Serial Jon Quixote
Ayo, kita intip lagi dunia konyol
si Jon. Apa kabarnya hari ini?
Rasanya
sudah begitu lama aku tak menyapanya. Dunianya dengan duniaku sangat berbeda.
Aku masih hidup dalam kenyamanan, kemapanan, sedangkan ia masih getol berjibaku
dalam kehidupannya yang tak masuk akal. Aku menemuinya saat menarik becak
sore-sore, hampir menjelang maghrib. Ia guru, tapi kok ya mbecak bawa jerami sebanyak itu.
“Kau
itu memang nggak ada kapoknya. Digaji berapa sih, sampai sore-sore begini kau
masih angon?”
“Gajimu
nggak ada apa-apanya sama kerjaku ini,” katanya sembari mengayuh becak.
“Halah,
gajiku per bulan 2,5 juta. Kerja dari jam 7 sampai jam 2. Berapa gajimu itu,
sampai kerja sampai hampir maghrib saja belum selesai?”
“Kau
pernah bertanya, berapa harga hati yang tenang?”
Aku
diam.
“Tidak
ada pekerjaan yang kecil atau pun besar, yang ada hanya manusia berjiwa kecil,
ataupun besar. Titik penting satu pekerjaan bukan pada prestise atau besarnya gaji, tapi pada kebermanfaatan orang banyak,
dan hati yang tenang,”
“Hyah,
itu ‘kan pendapatmu yang gajinya kecil. Hidup jaman sekarang, mana bisa hanya
dengan gaji yang kecil?”
“Besar
kecil itu, tergantung pikiran. Bintang di langit, terlihat kecil. Bisa jadi,
yang kecil itu lebih berguna daripada yang besar,”
“Dalam
dunia administrasi, Jon, duniaku itu, pemahaman sufismemu ini tak berguna.
Semua harus bisa terukur, jelas, logis, dan tentunya memuaskan,”
“Emm..
Aku jadi ingat, dulu waktu kuliah, seorang kakak tingkat pernah menyindirku.
Katanya : Ya, jadi PNS saja sana, biar sufismemu hilang! Haha. Aku hanya
tersenyum. Siapa juga yang tertarik dengan PNS. Profesi guru memang dekat
dengan dunia administrasi, tapi bukan berarti aku tak bisa menuruti kehendak
hati, bukan pikiran atau hawa nafsu,” katanya. “Segala hal yang terhitung,
tidak semuanya penting. Segala hal yang penting, tidak semua bisa terhitung.
Tidak semua persoalan dunia ini logis, dalam kedangkalan pikiran kita.
Memuaskan itu bukan urusan besar kecilnya perhitungan hasil, tapi hati,”
“Lah,
kau ini bisa saja mendalih. Tetap saja, Jon, orang lapar itu ya butuh makan.
Tidak bisa hanya sebatas membayangkan, merasakan kenyang. Seperti sholat dan
mengingat Tuhan. Jika bisa mengingat Tuhan tanpa sholat, maka seperti makan
hanya dalam pembayangan saja. Seseorang tak akan kenyang, hanya karena
membayangkan makan makanan saja,”
“Betul.
Itu logis. Tapi, kau pernah membaca kisah para sahabat gua (ashabul kahfi)?”
“Ya
pernah lah. Gini-gini aku juga orang Islam,”
“Hehe.
Menurutmu, logis nggak mereka hanya makan sekali, tapi tertidur ratusan tahun?”
“Ya
logis saja lah. Itu ‘kan kehendak Allah,”
“Jika
logis, apa penjelasannya?”
“Yaa…
Memangnya kau tahu?”
“Hehe.
Tak logis, tapi realistis. Kita bekerja, ini sunnatullah (keharusan) selama
kita hidup. Tapi aku tak pernah menghitung-hitung, harus berapa besar aku
diberi upah atas kerja pagi hingga sore seperti ini,”
“Justru,
Jon, masa depan itu untuk mereka yang memiliki impian. Kau tak pernah
menginginkan gaji besar, makanya gajimu akan tetap kecil saja. Kau tak pernah
menghitung-hitung seberapa berat kerjamu, maka itulah yang kau dapat, gaji
kecil dan tak seberapa. Kau harus punya mimpi, Jon.”
“Ehh??
Siapa bilang aku tak punya mimpi? Impianku banyak, aku tetap bekerja keras,
tapi aku tak berambisi. Seorang muslim yang baik tak akan pernah
menghitung-hitung kesalahan orang lain, juga tak akan pernah menghitung-hitung
kebaikan yang pernah dilakukannya. Apa yang harus ku perhitungkan di hadapan
Tuhan, sedangkan Dia memberiku begitu banyak hal? Masa’ aku yang baru mengayuh
becak begini saja dan mengajar di pagi hari menuntut ini-itu pada-Nya?”
“Justru
sebaliknya, kita harus meminta banyak pada Tuhan, setelah kita bekerja keras.
Itu harus, Jon. Apa yang akan terjadi dengan orang-orang dalam dunia
administratif, jika tak punya ambisi? Dunia itu penuh gesekan dan intrik. Jika
kita lemah, kita kalah,”
“Tidak
ada yang harus, bagiku, hanya sebaiknya. Tapi, aku juga tak mau meminta, atau
menuntut pada Tuhan, sekalipun aku bekerja sangat keras. Aku hanya menyampaikan
kebutuhanku pada-Nya. Dia akan memberi atau tidak, toh aku bekerja keras, tak
pernah berhenti, dan tanpa ambisi,”
“Lahh…
Kau ini memang susah dibilangin,” aku kesal. “Rasanya pasti tidak enak, bukan,
pagi hari bekerja keras, di sore hari menggembala mencari rumput seperti ini?”
“Ia
yang merasakan, pasti paham. Seseorang akan takut melihat peselancar yang
melawan ombak, tapi bagi ia yang merasakan, hemm…” Jon tersenyum.