Jumat, 30 Agustus 2013
Tahun
2010, saat aku masih kuliah kerja nyata, sering aku bermimpi menjadi orang gila
yang tertawa dengan air muka sedih di pinggir jalan. Pernah membayangkan, atau
mungkin mempraktekan, tertawa dengan raut muka sedih? Tragis sekali.
Hampir
sepuluh hari aku tak menulis cerita hidup picisan ini. Rasanya malas sekali,
ketika semua kerja keras nampaknya berujung pada satu tujuan mutlak :
kesia-siaan. Tiga persoalan yang entah besar atau kecil, beruntun datang. Seorang
guru keras kepala yang gimana gue tanpa
sadar diri, kakak ipar keguguran calon bayinya, dan pemeras yang
mengatasnamakan LSM. Sepertinya, memang susah hidup menjadi bukan orang kaya di
negeri ini. Ketika ada tekad untuk memperbaiki ekonomi, maka akan banyak
pihak-pihak yang menginginkan uang kita, dengan ancaman mencari-cari kesalahan
secara hukum. Ada benarnya para orang cerdas hidup di kota, paling tidak, medan
perangnya jelas, sesama orang cerdas, bermain logis, empiris. Tidak seperti di
desa, orang-orang jahatnya anarkis, najis, bermain seperti anak kecil yang jika
kalah sedikit langsung menangis, lapor pada atasan yang lebih bengis.
Aku tidak
akan pernah melupakan sikap mereka, orang-orang yang seakan tak pernah rela
kami membangun peradaban untuk mereka yang miskin. Orang-orang berseragam
dinas, orang-orang yang duduk di dalam gedung legeslatif, atau para cecunguk
bawahan yang menjilati air kencing para bos beruang.
Sampai aku mati, ingatan ini akan selalu tersimpan rapi, menjadi api yang tak
akan pernah padam, bergejolak mendesak membalas dendam.
Banyak
orang berkata, hidup ini bergantian. Saat ini kau di atas, besok, kau masih di
atas, tapi aku lebih atas daripada engkau. Saat itu terjadi, giliranku untuk
menginjakmu, itu jika kita mengikuti rayuan bangsat para syetan. Hidup ini
menggelikan. Mereka, orang-orang mapan, kaya, berseragam penuh wibawa, dengan
wewenangnya begitu gampang merendahkan, menyalahkan yang benar. Tapi ketika
kita berada di atas mereka, dengan dalih agama, Tuhan, kitab suci atau apalah,
kita tak diperbolehkan melakukan itu. Sedangkan hidup adalah pertarungan. Dulu kau
menebas nyawaku, esok giliranku menebas nyawamu. Begitu, bukan? Seakan dunia
ini hanya ada perang, saling menjatuhkan, saling mematikan – pikiran,
kesempatan, perasaan, iman – menghancurkan kehidupan satu sama lain. Apa sebenarnya
tujuan Tuhan menggelar sandiwara ini?
Kakak ke-4
berkata padaku saat aku menceritakan beberapa persoalan yang sedang dihadapi
keluarga saat ini.
“Kamu
harus kuatkan pikiran dan hati. Tapi fisik juga harus dijaga, ya?”
Mengingat
beberapa hari ini, atau mungkin memasuki tahun ajaran baru sekolah ini, aku tak
pernah tidur kecuali tengah malam dan bangun pagi-pagi. Beberapa kali ia
meminta bantuan untuk menjemput suaminya di stasiun alun-alun kota di tengah
malam.
“Nanti
jam satu pagi tolong jemput suamiku, ya? Nanti kamu tak telepon,”
“Nggak
usah, sms aja. Jam segitu aku belum tidur,”
“Lah,
memangnya ngapain jam segitu belum tidur?”
“Banyak
hal yang perlu aku cari solusi dan kerjakan sampai selesai,”
Tadi,
selepas isya pergi ke pasar alun-alun beli seragam pramuka siswa yang belum
kebagian. Seorang guru pernah menyela, saat aku bilang itu seragam beli di
pasar alun-alun.
“Beli
murah begitu, nanti kualitasnya jelek?”
“Yang
penting ada dulu. Toh ini gratis, pakai uang pribadi saya,” kataku. Siswa tidak
kami bebankan untuk hal-hal semacam itu. Tidak ada paksaan dalam hal pembayaran
apapun di sekolah itu. Kami datang murni untuk memudahkan kehidupan masyarakat
sana.
Ketika
guru bermasalah itu aku ceritakan, para guru agak khawatir dengan pembelaan
beberapa pegawai dinas padanya.
“Tapi,
apa nantinya tidak membahayakan sekolah ini, pak, kalau kita nggak ada
pembelaan sama sekali?”
“Wallahu
a’lam.” Aku tersenyum. “Ini persoalan kecil, bagi saya, pembelaan dari para
guru sudah lebih dari cukup. Kita akan terus berjalan tanpa memikirkan guru
yang hanya memberatkan langkah kita itu. Ke depan, kita harus semakin siap
dengan apa yang terjadi. Karena, konsekuensi setelah kita dilahirkan adalah,
selalu siap menghadapi apapun,”
Terkadang
memang seakan kejam, jika melihat kenyataan hidup secara ontologism. Bukan kita yang memilih hidup ini, tapi kehidupan-lah
yang memilih kita untuk hidup. Aku merasakan itu. Hidup, bagiku bukan pilihan,
tapi keharusan. Seorang nenek tua penjual tape peuyeum di pasar alun-alun,
malam-malam, ia bisa saja memilih tinggal di rumah daripada berjualan
malam-malam, dingin, dan belum tentu laku atau untung besar. Berapa sih untung
dari penjualan tape peuyeum di tempat yang tak begitu ramai? Tapi itu
keharusan. Tapi keharusan ini tak boleh disertai keinginan, karena saat
kenyataan berlainan dengan keinginan atau harapan, kita akan pulang, bukan
hanya membawa untung kecil, tapi kekecewaan yang memberatkan langkah pulang. Seperti
kata Budha, bahwa hidup ini penderitaan : selama ada keinginan. Karena, Tuhan
tak bisa kita paksa untuk memenuhi apa yang kita inginkan. Kita harus bekerja. Harus,
bukan memilih. Saat masalah atau musibah datang, terimalah kenyataan jika kita
memang sendirian. Karena Tuhan, tertawa di atas langit bersama para setan. Satu-satunya
teman kita, adalah otak kita. Jagalah ia agar tetap sehat. Tetap waras.