Serial Jon Quixote de
la Indonesia
Lebih baik
menganggap diri sendiri sebagai penjahat, daripada sebagai orang baik : menurut
Jon Quixote. Mengapa? Dunia ini, seberapapun manusia mendapatkan kebahagiaan,
ia tidak akan pernah benar-benar bahagia. Kok bisa? Semisal, katakanlah
seseorang membutuhkan seorang istri yang salih – seperti yang Jon idam-idamkan,
lalu dengan usaha keras ia mendapatkannya. Apakah ia bahagia? Mungkin. Mengapa
mungkin? Kebahagiaan seperti apakah yang dirasakan seseorang dengan
ketidakbahagiaan orang-orang di sekitarnya yang tidak, katakanlah, seberuntung
dirinya? Si Jon memang menikah dengan wanita yang ia butuhkah, tapi bagaimana
dengan orang lain yang bernasib tidak
sebaik ia? Kesimpulannya, jika dunia ini penuh ketidakbahagiaan, lebih baik
menganggap diri sebagai penjahat, agar semua penderitaan yang menimpa, atau
terjadi di dunia ini, terasa pantas, layak. Logika cacat (!).
Sore
itu, susah payah aku mengamati si Jon yang sedang mainan comberan, ternyata
hanya untuk menyelamatkan anak ayam yang terjatuh.
“Lagi
ngapain sih?” tanyaku melihat Jon yang tangannya masuk ke gorong-gorong
comberan.
“Jadi
orang jahat,”
“Maksudnya?”
Lalu si
Jon menunjukan anak ayam yang kotor belepotan comberan.
“Inih,”
“Elu
nolongin itu anak ayam???”
“Iya,”
jawabnya tanpa ekspresi.
Aku
menggelengkan kepala. Bukan hanya dengan sikapnya yang tak masuk akal, mau
kotor-kotor begitu hanya untuk anak ayam, tetapi juga jawabannya ‘Jadi orang
jahat’ saat ku tanya tadi. Jika begitu saja jadi orang jahat, bagaimana saat ia
menjadi orang baik?
“Aku
lupa kapan terakhir kalinya aku berbuat baik. Yang bisa selalu aku lakukan
adalah, menjadi penjahat,”
Aku
pernah dialog dengan salah satu teman kuliahnya dulu. Katanya, si Jon itu
pernah mengalami fase penghinaan yang
menyakitkan saat ia kuliah. Lalu aku ceritakan saat 2006 tahun itu. Barangkali,
di tahun itulah Jon kehilangan ingatannya, alias amnesia.
Tahun
2006 akhir, saat si Jon baru tobat, ia berangkat mengaji untuk hari kedua. Di
tengah perjalanan, motornya ditabrak, ia dan temannya jatuh. Tapi, uniknya
adalah, bukannya Jon yang ditolong, justru Jon yang apes. Motornya hancur,
badan babak belur, uang ratusan ribu melayang. Si Jon yang saat itu kelas tiga
SMA, beberapa kali membohongi bapaknya kalau ia menunggak SPP selama beberapa
bulan : untuk melunasi uang ratusan ribu itu. Selanjutnya? Jon punya adik
angkat saat SMA. Ia sekolah di SMA yang sama dengan Jon. mau tak mau, mulai
dari uang saku hingga SPP, si Jon-lah yang menanggung. Akhirnya, selain
amnesia, ia juga harus bekerja serabutan di jalanan, terminal, untuk menutup
semua uang yang ia gunakan.
Penghinaan
seperti apapun, bagi Jon itu tidak sesakit gigitan seekor semut. Saat wanita
yang Jon sukai – ketika masa kuliahnya – merendahkannya pun, si Jon bahkan
membuktikan bahwa itu bukan masalah apa-apa. Ia tetap kuliah, berkarya, menjadi
mahasiswa panggilan : menemani para
aktivis yang ditelantarkan. Melayani mereka yang membutuhkan sedikit tenaga dan
pikirannya.
Kalau
kita memandang wajah Jon secara seksama, akan kita temukan nuansa tua disana : tapi jangan lama-lama nanti
muntah (hehe). Wajahnya tanpa ekspresi, datar, mirip orang psikopath. Dia
akhir-akhir ini memang yakin kalau dirinya, sebelum kejadian tahun 2006 itu,
adalah penjahat : bangsat. Ada perasaan aku
seorang penjahat yang begitu dalam, tapi ia tak mampu mengingat-ingatnya.
“Kita
akan merasa damai setelah mendapatkan apa yang kita butuhkan. Tapi, kedamaian
itu akan hilang, saat keinginan datang. Seperti anak ayam ini,” kata si Jon
yang masih mainan anak ayam rasa comberan.
“Seperti
anak ayam itu bagaimana maksudnya?” tanyaku.
“Sebenarnya,
bukan anak ayam ini saja yang membutuhkan induknya, tapi aku juga. Membutuhkan
kedamaian meski hanya sekedar dari jalan menolong anak ayam ini,”
“Tapi,
tadi kau bilang, lagi jadi orang jahat?”
“Memang.
Karena aku orang jahat, aku pantas kotor-kotor seperti ini. Orang baik tak akan
mau terjun ke comberan. Kita ini ‘kan para manusia jahat,”
“He?
Manusia jahat bagaimana toh?”
“Cinta
pada dunia, menggerogoti cinta manusia pada alam dan sesamanya. Bukan hanya
pada rusaknya alam karena sampah, tapi hilangnya kesadaran cinta kita pada
sesama manusia. Acuh pada mereka yang miskin, kelaparan, gila di pinggir jalan,
perang…”
“Lah
Jon, kita ini mikirin diri sendiri saja sudah susah. Kenapa mesti mikirin hidup
orang lain?” aku memotong ucapannya.
“Itu
dia maksudku. Kita ini manusia jahat. Egois. Individualistis. Imbalanis (tak mau beramal jika tanpa
imbalan). Beramal sedikit saja langsung merasa suci. Dekat dengan Tuhan. Tak
punya persoalan. Sangat wajar, dunia ini diciptakan dengan ciri khas penderitaan, karena tempatnya
orang-orang jahat. Kau, merasa telah menjadi orang baik?”