Minggu, 18 Agustus 2013

Java Tivi
0
         Hari Sabtu kemarin, kami (aku dan anak-anak kelas 3 dan 4) latihan upacara. Telah lama aku memiliki pemikiran, bahwa tanah yang baik akan memunculkan tanaman-tanaman yang baik pula. Para guru/pendidik yang baik, akan menciptakan para siswa yang baik pula. Jika suatu peradaban telah rusak, lalu seseorang berpikir untuk mengubahnya, barangkali ada dua cara : membuat budaya tandingan dan, mencetak generasi yang terjaga. Dulu, bahkan aku pernah memimpikan, bahwa otak anak-anak itu masih encer, jadi akan ku ubah mereka menjadi semacam X-Men. Kalau di film-nya sih, X-Men First Class. Siapa sang profesornya? Aku. (hehe, konyol)
         
   Akan menjadi apa peradaban masa depan, jika para pemudanya tak memiliki impian? Seperti para guru-guru malas yang terpenjara dalam dunia bernama kelas. Mereka seperti manusia goa yang diibaratkan oleh Plato. Menganggap anak-anak muda yang memiliki mimpi adalah manusia bodoh, konyol, terlalu idealis. Mengapa mereka menganggap seperti itu? Karena dulu mereka juga memiliki impian, tapi harus menelan kepahitan hanya menjadi guru sekolah. Atas dasar apa mereka menyamakan diri mereka yang malas dengan para siswa?

            Sekitar jam 9, guru kedua yang direncanakan diberhentikan, terputuskan.
“Suratnya belum saya tanda tangan, bu. Karena saya harap, ibu mau mempercayakan pendidikan anak ibu di dekolah ini,” kataku. Sekalipun sebenarnya aku tak mengharap begitu, atau bahkan tak mengharap apapun lagi, terkadang pemikiranku ini harus dikonversi menjadi ‘agak manusiawi’.

“Nggak pak. Tanda tangani saja sekarang. Saya siap,” katanya. Dulu, ia memang pernah mengatakan pada guru yang lain saat mendaftarkan anaknya di sekolah lain. “Anak saya tidak di sekolahkan di sana (sekolahku), kalau memang saya dikeluarkan, saya siap. Sama sekali tidak apa-apa,”

            Saya selalu mengendalikan orang-orang agar jangan berprasangkan buruk, bahwa guru yang tidak menyekolahkan anaknya sendiri, di tempatnya mengajar, ia meremehkan sekolahnya sendiri. Walaupun, jika pun itu benar yang ada di pikiran mereka, aku mengakui. Sekolah itu kompleks sekali persoalannya. Masyarakat, guru, ustadz/tokoh masyarakat, militer yang ikut campur, politik hijau vs hitam putih, dana, siswa dhuafa, ah ya ampun, masa’ harus disebutkan semua?

            Sabtu siang, seorang wali siswa kelas dua bertanya, “Kalau si Pak A sih, kami sepakat pak, diberhentikan. Anak-anak kami takut, kalau ada pelajaran itu. Tapi kalau Bu X, ya, mungkin itu keputusan sekolah dan yayasan…”

            “Jadi begini, bu. Saya bukan orang yang suka membicarakan kesalahan-kesalahan orang lain. Jadi, biarkan saya yang terlihat kejam. Biarkan saya yang terlihat zalim,” aku menghela nafas.
            Sebelum wali kelas dua itu, sebenarnya saya mendapat telepon dari seorang wali siswa kelas empat. Saya masih di sekolah sendirian, persis beberapa menit setelah memutuskan Bu X saya berhentikan.
            “Assalamu’alaikum…”
            “Wa’alaykumsalam… lagi di mana, pak?”
            “Sekolah, di ruang guru,”
            “Kenapa bapak memberhentikan Bu X? saya tidak setuju, pokoknya kalau dia keluar, saya tidak akan mengikuti Pengajian Orangtua Murid dan Guru (POMG) lagi!”
            “Suratnya belum ditanda tangan kok,”

            “Ya jangan di tanda tangan dong! Dia kan sudah berjuang selama tiga tahun. Kasihan dong, diberhentikan. Tadi kami baru saja menangis bareng,” oh, nampaknya Bu X langsung ke secretariat POMG, mengadukan kezaliman saya pada beliau. Padahal, satu-satunya guru yang tidak setuju adanya POMG, ya guru X tersebut. Yang menolak adanya inovasi-inovasi ‘merepotkan’ di sekolah, ya guru tersebut. Yang suka protes padahal tak pernah mengerjakan instruksi ya guru tersebut. Katanya, “Di sekolah lain juga tidak ada (inovasi-inovasi beginian) kok!” merepotkan! Tiga tahun ia mengajar di bawah kepemimpinan kakak saya, honor tidak dinaikan. Baru satu bulan duduk, honornya langsung saya tambah. Saya berikan buku catatan, saya lakukan pembinaan. Ah, ya ampun, seorang muslim sejati tak akan menghitung-hitung kebaikan yang telah dilakukan. Dan tak akan menghitung-hitung kesalahan yang orang lain lakukan. Jadi, biarlah. Dan aku tak pernah menceritakan sedetail itu kecuali pada yayasan.

