Serial Jon Quixote de
la Indonesia
Si Jon senyum-senyum sendiri
sepulangnya dari kantor pengawasan pendidikan setempat. Aku yang baru saja
pulang ngantor, iseng, menyapanya di
depan rumah.
“Kumat
lu, Jon? hehe,”
“Asem, baru pulang dari ketemu pengawas
sekolah nih,”
Mendengar itu, aku mematikan mesin motor, lalu turun dan
bertanya-tanya padanya.
“Ada
masalah toh?”
“Memangnya
kalau ketemu sama pengawas harus ada masalah?”
“Ya
enggak sih. Berarti, nggak ada masalah ya?”
“Enggak
juga,”
“Lah? Maxute pimen (maksudnya bagaimana)?”
“Masalah
guru yang bermasalah itu,”
“Oo..
Tadi bahas itu? Kenapa memangnya?”
“Iya.
Ya… Intinya, beberapa pegawai disana membela dia, dan seakan berkas-berkas yang
saya bawa itu adalah rekayasa untuk menyudutkan guru tersebut. Saya teranggap
sebagai si kejam, zalim, otoriter,”
“Hahaha!”
“Lah?
Kok ketawa?” tanya Jon.
“Baru
kali ini aku lihat kau begitu tertekan, hehe,”
“Kampret! Aku juga manusia,”
“Terus
terus, solusinya bagaimana?”
“Ya…
Pengawas sekolah itu menyarankan agar guru tersebut diterima kembali, bahkan
jangan dipermasalahkan masalah anaknya yang tidak di sekolahkan di sekolah
kami. Pengawas tersebut juga membandingkan jumlah siswa sekolah kami dengan
jumlah siswa SD negeri yang lebih sedikit,”
“Waah…
Nggak bener itu. Kalau SD negeri, siswa sedikit atau banyak, gaji guru dari
pemerintah. Lah, sekolahmu itu kan swasta, honor dan operasional dari BOS yang
banyaknya menyesuaikan banyaknya siswa,”
“Ya,
makanya, beliau nggak paham duduk permasalahannya. Jadi apapun pembelaan saya,
hanya meyakinkan beliau, bahwa saya merekayasa untuk mengeluarkan dia,”
“Memangnya,
jika kita melihat kesalahannya ya, Jon, apa cuma gara-gara anaknya nggak di
sekolahkan di tempat mengajarnya sendiri?”
“Enggak
lah…. Satu-satunya guru yang berani memarahi kepala sekolah, memerintah,
menegur, bahkan meremehkan kinerja kepala sekolah. Tapi, yang lebih dari itu
semua adalah, dia melakukan itu tanpa merasa bersalah, tanpa sadar,”
“Walaaah…
Ya mendem (teler) itu guru. Melakukan
tindakan kurang ajar seperti itu tanpa sadar,”
“Ya..
Makanya, orang mabuk, mau dibagaimanakan juga nggak bakalan sadar,”
“Masalah
besar ya, Jon?”
“Nggak
juga,”
“Lah?
Terus?”
“Dari
awal, sekolah itu memang lahir prematur dan
anak haram,”
“Maxutnyah?”
“Prematur,
karena lahir sebelum waktunya,”,
“Sebelum
waktunya gimana toh?” aku memotong.
“Ya..
karena yang mendirikan kakak saya, yang basicnya bukan pendidikan, plus, nggak
fokus di pendidikan. Para ustadz setempat ingin mendirikan MI (Madrasa
Ibtidaiyah/ setingkat SD), lalu karena ada indikasi penyelewengan kekuasaan,
diambil alih-lah sekolah itu oleh kakak
saya. Ustadz-ustadz itu memang jelek
di masyarakatnya sendiri,”
“Lalu,
kenapa kau bisa mengatakan anak haram buat
sekolahmu sendiri?”
“Karena
nggak diharapkan oleh sebagian besar masyarakatnya. Dari awal kelahiran,
sekolah it uterus menerus babak belur, diserang dari sana-sini,”
“Siapa
yang membelamu, Jon?”
“Seperti
kasus sepele guru ini, kami dari awal tidak ada yang membela, selain …”
“Selain
siapa?”
“Allah,”