Kamis, 8 Agustus 2013
Aku melihat luka sayatan-sayatan kecil di seluruh tubuh bekas rumput gajah hari kemarin. Perih sekali, sekujur tubuh. Seringkali aku bertanya sendiri, “Akan dengan apa Engkau membalas kerja beratku ini, Tuhan?” dan aku pun enggan berdebat kembali, seperti di tahun-tahun lalu : hidup menuntut manusia untuk ikhlas. Semua orang ikhlas menandakan kehidupan manusia gila. Tapi tidak semua manusia gila termasuk dalam golongan orang-orang ikhlas. Seseorang tertidur di bawah pohon bidara. Tiba-tiba ada orang yang membangunkannya, meminta batu yang ada di sakunya.
“Batu apa?” tanya orang yang tertidur itu.
“Batu yang ada dalam sakumu, aku tahu dari mimpiku,” kata seseorang yang membangunkan.
“Oh, barangkali ini,” ia menyerahkan batu itu, yang ternyata, INTAN.
Lalu seseorang yang membangunkan itu pun pulang. Tapi, hari-harinya kini selalu cemas. Takut hilang, takut berkurang, takut ada yang mencuri. Akhirnya ia mendatangi seseorang yang sedang tertidur itu lagi. Ia pun meminta, “Aku mau kekayaan milikmu, yang dengan mudahnya kau sanggup memberikan batu intan ini padaku begitu saja!”
Kekayaan apa itu?
Pagi tadi, sholat ied seperti biasa. Ada yang berbeda dengan perasaan tadi pagi. Tenang, damai, seakan kehidupan benar-benar berawal dari dalam : hati. Perasaan ku berkata, “Pikiran hanya bisa dimasuki hal-hal kecil saja,” tentang persoalan penampilan, penilaian orang, rutinitas monoton, baju jelek, sandal butut, motor kucel, bla bla bla. Pikiran tempat hal-hal sepele tersimpan.
Lalu siangnya nyadran, door to door menuju keluarga besar nenek. Ya ampun, ada berapa puluh sudah keponakan saya itu? Ternyata aku sudah tak muda lagi. Banyak dialog yang terjadi, tentang sekolah tetangga yang korup, tentang obrolan-obrolan nonsense freemason-iluminasi, tentang pencalonan kakak menjadi anggota dewan, juga tentang halal bi halal Bani Taher (keluarga besar kakek dari pihak ibu) di rumah. Lihat, kami pakai kata ‘bani’, ini bukan hanya sekedar untuk keren-kerenan. Tapi, imajinasiku menggambarkan, akan sebesar apa generasi ini jika selalu bersatu, kelak?
Siang yang seharusnya untuk istirahat, go to cage. Ah, ya ampun. Mantap sekali hidup saya ini. Ba’da ashar langsung tepar. Tidur sampai menjelang maghrib. Sebenarnya masih pegal ini badan, mungkin karena kemarin mbecak cukup jauh dengan beban yang tak bisa disebut ringan. Tapi inilah hidupku, kehormatan dan hidupku tumbuh menjadi satu.
Nyaris seharian otak tak bisa berpikir, merenung. Mungkin kecapean. Apakah Engkau tak kecapean, Tuhan, dengan mata-Mu yang tak pernah tidur?