Rabu, 7 Agustus 2013
Tiba-tiba aku merasa sangat tua sekali. Masa depan memberi kita dua pilihan : menjadi manusia seimbang dan terhormat, atau menjadi manusia tak seimbang – lumrah, sederhana, miskin – dan tak terlihat terhormat. Dan aku memilih yang kedua. Aku merasa sangat tua, karena beban pikiran yang menghantuiku di masa depan, Ramadan ini. Orang lain boleh tidak mempercayaiku, menghinaku, tapi keluargaku sendiri? Ah, ya ampun. Suatu saat aku takut, ketika ada saudara sendiri yang maniak eksistensi, berbicara di depan anak dan istriku,”Suami/Bapakmu itu, kuliah yang bayar saya! Menjadi kepala sekolah itu karena sekolah buatan saya!” di sisi lain, kapan aku pernah meminta padanya? Dia sendiri memberi, tapi ia sendiri juga yang menghitung-hitungnya. Berapa kali ku katakan, bahkan pada Tuhan pun aku sudah tak meminta! Ketika surat pengunduran diri sebagai kepala sekolah saya berikan padanya, ia bingung : satu-satunya orang bodoh yang bisa diperbudak akan mengundurkan diri. Pada siapa lagi ia akan meletakan mimpi-mimpinya? Ia berikan suatu amanah, tapi si pemegang amanah tak diberikan kebebasan dalam bertindak, mengambil kebijakan. Benar sekali nasehat jepang : Lebih baik menjadi gagak yang terbang bebas terhina, daripada menjadi elang yang kuat tapi terbelenggu kakinya.
Ramadan ini, aku kalah telak. Hari terakhir puasa, subuhku telat, duhur jam 2 siang, ashar maghrib tak berjamaah. Pada akhirnya, kita harus menerima, bahwa tidak selalu kita menjadi pemenang. Tidak selalu kita berada dalam pihak yang benar. Sesekali kita harus menjadi orang gagal, si kalah, si salah : Terimalah! Dan terus belajar!
Pulang dari kandang, aku membecak. Aku ambil dua foto, saat berangkat, dan saat pulang membawa rumput gajah setumpuk becak. Jika orang lain bangga berfoto ketika berada dalam mobilnya, atau bandara, atau tempat-tempat wisata mahal dan luar negeri, kecacatanku adalah si sini : berfoto dengan kehinaan. Tapi itu semua adalah kebanggan, satu kebanggan yang akan ku tunjukan pada mereka yang ku jaga. Bahwa orang yang berada di depan kalian, adalah manusia biasa seperti anda. Tukang becak, kuli, buruh. Barangkali di pagi hari aku menggunakan seragam (lambat laun akan ku lepas, dan ku gunakan pakaian bebas), karena kewajiban. Tapi di luar kursi itu, aku seperti kalian. Hina, miskin, bukan siapa-siapa.
Aku teringat kemarin saat mengobrol dengan ustadz. Beliau beranggapan, justru masyarakat mencari sekolah mahal. Karena, sekolah mahal sama dengan sekolah unggulan. Baiklah, ustadzku sayang, beri aku waktu, mari ku tunjukan, bahwa anak-anak lemah itu tak harus kaya untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas.
Malam ini, aku dapat THR dari bapak. Janjiku bisa ku tepati : memberi santunan pada siswa-siswaku. Satu siswa yang ayahnya dirawat di rumah sakit. Satu siswa lagi yang ayahnya menjadi bang toyib : tak pernah pulang. Entahlah, sepertinya ada kecacatan yang membuatku bangga menjadi seorang petenis rizki : menjadi pantulan rizki untuk orang-orang sekitarku. Bahwa orang-orang di sekitarku terasa semakin tak berperasaan, aku juga merasakannya. Saudaraku itu, bahkan karyawan sapi kami sering mengeluh : ia sering dimarahi beliau. Juga terlalu mudah menyalahkan orang lain, sedang kesalahannya sendiri tak pernah mau dinasehati. Ada seorang tetangga yang menjadi wanita panggilan. Banyak tetangga yang mencibirnya secara diam-diam. Aku yakin ia menginginkan kehidupan yangditerima oleh semua orang. Ketika berpas-pasan dengan bapak, selepas isya lalu, ia mau berfitrah, mengenakan busana muslim merah. Ia hendak menyapa bapak, tapi karena, barangkali tak melihat (atau seperti kataku, semakin terkuranginya perasaan ukhwah islamiyah), bapak mengacuhkannya. Aku yang berjalan di belakang bapak, hanya tersenyum. Tentu saja ia tak menyapaku, aku hanya anak kecil. Tak punya pengaruh, bukan siapa-siapa yang harus disapa. Aku paham, setiap manusia memiliki kelemahan dan kekuatan, plus minus, kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Dari pemahaman itulah, aku terus belajar, agar selalu membudak pada setiap orang, sebagai bukti cintaku pada Tuhan, pada kehidupan, juga pada kematian yang kelak akan datang diam-diam. Salah satu kecacatanku, ya itu, membicarakan kejelekan orang lain seperti tulisan di atas : agar kita semua merenung, bahwa menjadi buruk itu jelek, tapi kita tak bisa lepas darinya. Kesombongan selalu mencari celah, entah itu dari kesalihan yang kita perbuat, atau dari logika yang kita kuasai atas kehidupan ini.
