Serial Jon Quixote de la Indonesia
Siang itu, aku hendak beli rokok, ketika melihat motor ‘asing’ di depan rumah Jon. mungkin motor teman bapaknya Jon, pikirku. Tapi setelah aku mendekati rumahnya, ternyata itu teman Jon, sedang berdialog nampaknya. Akupun ikut nimbrung, mumpung bawa dalih : menawarkan rokok. Si Jon itu nyebelin, nggak merokok kecuali dikasih. Dasar pelit dia mah.
“Eh, Fa, nih kenalin teman SMA yang dulu keluar sebelum kelulusan,”
Aku berjabat tangan, dan mengenalkan diri.
“Poster di depan itu kakakmu ya, Jon? mau nyalon jadi anggota DPRD toh?” tanya temannya. Aku hanya menjadi pendengar setia saja.
“Hehe, iya,”
“Lho, partai kakakmu ini ‘kan banyak yang benci? Kemungkinannya kecil sepertinya,”
“Wallahu a’lam. Ya, aku juga paham. Tidak mungkin menjadikan semua manusia di dunia ini menyenangi, menyukai kita. Sekalipun tidak ada lagi yang memusuhi, kita tetap punya musuh abadi…” Jon tidak menjawabnya langsung.
“Apa itu, Jon?”
“Syetan dan hawa nafsu,”
“Kamu sendiri termasuk kader, Jon?”
“Enggak. Hanya simpatisan,”
“Berarti kamu nggak netral, donk?”
“Golput maksudnya?” aku memotong pembicaraan.
“Hehe, enggak, Insya Allah,” jawab Jon. “Seorang intelektual, tidak boleh menutup diri dari medan laga perpolitikan, tapi juga tidak harus fokus. Aku sudah memutuskan untuk fokus dalam dunia pendidikan desa, pendidikan kaum terlemahkan. Tapi aku tak menutup mata dari perpolitikan bangsa,”
“Resikonya besar lho, Jon, mendukung partai itu. Sepertinya mending netral saja,”
“Orang-orang netral adalah orang-orang yang memilih hidup nyaman. Bagiku, hidup nyaman bukan karakter hidup seorang pria. Bahkan, rasululloh itu sampai dua kali ditegur karena hidup nyaman,”
“Ah, masa’?”
“Cob abaca surat Al Muzzamil dan Al Mudatsir. Itu teguran dari Allah, bahwa orang-orang yang berselimut (hidup dalam kenyamanan) harus bangkit, memperbaiki dunia.”
“Tapi, Jon,” aku menyela lagi. “Seorang sahabat, Abdurrahman bin ‘Auf pernah berkata, ‘sekiranya menjadi kaya (hidup nyaman) itu haram, pasti rasulullah akan melarang,’ jadi, hidup nyaman itu boleh, dong,”
“Siapa bilang tidak boleh? Yang menjadi titik penting adalah, siapa yang kita contoh, para sahabat atau rasululloh? Seorang muslim yang militant, tidak akan mencari enaknya saja dalam beragama. Menurut kalian, apa makna cerita Nabi Yunus?”
“Lari dari tanggung jawab?” jawabku.
“Ketakutan gagalnya misi dakwah?” jawab teman Jon.
“Emm… Kisah para nabi, atau waliyulloh yang terabadikan di kitab suci, adalah cerminan masa yang akan datang. Apa cerminan dari kisah Nabi Yunus? Menurut kalian –lagi, lebih utama mana seorang intelektual yang pulang ke desa dan membangunnya meski tak dianggap apa-apa, atau seorang intelektual yang hidup di perkotaan, meninggalkan kampungnya yang Madesu, atau bahkan bekerja di luar negeri?”
“Masing-masing, Jon, masing-masing,” jawab kami serentak.
“Hidup ini harus realistis, Jon. Makan itu pakai nasi – materi, bukan pakai doa atau dzikir atau hanya sebatas ikhlas. Aku kira wajar mereka yang pintar, lalu meniti karir demi masa depannya dan keluarganya,”
“Ya, betul,” teman Jon sepakat. “Kuliah itu mahal. Pengorbanannya tidak sedikit, atau bahkan menyakitkan. Lagipula, mana ada sih orang tua yang nggak suka lihat anaknya berhasil?”
“Betul. Mereka, kaum intelektual yang meninggalkan desa, atau masyarakat kota yang selemah masyarakat desa, itulah yang aku sebut sebagai Nabi Yunus-Nabi Yunus modern,”
“Tapi Jon, Nabi Yunus ‘kan di makan ikan raksasa, hingga ia keluar dan mengucap doa la illaha illa anta subhanaka inni kuntu minadzolimin (Tidak ada Tuhan selain Engkau, Allah, sesungguhnya akulah yang mendzolimi diri sendiri). Mereka yang kau sebut sebagai Nabi Yunus Modern, buktinya tidak ada ikan paus (ujian besar) yang menjadikannya sadar seperti Nabi Yunus,”
“Coba kita pikirkan, barangkali, bangsa ini sedang berada dalam perut ikan raksasa itu. Kegelapan, karena para intelektualnya, lebih memilih hidup nyaman, hanya bisa memaki-mengumpat, menjaga jarak dari masyarakat tak berderajat-bermartabat. Dengan alasan, bahwa hidup sederhana – seperti rasulullah, adalah mengerikan, menyedihkan. Bahwa dunia – dan segala isinya, ini penting. Duni ini tidak penting, tapi sebaiknya ada,”
Adzan duhur berkumandang. Rokok pun kami matikan, dan kami mulai melangkahkan kaki pada rumah Tuhan. Menanti jamuan, bukan mengharap pahala atau surga, tapi kedamaian : jasad, pikiran, dan hati. Segala apapun yang terjadi, semoga kami selalu dalam ketenangan diri.