Para prajurit Malaikat Mikail : Pelacur

Java Tivi
0
Jumat, 9 Agustus 2013

            Para pelacur adalah para prajurit Malaikat Mikail. Siapa yang tak diuntungkan dari adanya pelacuran? Ulama? Dari bacot tanpa gerakan pertolongan pada para pelacur, mereka mendapat uang. Penguasa? Buktinya mereka tak bisa menghentikan laju arus pergantian wanita-wanita yang menjual diri, meniadakan diri tanpa bekas itu. Para polisi, militer, tukang penjaga keamanan? Mereka dapat double bonus : uang tips dan seks gratis! Mucikari, germo, tukang sponsor, wartawan, sampai tukang parkir dan pedagang kaki lima? Mereka mendapat rizki dari adanya praktek jual kemaluan dan dada para pelacur. Tidak aneh, menjelang lebaran kemarin, di Kabupaten Tegal, beberapa germo menggeruduk pak lurah, meminta dibuka kembali lokalisasi bisnis mereka. Mengapa? Mau lebaran, jek! Siapa yang kagak pengin duit banyak! Hari raya idul fitri telah menjadi kotor di jaman ini : sebatas ritual untuk berfoya-foya. Dan kita bertakbir ALLAHU AKBAR! saat idul fitri dengan kecacatan mental yang kita miliki.

Hukum tentang pelacuran itu tidak ada di negeri ini. Yang ada hanya hukum yang mengatur KDRT dan pelecehan seksual pada anak usia dini. Tentang pelacuran, abolisi tidak ada, non-abolisi juga tidak jelas. Jadi bebas!

            Tidak seperti di negeri yang katanya menjajah kita : Belanda. Di sana disediakan tempat khusus untuk para penjahat berpesta : narkoba, pelacuran, judi, dll. Hanya di satu tempat, yang benar-benar dijaga ketat oleh keamanan, militer. Jika ada yang melakukan kejahatan itu di luar tempat itu, maka ditindak hukuman seumur hidup atau bahkan mati. Di Indonesia? Hukum dan penegaknya, banci.

            Ah, sudahlah. Terkadang aku bingung, bahkan hanya untuk menghadapi pengamen banci yang datang ke rumah. Apalagi persoalan pelik seperti itu? Ya ampun…

            Hari ini ada halal bi halal keluarga kakek. Dua ekor kambing dikurbankan. Ramai sekali. Tapi justru saya malu jika berada dalam keramaian seperti itu. Akhirnya memilih menyepi, makan sate dan gulai di kamar, sambil nonton kartun Epic.

Sore hari, saat mengambil pakan untuk sapi-sapi itu, ada perasaan lega. Perasaan tenang, tak terbebani bayangan harus melakukan perjalanan lagi ke tempat perantauan untuk menuntuk ilmu. Tahun ini, mutlak aku dimiliki tempat kelahiranku ini. Tidak ada lagi sesak-sesakan di bus, ketinggalan bus, ditinggal bus di Sumedang saat tertidur sejenak, tidak ada lagi jalan kaki di dini hari dari Caheum-Setiabudi. Tidak ada lagi senyum teman-teman forum, diskusi bebas, canda dan obrolan remeh yang terasa sepenting perang dunia, juga tidak ada jalan-jalan malam al ma’un lagi. Ternyata, cepat sekali usia muda itu kita lewati. Kita tak mungkin selalu bersama. Sehebat apapun lebah, mereka tak boleh terus menerus berada dalam satu tempat. Mereka harus berpencar, mencari tempat bermanfaat, atau bahkan membuat sarang-sarang lebah yang baru. Kita tak pernah menjadi sempurna, teman. Seperti kaki yang tak mungkin berjalan bersama-sama. Kanan-kini, benar-salah, harus beriringan, selang-seling. Kita tak mungkn selamanya benar, kita tak mungkin selamanya menang. Sesekali kejatuhan itu penting, sesekali kita harus menjadi si gagal, si salah, si kalah, si lemah. Kita mampu melihat kelemahan orang lain, karena kelemahan kita sendiri. Manusia sempurna tak bisa melihat kelemahan orang lain, karena ia sempurna. Kelemahanku, membuatku mampu melihat kelemahan sesamaku.

 Menjelang keberangkatan sekolah, bayangan-bayangan itu kembali lagi. Suatau saat yang tepat, mungkin akan aku sampaikan, tentang impian keputusasaan setelah kelulusan mahasiswaku.

“Pernahkah kalian bertanya, ‘apa impianmu setelah lulus? Apa rencanamu?’ padaku? Aku hanya ingin membantu bapak dan ibu, sungguh, tidak lebih. Hanya sebatas membantu di sawah, mengambil air, menjaga tambak, berkebun, menjadi pembantu rumah tangga. Bukan, bukan berarti aku menyerah. Tapi, kesadaran mendidik yang aku pahami sangat berat. Aku takut tak kuat, menjadi seorang pendidik seperti pemahamanku. Dan aku tak mau mengkhianati kesadaran itu karena alasan uang, jabatan, atau apapun yang, sungguh, di mata saya itu semua remeh. Kedua, ya ampun, dengan apa aku harus membuktikannya, bahwa aku sudah tidak menginginkan apapun dalam kehidupan ini. Aku sudah tak berharap apapun dalam hidup ini. Aku tidak tahu, mengapa manusia dengan keputusasaan seperti ini masih dibiarkan hidup, dan lagi, diberikan amanah yang sungguh tak sedikitpun aku menginginkannya.”

Tidak ada satupun manusia yang memahami isi hati -kita, selain diri kita sendiri.
Tags

Post a Comment

0Comments
Post a Comment (0)