Hari Sabtu
kemarin, kami (aku dan anak-anak kelas 3 dan 4) latihan upacara. Telah lama aku
memiliki pemikiran, bahwa tanah yang
baik akan memunculkan tanaman-tanaman yang baik pula. Para guru/pendidik yang
baik, akan menciptakan para siswa yang baik pula. Jika suatu peradaban telah
rusak, lalu seseorang berpikir untuk mengubahnya, barangkali ada dua cara :
membuat budaya tandingan dan, mencetak generasi yang terjaga. Dulu, bahkan aku pernah memimpikan, bahwa otak anak-anak
itu masih encer, jadi akan ku ubah
mereka menjadi semacam X-Men. Kalau di
film-nya sih, X-Men First Class. Siapa sang profesornya? Aku. (hehe, konyol)
Akan menjadi
apa peradaban masa depan, jika para pemudanya tak memiliki impian? Seperti para
guru-guru malas yang terpenjara dalam dunia bernama kelas. Mereka seperti
manusia goa yang diibaratkan oleh Plato. Menganggap anak-anak muda yang
memiliki mimpi adalah manusia bodoh, konyol, terlalu idealis. Mengapa mereka
menganggap seperti itu? Karena dulu mereka juga memiliki impian, tapi harus
menelan kepahitan hanya menjadi guru
sekolah. Atas dasar apa mereka menyamakan diri mereka yang malas dengan para
siswa?
Sekitar
jam 9, guru kedua yang direncanakan diberhentikan, terputuskan.
“Suratnya belum saya tanda
tangan, bu. Karena saya harap, ibu mau mempercayakan pendidikan anak ibu di
dekolah ini,” kataku. Sekalipun sebenarnya aku tak mengharap begitu, atau
bahkan tak mengharap apapun lagi, terkadang pemikiranku ini harus dikonversi menjadi ‘agak manusiawi’.
“Nggak pak. Tanda tangani
saja sekarang. Saya siap,” katanya. Dulu, ia memang pernah mengatakan pada guru
yang lain saat mendaftarkan anaknya di sekolah lain. “Anak saya tidak di
sekolahkan di sana (sekolahku), kalau memang saya dikeluarkan, saya siap. Sama sekali
tidak apa-apa,”
Saya selalu
mengendalikan orang-orang agar jangan berprasangkan buruk, bahwa guru yang
tidak menyekolahkan anaknya sendiri, di tempatnya mengajar, ia meremehkan
sekolahnya sendiri. Walaupun, jika pun itu benar yang ada di pikiran mereka,
aku mengakui. Sekolah itu kompleks sekali persoalannya. Masyarakat, guru,
ustadz/tokoh masyarakat, militer yang ikut campur, politik hijau vs hitam
putih, dana, siswa dhuafa, ah ya ampun, masa’ harus disebutkan semua?
Sabtu
siang, seorang wali siswa kelas dua bertanya, “Kalau si Pak A sih, kami sepakat
pak, diberhentikan. Anak-anak kami takut, kalau ada pelajaran itu. Tapi kalau
Bu X, ya, mungkin itu keputusan sekolah dan yayasan…”
“Jadi
begini, bu. Saya bukan orang yang suka membicarakan kesalahan-kesalahan orang
lain. Jadi, biarkan saya yang terlihat kejam. Biarkan saya yang terlihat zalim,”
aku menghela nafas.
Sebelum
wali kelas dua itu, sebenarnya saya mendapat telepon dari seorang wali siswa
kelas empat. Saya masih di sekolah sendirian, persis beberapa menit setelah
memutuskan Bu X saya berhentikan.
“Assalamu’alaikum…”
“Wa’alaykumsalam…
lagi di mana, pak?”
“Sekolah,
di ruang guru,”
“Kenapa
bapak memberhentikan Bu X? saya tidak setuju, pokoknya kalau dia keluar, saya
tidak akan mengikuti Pengajian Orangtua Murid dan Guru (POMG) lagi!”
