Serial Jon Quixote de
la Indonesia
Ketika seseorang
melukai orang lain, ia sebenarnya merasakan ada yang terluka juga di dalam
dirinya. Tapi, rasio adalah budak nafsu. Hati yang terus menerus terhimpit,
pada akhirnya tak akan merasakan kesakitan yang ia alami. Begitu kesimpulan Jon
setelah mewawancarai para narapidana. Jon masih yakin, bahwa dirinya adalah
sang penjahat terbangsat sekelas
dengan Stalin atau Hitler. Tapi, barangkali area hippocampus dan cerebellum di
otaknya telah rusak, jadi ia sedikitpun tak bisa mengingat kejahatan bejat
macam apa yang ia lakukan saat remaja. Tukang cabul-kah? Mengingat tampang si
Jon memang cabul dan criminal, asumsi itu sangat mungkin. (hehe)
“Kau
tahu, makna ayat kelak di akhirat nanti,
kulit, tangan dan kaki kita yang bicara, sedangkan mulut kita diam saja?”
tanya Jon padaku.
“Enggak
tuh. Menurutmu, maknanya apa, Jon?” tanyaku balik. Kami terbiasa di malam hari,
diskusi filsafat kehidupan.
“Selain
makna denotasi, ya, maksud ayat itu adalah, mulut kita bisa bicara, yaitu
melakukan pembelaan dengan apa yang telah kita lakukan saat hidup, tapi setiap
pembelaan terbantahkan oleh Tuhan,”
“Terbantahkan
gimana tuh?”
“Kita
akan membela diri bahwa kita adalah hamba yang suci, manusia yang baik, orang
yang selalu cenderung dalam kebenaran. Kita sholat, tapi sholat kita
membayangkan yang lain, menuhankan yang
bukan Tuhan. Kita beramal pada si A, tapi menutup diri dari si B. Kita
meneriaki menghujat perang, tapi orang-orang miskin sekitar kita, dilupakan. Dengan
dalih, memikirkan diri sendiri saja susah, ngapain
mikirin orang lain?”
“Jadi,
setiap pembelaan yang kita ucapkan, akan dibantah oleh Tuhan, karena Ia lebih
tahu dari kita, begitu?”
“Yup,”
“Kalau
begitu, tidak ada satu manusia pun, sepertinya, yang akan lolos dari tuduhan kulit, tangan, dan kakinya dong?”
“Mungkin,”
“Kalau
begitu, untuk apa ibadah kita ini, jika ternyata nantinya salah-salah juga
dihadapan-Nya?”
“Kau
kira, dengan beribadah tekun, lalu hidup senang, shopping, menikmati
warna-warni dunia, lalu ketika adzan datanglah kita ke masjid, akan menjadikan
Tuhan senang? Kau kira, Tuhan membutuhkan keyakinan kita, ya? Setelah kita
bersenang-senang – melupakan sebagian manusia lain yang sama sekali tak bisa
bersenang-senang karena keadaan, kita menghadap Tuhan dan berucap, ‘Tuhan, ini
aku datang. Aku masih mempercayai-Mu,’ lalu setelah itu kita melupakan lagi
sebagian manusia lain yang hidup dalam kesengsaraan?”
“Ya terus bagaimana dong?”
“Selama ini aku belajar untuk menghilangkan bayangan apapun
tentang Tuhan yang ‘di atas langit’. Tuhan yang mengatur segala hal, menghukum
yang jahat, menolong yang baik. Yang manusia ‘tahu’ tentang Tuhan hanyalah,
bahwa Ia ‘ada’. Wis itu tok. Jadi, apapun yang menimpa manusia,
itu karena kejahatannya sendiri, karena manusia memang jahat. Bukan dari Tuhan,
murni dari manusia,”
“Bagaimana dengan anak-anak yang lahir, katakanlah, cacat? Apakah
itu juga karena kejahatannya sendiri? Bukankah bayi lahir suci, tanpa salah dan
dosa?”
Jon tak bisa menjawab.
“Tapi… Jika itu dikaitkan dengan Tuhan, maka Tuhan akan
terkesan jahat, ya?” tanyaku sendiri.
“Itu dia. Satu-satunya yang manusia ‘tahu’ tentang Tuhan
adalah, bahwa Ia ‘ada’. Selain itu, akan absurd untuk memikirkannya, dan
melelahkan.”
“Tapi, mungkin ada benarnya juga, ya Jon, menganggap diri
kita jahat. Apapun masalah yang datang, itu pantas, layak, karena kita adalah
penjahat : bangsat. Jika kemudahan atau pertolongan, katakanlah, Tuhan datang,
maka kita tak akan menganggap diri kita suci, salih, karena keyakinan kita
sendiri bahwa kita adalah manusia jahat,”
“Kehidupan menghendaki kita untuk menjadi baik,
tapi dunia sebaliknya. Ia berkata, ‘Raihlah aku dengan cara apapun yang kau
bisa, termasuk menjadi jahat,’ aku yakin aku ini penjahat – bangsat, tapi tidak
dengan ucapan, pikiran, terlebih tindakan yang aku lakukan,” kata Jon di malam
itu.