Senin, 5 Agustus 2013
Ada perasaan aneh ketika mengawali cerita picisan rutinitas kembali. Apa yang special, hingga aku perlu menuliskannya? Ada keraguan untuk mengawali menulis catatan tak berguna ini. Menulis di buku tulis, dengan tulisan tangan yang tak beraturan seperti anak terkena polio, tak akan bisa dibaca siapapun. Berapa banyak lembaran cerita masa lalu, yang belum aku salin ke sini. Mengapa kegelisahan ini tak berakhir dengan berakhirnya kehidupan mahasiswaku? Mahasiswa memang fase kehidupan paling menyedihkan, bagi mereka yang sadar.
Sekitar satu minggu ini, berangkat menggembala jam 6 pagi. Kuli sapi-nya berhenti, jadi apa boleh buat, mumpung aku libur. Tadi pagi bangun dengan suara hati yang bicara sendiri, “Aku pulang, wahai Aku yang besar. Aku pulang,” entah apa artinya. Beberapa hari ini, aku memang agak ‘lepas’. Desain sekolah sudah jadi (untuk sebuah awal), buku sebagai persiapan peninggalan, juga telah ku edit, tinggal diterbitkan, jika memang layak. Aku kira, tanpa adanya aku, keluarga ini akan tetap berjalan normal. Jadi, pertanyaanku pada Tuhan ‘Untuk apa Engkau menghidupkan manusia tanpa hasrat dan harapan?’ akan terjawab, aku rasa.
Pulang dari kandang jam 10. Ada saudara yang minta bantuan dibuatkan cover surat yasin (coreldraw). Aku bantu, sampai jam 12 siang. Seorang paman datang, dia tanya, “Kamu kok nggak bantuin kakak kamu? Dia lagi mencari rumput,” aku hanya tersenyum. Mau bagaimana, ini saudara minta dibantu. Sebenarnya sebuah kerjaan, yang nantinya menghasilkan uang. Aku sudah pernah bilang, tidak mengambil uang dari ilmu yang aku sampaikan. Jadi begitulah, aku bekerja. Membuat desain cover, syuting pengantin, guide, etc.
Dua hari lalu, konflik dengan kakak masalah dua guru yang akan aku berhentikan. “Memberhentikan guru itu harus ada SP (Surat Peringatan) terlebih dulu!” katanya.
“SP itu kalau mereka melakukan kesalahan administratif. Kesalahan mereka semata-mata karena dukungan moril. Untuk apa kita mempertahankan guru yang tak mendukung kita?”
Akhirnya, kami bersitegang sampai beberapa hari. Tapi, keputusan itu tetap akan aku lakukan. Aku selalu berdoa, semoga kebijakan yang aku ambil bukan karena hawa nafsu, tapi atas dasar pertimbangan yang rasional. Sore tadi, ada buka bersama keluarga besar kakekku. Alhamdulillah, kakak sudah ‘mereda’ dengan perbedaan pendapat beberapa hari kemarin.
Setelah sholat tarawih, aku diajak ngobrol kakaknya ustadz saya. Ternyata tentang kesehatan. Mungkin keluarga tadi waktu buka bersama (beliau juga ikut), cerita tentang saya yang tak mau minum obat kimia. Beliau justru setuju degan obat kimia, karena menyembuhkan secara instan. “Karena kita dituntut untuk terus bekerja. Selalu sehat, terus bekerja,” orientasi hidup saya bukan kesehatan, tapi keikhlasan. Sehat atau sakit, ikhlas, lepas. Meski terkadang banyak orang yang menyebutku bodoh, karena tak mau diobati. Aku paham cara kerja obat kimiawi. Tapi menjelaskan pada masyarakat awam, itu bukan perkara gampang.
Setelah itu mengobrol dengan ustadz saya, adik beliau, tentang persekolahan. Ia juga punya TPQ dan majlis taklim. Ngobrol panjang lebar tentang persoalan sekolah saya. Ah, masih saja aku bisa menceritakan peliknya persoalan dengan cengengesan. “Aku sudah siap perang, tapi ketika akan maju, kakak saya berkata, ‘Jangan ceroboh! Tunggu sampai saya terpilih menjadi anggota dewan!’ rasanya seperti orgasme yang ditahan,” bagiku, semakin menunda penyelesaian masalah, semakin membesarkan masalah itu. Tangkap, dan hancurkan, itu prinsipku. Untuk awal, sekian dulu. Aku hanya mengaktifkan facebook di malam hari. Mungkin selama dua tahun ke depan. Ah, lumayan capek ternyata ini badan.