            Sore harinya, POMG di rumahku. Wali siswa yang menelepon tadi siang ternyata berangkat. Entah untuk terakhir kalinya, entah untuk berpamitan dengan yang lain. Banyak wali siswa yang bertanya, tidak sedikit juga yang menyayangkan, menyimpulkan bahwa kepala sekolah yang baru itu (aku), terlalu belagu, sombong (karena anak yayasan), sok kuasa, de el el. Aku hanya tersenyum.

            Hari itu hari kemerdekaan. Aku kira aku telah ‘memerdekakan’ guru X tersebut yang bekerja dengan setengah hati. Mengapa? Yang memimpin bocah ingusan (saya) yang baru kemarin sore lulus kuliah (tahu apa anak muda dengan kehidupan nyata?!). inovasi-inovasi yang di sekolah lain tidak ada. Jarak rumah yang jauh. Honor yang tak seberapa. Fasilitas yang miskin. Siswa-siswa dari keluarga miskin. Dalam satu kesimpulan : Jika anakku sekolah di sana, ia akan menjadi satu di antara anak-anak Madesu di sekolah itu.

Tapi, sampai itu pun, tetap saja aku yang dianggap sebagai si kejam, zalim, Fir’aun. Hehe. Ayo, berkompetisi. Jangan menganggap Tuhan bersama kita, kau atau aku. Tuhan netral, tidak membela aku, juga tidak membelamu, sekalipun kita berdua beragama, salih beribadah. Tuhan, layaknya seorang yang menyuruh bayinya berlatih berjalan dari jarak jauh. Bayi tersebut akan jatuh, terkilir, terpeleset, dan sang ayah pun membiarkan saja. Agar apa? Kuat!

Setelah latihan upacara Sabtu lalu, seorang guru yang ternyata memiliki saudara di UPPD bercerita.
“Saudara saya bilang, ‘Eh, Pak Afa itu kepala sekolah kamu toh?’, Iya, saya jawab. Terus dia cerita tentang kejadian bapak menyenggol motor pegawai UPPD tahun lalu. Pegawai UPPD yang motornya disenggor itu cerita ke saudara saya, katanya, ‘Pak Afa menabrak motor saya hingga jatuh dan kaki saya sampai kesleo’, hehe, saya jawab, Oh, kejadiannya bukan seperti itu….” Ia menceritakan yang sebenarnya ke saudaranya itu.

Resiko menjadi aku memang demikian. Harus selalu siap teraniaya. Motor pegawai UPPD itu parkir agak menjorok ke jalan. Becak saya mengangkut jerami hingga tumpukannya menutupi pandangan. Motor kena senggol, jatuh. Mungkin hanya lecet-lecet sedikit. Tapi saya dimarahi habis-habisan, saya kasih uang untuk skotlet badan motor yang lecet-lecet, ditambah, ia bercerita ditabrak dan kakinya kesleo. Hehe, itu belum seberapa. Tahun 2006, saya kecelakaan di jalan. Motor saya ditabrak, motor yang menabrak atau ditabrak, dua-duanya jatuh. Masyarakat membela yang menabrak. Badan dan wajah saya babak belur, motor setengah hancur, uang saya dan teman yang saya bonceng diambil. Tapi, yang sudah terjadi, akan diapakan lagi?

Sekitar bulan Maret, motor saya ditabrak dari belakang. Kakak perempuan saya sampai jatuh, berenang di jalan. Tapi saya tidak jatuh, masih di motor. Hampir saja saya mau balas dendam, seperti yang orang-orang lakukan pada saya di tahun 2006 lalu. Tapi ketika saya menengok, ah, anak SMP. Aku hanya membangunkan kakakku, lalu pergi. Ingin rasanya menghabisi anak SMP itu, BALAS DENDAM. Terlebih lagi sasarannya anak SMP. Tapi, aku tidak melakukannya. Bukan karena Tuhan, bukan karena sabar, bukan karena pahala (omong kosong!), bukan karena apa-apa. Resiko menjadi manusia sableng harus bahagia hidup dalam ke sia-siaan. Bagiku, Tuhan yang terpisah dari diri manusia, adalah omong kosong.
Tags

Post a Comment

0Comments
Post a Comment (0)