“Suratnya
belum ditanda tangan kok,”
“Ya
jangan di tanda tangan dong! Dia kan sudah berjuang selama tiga tahun. Kasihan dong,
diberhentikan. Tadi kami baru saja menangis bareng,” oh, nampaknya Bu X
langsung ke secretariat POMG, mengadukan kezaliman
saya pada beliau. Padahal, satu-satunya guru yang tidak setuju adanya POMG,
ya guru X tersebut. Yang menolak adanya inovasi-inovasi ‘merepotkan’ di
sekolah, ya guru tersebut. Yang suka protes padahal tak pernah mengerjakan
instruksi ya guru tersebut. Katanya, “Di sekolah lain juga tidak ada
(inovasi-inovasi beginian) kok!” merepotkan! Tiga tahun ia mengajar di bawah
kepemimpinan kakak saya, honor tidak dinaikan. Baru satu bulan duduk, honornya langsung saya tambah. Saya
berikan buku catatan, saya lakukan pembinaan. Ah, ya ampun, seorang muslim
sejati tak akan menghitung-hitung kebaikan yang telah dilakukan. Dan tak akan
menghitung-hitung kesalahan yang orang lain lakukan. Jadi, biarlah. Dan aku tak
pernah menceritakan sedetail itu kecuali pada yayasan.
Sore harinya,
POMG di rumahku. Wali siswa yang menelepon tadi siang ternyata berangkat. Entah
untuk terakhir kalinya, entah untuk berpamitan dengan yang lain. Banyak wali
siswa yang bertanya, tidak sedikit juga yang menyayangkan, menyimpulkan bahwa
kepala sekolah yang baru itu (aku), terlalu belagu, sombong (karena anak
yayasan), sok kuasa, de el el. Aku hanya tersenyum.
Hari itu
hari kemerdekaan. Aku kira aku telah ‘memerdekakan’ guru X tersebut yang
bekerja dengan setengah hati. Mengapa? Yang memimpin bocah ingusan (saya) yang
baru kemarin sore lulus kuliah (tahu apa anak muda dengan kehidupan nyata?!).
inovasi-inovasi yang di sekolah lain tidak ada. Jarak rumah yang jauh. Honor yang
tak seberapa. Fasilitas yang miskin. Siswa-siswa dari keluarga miskin. Dalam satu
kesimpulan : Jika anakku sekolah di sana, ia akan menjadi satu di antara
anak-anak Madesu di sekolah itu.
Tapi, sampai itu pun, tetap
saja aku yang dianggap sebagai si kejam, zalim, Fir’aun. Hehe. Ayo,
berkompetisi. Jangan menganggap Tuhan bersama kita, kau atau aku. Tuhan netral,
tidak membela aku, juga tidak membelamu, sekalipun kita berdua beragama, salih
beribadah. Tuhan, layaknya seorang yang menyuruh bayinya berlatih berjalan dari
jarak jauh. Bayi tersebut akan jatuh, terkilir, terpeleset, dan sang ayah pun
membiarkan saja. Agar apa? Kuat!
Setelah latihan upacara
Sabtu lalu, seorang guru yang ternyata memiliki saudara di UPPD bercerita.
“Saudara saya bilang, ‘Eh,
Pak Afa itu kepala sekolah kamu toh?’, Iya, saya jawab. Terus dia cerita tentang
kejadian bapak menyenggol motor pegawai UPPD tahun lalu. Pegawai UPPD yang
motornya disenggor itu cerita ke saudara saya, katanya, ‘Pak Afa menabrak
motor saya hingga jatuh dan kaki saya sampai kesleo’, hehe, saya jawab, Oh,
kejadiannya bukan seperti itu….” Ia menceritakan yang sebenarnya ke saudaranya
itu.
Resiko menjadi aku memang demikian. Harus selalu siap teraniaya. Motor pegawai UPPD itu parkir
agak menjorok ke jalan. Becak saya mengangkut jerami hingga tumpukannya
menutupi pandangan. Motor kena senggol, jatuh. Mungkin hanya lecet-lecet
sedikit. Tapi saya dimarahi habis-habisan, saya kasih uang untuk skotlet badan
motor yang lecet-lecet, ditambah, ia bercerita ditabrak dan kakinya kesleo. Hehe,
itu belum seberapa. Tahun 2006, saya kecelakaan di jalan. Motor saya ditabrak,
motor yang menabrak atau ditabrak, dua-duanya jatuh. Masyarakat membela yang
menabrak. Badan dan wajah saya babak belur, motor setengah hancur, uang saya
dan teman yang saya bonceng diambil. Tapi, yang sudah terjadi, akan diapakan
lagi?