Akulah Sang Penjahat Bangsat (I)

Java Tivi
0

Serial Jon Quixote de la Indonesia

                Lebih baik menganggap diri sendiri sebagai penjahat, daripada sebagai orang baik : menurut Jon Quixote. Mengapa? Dunia ini, seberapapun manusia mendapatkan kebahagiaan, ia tidak akan pernah benar-benar bahagia. Kok bisa? Semisal, katakanlah seseorang membutuhkan seorang istri yang salih – seperti yang Jon idam-idamkan, lalu dengan usaha keras ia mendapatkannya. Apakah ia bahagia? Mungkin. Mengapa mungkin? Kebahagiaan seperti apakah yang dirasakan seseorang dengan ketidakbahagiaan orang-orang di sekitarnya yang tidak, katakanlah, seberuntung dirinya? Si Jon memang menikah dengan wanita yang ia butuhkah, tapi bagaimana dengan orang lain yang bernasib tidak sebaik ia? Kesimpulannya, jika dunia ini penuh ketidakbahagiaan, lebih baik menganggap diri sebagai penjahat, agar semua penderitaan yang menimpa, atau terjadi di dunia ini, terasa pantas, layak. Logika cacat (!).
                Sore itu, susah payah aku mengamati si Jon yang sedang mainan comberan, ternyata hanya untuk menyelamatkan anak ayam yang terjatuh.
                “Lagi ngapain sih?” tanyaku melihat Jon yang tangannya masuk ke gorong-gorong comberan.
                “Jadi orang jahat,”
                “Maksudnya?”
                Lalu si Jon menunjukan anak ayam yang kotor belepotan comberan.
                “Inih,”
                “Elu nolongin itu anak ayam???”
                “Iya,” jawabnya tanpa ekspresi.
                Aku menggelengkan kepala. Bukan hanya dengan sikapnya yang tak masuk akal, mau kotor-kotor begitu hanya untuk anak ayam, tetapi juga jawabannya ‘Jadi orang jahat’ saat ku tanya tadi. Jika begitu saja jadi orang jahat, bagaimana saat ia menjadi orang baik?
                “Aku lupa kapan terakhir kalinya aku berbuat baik. Yang bisa selalu aku lakukan adalah, menjadi penjahat,”
                Aku pernah dialog dengan salah satu teman kuliahnya dulu. Katanya, si Jon itu pernah mengalami fase penghinaan yang menyakitkan saat ia kuliah. Lalu aku ceritakan saat 2006 tahun itu. Barangkali, di tahun itulah Jon kehilangan ingatannya, alias amnesia.
                Tahun 2006 akhir, saat si Jon baru tobat, ia berangkat mengaji untuk hari kedua. Di tengah perjalanan, motornya ditabrak, ia dan temannya jatuh. Tapi, uniknya adalah, bukannya Jon yang ditolong, justru Jon yang apes. Motornya hancur, badan babak belur, uang ratusan ribu melayang. Si Jon yang saat itu kelas tiga SMA, beberapa kali membohongi bapaknya kalau ia menunggak SPP selama beberapa bulan : untuk melunasi uang ratusan ribu itu. Selanjutnya? Jon punya adik angkat saat SMA. Ia sekolah di SMA yang sama dengan Jon. mau tak mau, mulai dari uang saku hingga SPP, si Jon-lah yang menanggung. Akhirnya, selain amnesia, ia juga harus bekerja serabutan di jalanan, terminal, untuk menutup semua uang yang ia gunakan.
                Penghinaan seperti apapun, bagi Jon itu tidak sesakit gigitan seekor semut. Saat wanita yang Jon sukai – ketika masa kuliahnya – merendahkannya pun, si Jon bahkan membuktikan bahwa itu bukan masalah apa-apa. Ia tetap kuliah, berkarya, menjadi mahasiswa panggilan : menemani para aktivis yang ditelantarkan. Melayani mereka yang membutuhkan sedikit tenaga dan pikirannya.
                Kalau kita memandang wajah Jon secara seksama, akan kita temukan nuansa tua disana : tapi jangan lama-lama nanti muntah (hehe). Wajahnya tanpa ekspresi, datar, mirip orang psikopath. Dia akhir-akhir ini memang yakin kalau dirinya, sebelum kejadian tahun 2006 itu, adalah penjahat : bangsat. Ada perasaan aku seorang penjahat yang begitu dalam, tapi ia tak mampu mengingat-ingatnya.
                “Kita akan merasa damai setelah mendapatkan apa yang kita butuhkan. Tapi, kedamaian itu akan hilang, saat keinginan datang. Seperti anak ayam ini,” kata si Jon yang masih mainan anak ayam rasa comberan.
                “Seperti anak ayam itu bagaimana maksudnya?” tanyaku.
                “Sebenarnya, bukan anak ayam ini saja yang membutuhkan induknya, tapi aku juga. Membutuhkan kedamaian meski hanya sekedar dari jalan menolong anak ayam ini,”
                “Tapi, tadi kau bilang, lagi jadi orang jahat?”
                “Memang. Karena aku orang jahat, aku pantas kotor-kotor seperti ini. Orang baik tak akan mau terjun ke comberan. Kita ini ‘kan para manusia jahat,”
                “He? Manusia jahat bagaimana toh?”
                “Cinta pada dunia, menggerogoti cinta manusia pada alam dan sesamanya. Bukan hanya pada rusaknya alam karena sampah, tapi hilangnya kesadaran cinta kita pada sesama manusia. Acuh pada mereka yang miskin, kelaparan, gila di pinggir jalan, perang…”
                “Lah Jon, kita ini mikirin diri sendiri saja sudah susah. Kenapa mesti mikirin hidup orang lain?” aku memotong ucapannya.

                “Itu dia maksudku. Kita ini manusia jahat. Egois. Individualistis. Imbalanis (tak mau beramal jika tanpa imbalan). Beramal sedikit saja langsung merasa suci. Dekat dengan Tuhan. Tak punya persoalan. Sangat wajar, dunia ini diciptakan dengan ciri khas penderitaan, karena tempatnya orang-orang jahat. Kau, merasa telah menjadi orang baik?”

Post a Comment

0Comments
Post a Comment (0)