Akulah Sang Penjahat Bangsat (II)

Java Tivi
0

Serial Jon Quixote de la Indonesia

                Ketika seseorang melukai orang lain, ia sebenarnya merasakan ada yang terluka juga di dalam dirinya. Tapi, rasio adalah budak nafsu. Hati yang terus menerus terhimpit, pada akhirnya tak akan merasakan kesakitan yang ia alami. Begitu kesimpulan Jon setelah mewawancarai para narapidana. Jon masih yakin, bahwa dirinya adalah sang penjahat terbangsat sekelas dengan Stalin atau Hitler. Tapi, barangkali area hippocampus dan cerebellum di otaknya telah rusak, jadi ia sedikitpun tak bisa mengingat kejahatan bejat macam apa yang ia lakukan saat remaja. Tukang cabul-kah? Mengingat tampang si Jon memang cabul dan criminal, asumsi itu sangat mungkin. (hehe)
                “Kau tahu, makna ayat kelak di akhirat nanti, kulit, tangan dan kaki kita yang bicara, sedangkan mulut kita diam saja?” tanya Jon padaku.
                “Enggak tuh. Menurutmu, maknanya apa, Jon?” tanyaku balik. Kami terbiasa di malam hari, diskusi filsafat kehidupan.
                “Selain makna denotasi, ya, maksud ayat itu adalah, mulut kita bisa bicara, yaitu melakukan pembelaan dengan apa yang telah kita lakukan saat hidup, tapi setiap pembelaan terbantahkan oleh Tuhan,”
                “Terbantahkan gimana tuh?”
                “Kita akan membela diri bahwa kita adalah hamba yang suci, manusia yang baik, orang yang selalu cenderung dalam kebenaran. Kita sholat, tapi sholat kita membayangkan yang lain, menuhankan yang bukan Tuhan. Kita beramal pada si A, tapi menutup diri dari si B. Kita meneriaki menghujat perang, tapi orang-orang miskin sekitar kita, dilupakan. Dengan dalih, memikirkan diri sendiri saja susah, ngapain mikirin orang lain?”
                “Jadi, setiap pembelaan yang kita ucapkan, akan dibantah oleh Tuhan, karena Ia lebih tahu dari kita, begitu?”
                “Yup,”
                “Kalau begitu, tidak ada satu manusia pun, sepertinya, yang akan lolos dari tuduhan kulit, tangan, dan kakinya dong?”
                “Mungkin,”
                “Kalau begitu, untuk apa ibadah kita ini, jika ternyata nantinya salah-salah juga dihadapan-Nya?”
                “Kau kira, dengan beribadah tekun, lalu hidup senang, shopping, menikmati warna-warni dunia, lalu ketika adzan datanglah kita ke masjid, akan menjadikan Tuhan senang? Kau kira, Tuhan membutuhkan keyakinan kita, ya? Setelah kita bersenang-senang – melupakan sebagian manusia lain yang sama sekali tak bisa bersenang-senang karena keadaan, kita menghadap Tuhan dan berucap, ‘Tuhan, ini aku datang. Aku masih mempercayai-Mu,’ lalu setelah itu kita melupakan lagi sebagian manusia lain yang hidup dalam kesengsaraan?”
“Ya terus bagaimana dong?”
“Selama ini aku belajar untuk menghilangkan bayangan apapun tentang Tuhan yang ‘di atas langit’. Tuhan yang mengatur segala hal, menghukum yang jahat, menolong yang baik. Yang manusia ‘tahu’ tentang Tuhan hanyalah, bahwa Ia ‘ada’. Wis itu tok. Jadi, apapun yang menimpa manusia, itu karena kejahatannya sendiri, karena manusia memang jahat. Bukan dari Tuhan, murni dari manusia,”
“Bagaimana dengan anak-anak yang lahir, katakanlah, cacat? Apakah itu juga karena kejahatannya sendiri? Bukankah bayi lahir suci, tanpa salah dan dosa?”
Jon tak bisa menjawab.
“Tapi… Jika itu dikaitkan dengan Tuhan, maka Tuhan akan terkesan jahat, ya?” tanyaku sendiri.
“Itu dia. Satu-satunya yang manusia ‘tahu’ tentang Tuhan adalah, bahwa Ia ‘ada’. Selain itu, akan absurd untuk memikirkannya, dan melelahkan.”
“Tapi, mungkin ada benarnya juga, ya Jon, menganggap diri kita jahat. Apapun masalah yang datang, itu pantas, layak, karena kita adalah penjahat : bangsat. Jika kemudahan atau pertolongan, katakanlah, Tuhan datang, maka kita tak akan menganggap diri kita suci, salih, karena keyakinan kita sendiri bahwa kita adalah manusia jahat,”
“Kehidupan menghendaki kita untuk menjadi baik, tapi dunia sebaliknya. Ia berkata, ‘Raihlah aku dengan cara apapun yang kau bisa, termasuk menjadi jahat,’ aku yakin aku ini penjahat – bangsat, tapi tidak dengan ucapan, pikiran, terlebih tindakan yang aku lakukan,” kata Jon di malam itu.

Post a Comment

0Comments
Post a Comment (0)