Tadi pagi, eksekusi satu
guru selesai. Satu guru sudah diputuskan untuk tidak bisa melanjutkan kinerjanya.
Ia ngambek, banyak bicara, tak terima, mengatakan akan menjadi huru-hara besar
suatu saat nanti di masyarakat. Aku tidak berkata, “Aku tak takut,” tapi dengan
santunisme menyebalkan, aku jawab, “Konsekuensi,”
Hidupku ini sudah terlanjur
keras, konyol, irasional. Ini yang membuatku setengah sableng. Kelas 4 SD,
sekalipun anak PNS, aku menjadi pemulung. Anak PNS mana yang jam segitu sudah berpikir, bahwa mencari
duit itu susah, bahwa menjadi laki-laki itu memalukan jika terus meminta? Itu mengapa,
sekalipun seorang sarjana, kepala sekolah (bangga?? Masya Allah…) aku tetap
mencai rumput (ngarit), membersihkan kotoran sapi, membecak, dan mengajar, semua
itu tanpa bayaran. Keren kan gue? Hahaha, konyol sekali!
Saat SMA, menjadi
berandalan. Berkelahi di depan sekolah. Diremehkan anak-anak karena pendiam,
tapi setelah mereka tahu siapa aku mereka
segan. Pemberontak system, penentang para guru, tukang tidur, tukang Koran,
tukang (penjual) rokok, meski banyak yang ingin memiliki (kecoa dan curut,
hehe), aku menjawab dengan mesra : Aku
selalu dekat dengan siapapun wanita itu, tapi aku tak dapat dimiliki siapapun
wanita itu. Saat itu, SMA. Sekarang sih berbeda. Aku bisa dimiliki empat
wanita secara bersamaan (hahaha!). kagak denk. Gua orangnya setia, setiap
tikungan ada (tempat mampir wanita). Hihihi
Aku hanya berpikir, setiap
manusia besar harus memiliki keturunan. Tapi aku kerempeng, jadi? Tetep donk! Tapi
cukup satu wanita saja. Satu wanita bernuansa keibuan : its my style, yeah, serasa bangga. Sama janda mau lu, Fa? Hihi,,kalau
jandanya sekelas Desi Ratnasari, mau sayah.wkwkwk (becanda!!!)