Sabtu, 10 Agustus 2013
Berangkat
menggembala jam 7 pagi. Tadi subuhnya
telat, tapi seperti biasa, tak merasa dosa. Nampaknya hati ini memang telah
mati dan mengurai. Segala ritual agama yang membuatku kecanduan (Sholat,
mengaji, dzikir di masjid, dll) aku nomorduakan. Terserah kalian menilaiku
bagaimana, aku seperti kesadaranku, bukan seperti penilaianmu. Ritual agama
individualis hanya membuatku selalu merasa suci, merasa lebih dekat dengan
Tuhan daripada manusia lain, kesombongan mencengkeram dagu orang-orang salih
individual. Aku lebih suka, jika ingin dikatakan, sebagai si salih sosial.
Menggembala sampai jam 10. Seperti yang
sudah dijanjikan, aku datang ke rumah seorang teman yang sedang mengalami
guncangan – masalah kekeluargaan. Istrinya orang desa, tapi berlagak kota. Tak tahu
sopan santun, tak tahu bumbu dapur, tak tahu agama, tak tahu adab pada yang
tua, atau bahkan mertua. Semua keluarganya membenci istri, yang sebelum
pernikahan memang mereka sudah tidak setuju padanya.
“Sekarang kamu pilih, tetap mempertahankan dia, tapi
jangan bekerja bersama saya lagi. Atau lepaskan dia, kamu tetap boleh pegang
Warteg milik saya!” teman saya itu jadi bos
Warteg di Bandung.
Kakaknya yang memberi
pilihan itu akhirnya menyarankan untuk ke salah seorang pamannya, meminta
saran. Aku temani ia bicara. Jika aku cermati, pamannya ini lebih bijak,
menyarankan memberi kesempatan pada istrinya untuk memperbaiki diri.
“Mumpung ini momentum syawal,” katanya.
“Tapi kakak saya sudah nggakk tahan, Om,”
“Lah, kamunya masih suka nggak?”
“Yaa… kalau suka sih, masih setengah-setengah. Cuma kalau
lihat wataknya, saya nggak tega sama ibu, Om. Beliau beberapa kali nangis,
gara-gara melihat tingkah istriku itu,”
Awalnya
teman ku itu takut dosa, jika menceraikan istrinya. Tapi saya katakana,
perceraian itu memang dibenci Allah, tapi dibolehkan. Persoalannya, perceraian
itu tidak semudah ucapan, ada aturan mainnya. Jika si istri sudah mengandung,
misalnya, itu tak boleh diceraikan. Lagipula, pernikahan itu memang berat. Bukan
cuma ajang komunikasi intim selama satu atau dua tahun saja, tapi seumur hidup.
Aku sendiri belum menikah, tapi sering sekali dilibatkan dalam hal ini. Entah mereka
menganggap pengetahuanku sedalam apa tentang hal-hal yang belum saya alami.
Pulang
jam 2 siang. Karena rumput di kandang habis, aku langsung merumput. Kakak ke-6 memintaku makan soto buatan ibu dulu, karena
sudah dibuatkan. Aku sudah makan di rumah teman, tapi tetap ku makan soto itu
meski sedikit. Ibu dan kakak memandangiku aneh, barangkali mereka prihatin saya
tak ada istirahatnya. Tapi, untukku, ini suatu kesenangan. Mengorbankan diri
bukan untuk kesalihan individu, itu tetap lebih ku sukai.
Ashar
berjamaah tercapai. Meski sebelumnya agak ragu, merumput itu tak cukup satu-dua jam. Selepas ashar, ke kabupaten
ambil ampas tahu untuk minum sapi-sapi. Lemas sekali, motor sempat jatuh. Mantap.
Maghrib isya sudah di rumah, selepas isya, tubuh meronta, minta diistirahatkan
di tempat. Ok, memang sudah waktunya.
Tadi sore
seorang siswaku bertanya, “Pak Guru, sekolah berangkatnya kapan sih?”
sepertinya ia sudah tak sabar. Aku jadi teringat dengan pertanyaan seorang guru
baru, “Jika kepala sekolah dan siswa tak menjaga jarak, apa nantinya itu akan
baik-baik saja?” maksudnya, menjaga sopan santun anak-anak terhadap gurunya.
“Justru, di sekolah-sekolah modern Jepang, guru atau
kepala sekolah itu mendekatkan diri pada siswa. Pendidikan anak SD itu
pendidikan jarak dekat (short distance edocation), jadi lebih mengena
memberikan contoh daripada teori,” jawabku.
Ketakutanku
menjadi pendidik itu, di sana : kewajiban mempersiapkan generasi terbaik. Bagaimana
caranya sebuah generasi unggul muncul, dari gemblengan guru-guru yang fokus dalam
jalan pendidikan. Karena, suatu saat mereka akan diposisikan sendiri. Tidak ada
seorang manusiapun yang dapat menolongnya, selain dirinya sendiri. Kita tak
bisa selalu makan dengan tangan ibu kita. Tak mungkin kita bisa mencium harum
bunga dengan hidung orang lain. Mereka, generasi kecil itu, suatu saat akan
diposisikan, melihat realitas yang sangat berbeda dengan apa yang diajarkan
guru-gurunya di dalam kelas. Tentang persaingan, saling mengejek, menjatuhkan,
membuat golongan, fanatisme buta, atau kecacatan mental yang memang telah ada
pada generasi mereka sebelumnya. Dan tugas guru, bukan meniadakan itu, tapi
membukakan mata mereka, menjelaskan mana yang bersinar dan mana yang termasuk
kegelapan. Menjadi benar, itu lebih sulit daripada merasa benar.