Tadi sore, ada sapi yang sakit. Puting susunya membengkak. Mungkin digigit serangga. Saat mau diperah, ia menendang-nendang, kasihan sekali. Mereka bisa merasakan kesakitan, tapi tak akan pernah merasa sedih. Seperti hati ini, seperti malam takbiran-malam takbiran sejak 3 tahun lalu : hati ini kosong, tidak merasa senang, tidak juga merasa sedih, kosong.
- Malam Hari Raya Idul Fitri 1434 H
Ramadan akhirnya pergi. Saat maghrib menjelang, suara petasan berkumandang, tak berperasaan, seperti manusia yang merayakannya. Saat sholat maghrib, listrik sejenak padam. Imajinasiku terbang menuju saudara-saudaraku yang sedang perang : mati lampu itu adalah perintah-Nya untuk sejenak mengheningkan cipta.
Wahai Rasululloh, apakah aku harus berbahagia di malam hari raya agama kita ini? Lihat wahai rasul, umatmu di Suriah, Mesir, Palestin, para muslim Morro di Pilipina, Rohingya di Myanmar, Guangzhou di pelosok cina. Mereka tertindas. Tapi ihat di sini, Indonesia. Kami berpesta, dengan dalih, bahwa setiap agama memiliki hari raya, seperti kata Engkau, dan Idul Fitri adalah hari raya kita : maka silahkan rayakan. Tapi apakah dengan berfoya-foya?
Aku teringat dengan pertanyaanku pada para pewaris risalahmu, saat aku kuliah dulu. “Jika antum berdakwah hanya di masjid dan majlis taklim, siapakah yang menjadi teman mereka, orang-orang jalanan, tempat remang-remang, lokalisasi pesta para muda-mudi?” dan aku pun tertendang. Pemahaman agama yang ku dapatkan dari jalanan, tidak seperti kalian yang mendapatkan pencerahan dari masjid, majlis ilmu, dan pesantren. Aku sanggup duduk lama di tempat-tempatmu itu, tapi apakah kalian sanggup menikmati asap rokok, bau alcohol, dan sperma yang menjijikan? Dan kalian berkata,”Allah hanya berada di tempat-tempat suci!” dan aku-lah manusia kotor!
Wahai rasululloh, puasa kami puasa pura-pura. Dan hari raya kami adalah hari raya pesta pora. Terkadang aku berpikir, umat yang kacau seperti ini akan sangat membutuhkanmu. Tapi seperti anak-anak elang, jika sang induk terus menerus memberinya makan, di dekatnya, mereka tak akan kuat dan bangga melesat terbang. Kemarin, kakak ustadz saya menasehatiku agar banyak makan. Aku hanya berkata, “Aku tidak makan banyak. Karena kalau makan banyak, gigi saya kumat. Dan aku tidak mau kenyang lebih dari dua hari berturut-turut,” sepertinya beliau tak menerima. Tapi ini jalan hidupku. Akan aku contoh kehidupan gila Muhammad sang rasululloh, sesuai kemampuanku. Di rumah, kamar yang nyaman itu, kasur yang empuk itu, spray otomatis yang menyemprot setiap 10 menit itu, ingin ku ganti. Pernah suatu saat aku minta pada ibu, untuk mengganti kasur itu hanya dengan tikar dan sajadah saja. Beliau jawab, “TIDAK!” dan tak bisa diganggu gugat. Kenyamanan ini, untukku adalah kesombongan di atas penderitaan sesama muslim yang tertindas. Bukankah sesama muslim seperti sebuah bangunan, atau seperti tubuh yang ketika kaki terkilir, mulut mengaduh dan mata menangis? Kenyamanan ini memudarkan kesadaranku. Astaghfirullah…
Puasa kami puasa pura-pura. Kepura-puraan dalam beribadah, karena setelah Ramadan, ibadah kami kembali seperti sedia kala. Kepura-puraan dalam ukhwah, karena setelah idul fitri terlewati, kami akan biasa kembali, membicarakan aib, konflik, tak mudah berdamai.
Ramadan kali ini terasa berat sekali, wahai kekasih Allah. Seperti tahun-tahun yang lalu, dengan kecacatan yang masih tersimpan di hati, apakah aku harus senang dengan datangnya idul fitri, ataukah harus sedih setelah perginya Ramadan terkasih? Apakah aku harus mengucapkan Alhamdulillah, ataukah Innalillah, setelah Ramadan ini berpisah? Astaghfirullah, ighfirlana ya rabb….
Allahu Akbar..
Allahu Akbar…
Allahu Akbar…
Walillah Ilham…