Dari mana Asal-Ku?

Java Tivi
0
Hari pertama kelahiranku di usia 25 menjelang 26. Semakin dekat saja.

            Ada semacam keharusan, bahwa pikiran dan perasaan manusia selalu dalam satu garis lurus pada suatu kesadaran. Suatu kesadaran apa yang dimaksud dalam hal ini? Kesadaran, bahwa apa yang kita dapatkan dalam hidup ini, akan berkurang, atau bahkan hilang. Apa yang kita miliki dalam hidup ini, akan pergi, dan tak ada di dekat kita lagi. Suatu  kesadaran yang menjadikan kita tidak terlalu senang – hingga kita menjadi lupa, juga tidak merasa terlalu sedih dengan apa yang tidak kita dapatkan dalam hidup ini. Kesadaran itu, adalah yang kita sebut sebagai, Tuhan.
            Jikapun Tuhan tidak ada, maka manusia harus menciptakannya : kata J.J Rosseau. Manusia yang terus menerus berpikir, tak akan pernah berhenti, katakanlah, mencari Tuhan. Pikirannya akan dipenuhi pertanyaan-pertanyaan yang ia ragu ada orang yang memahami, atau bahkan mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut selain dirinya sendiri. Seorang manusia yang tak pernah berhenti mencari Tuhannya, seperti seseorang yang mencari suatu suara dalam kegelapan malam. Ketika cahaya mentari mencerahkannya, ia sadar, bahwa yang ia cari-cari selama ini adalah dirinya sendiri. Tuhan ibarat pembuat jam, kata Voltaire, setelah ia membuat, ia meninggalkannya : berputar sendiri.
            Begitua banyak tulisan yang ku hasilkan selama satu tahun ini. Tapi, ternyata semua itu tak membuatku semakin bijak, paham, tenang menjalani kehidupan ini. aku tersadar, aku termasuk orang-orang lemah yang menganggap dirinya kuat. Aku termasuk dalam golongan orang-orang bodoh yang diam-diam menganggap dirinya pintar.
            Dalam begitu banyaknya kata-kata yang ku rangkai itu, Tuhan pun ku permainkan. Tuhan tidak seperti pembuat jam, atau analogi materialis semacamnya. Ia, hidup bersama, di dalam, meliputi kita, atau bahkan setiap atom di semesta ini. Ia tidak berada di mana-mana, tapi di mana-mana ada Ia. Atau, di mana-mana adalah Ia. Tuhan tidak meninggalkan manusia, hidup sendiri bertarung dengan kesedihan yang memprihatinkan, tragis ini. Bagaimana analoginya?
            Setiap manusia tercipta dari, katakanlah, spermatozoa. Setiap spermatozoa, terdiri dari ribuan atom saripati makanan. Setiap atom saripati makanan berawal dari tanah, bumi. Atom-atom yang membentuk bumi berawal dari atom super kecil yang kita sebut sebagai Big Bang. Dari mana atom pengawal semesta itu? Dari kesadaran ke-7, kesadaran ke-7 berawal dari apa? Kesadaran ke-6, ke-5, ke-4, ke-3, ke-2, dan sang causa prima. Tuhan meliputi semua itu.
           Jika kita adalah, katakanlah, salah satu atom dalam atom A-Z : Atom A, B, C, D, E, F, G, H, I, J, K, L, M, N, O, P, Q, R, S, T, U, V, W, X, Y, Z, A’ (aksen), B’, C’, D’, E’, F’, G’, H’, I’, J’, K’, L’, M’, N’, O’, P’, Q’, R’, S’, T’, U’, V’, W’, X’, Y’, Z’, A” (dobel aksen), B”, C”, D”, E”, F”, G”, H”, I”, J”, K”, L”, M”, N”, O”, P”, Q”, R”, S”, T”, U”, V”, W”, X”, Y”, Z”, dst dst, yang membentuk diri kita saat ini. Jika kita adalah, katakanlah, F’, lalu kita berjuang untuk menjadi spermatozoa yang matang – satu titik spermatozoa terdiri dari banyak atom dan di antara atom adalah kita, apa penjelasan setelah kita lahir, kitalah (F’) yang pada akhirnya memiliki kesadaran seperti ini? Bagaimana dengan atom yang lain? Penjelasannya adalah, bahwa kita berada dalam permainan ilusi, sedang yang sebenarnya aktif adalah kesadaran yang selalu aktif, yang meliputi kita setiap saat. Tuhan tidak sedih saat kita durhaka, juga tidak bahagia saat kita taat : logika materialis. Bagaimana dengan ayat-ayat kitab, wasykuruli yasykurkum… bersyukurlah kepada-Ku dan Aku pun bersyukur kepadamu (bersyukurlah, maka Aku senang)? Itu, sekali lagi, bahasa kitab adalah bahasa manusia. Tuhan berbicara pada diri-Nya sendiri – dalam wujud manusia, menggunakan bahasa manusia? Mengapa? Karena hanya manusia yang mampu memahaminya – kitab suci. Mengapa hanya manusia???
***
Sore sebelum maghrib, ibu bilang, “Selamat ulang tahun ya… ibu bingung mau ngasih kamu apa,” karena, berapa kali aku menyampaikan di tengah-tengah keluarga, bahwa aku sudah tidak menginginkan apa-apa lagi. Aku sudah tidak mengharapkan apa-apa lagi. Jika menikah, katakanlah, suatu keinginan, aku pun tidak menginginkannya – seperti ketika sperma berkompetisi menuju ovum. Pernikahan bukan perkara keinginan, tapi kesiapan, keharusan meneruskan peradaban. Aku yang berwujud sperma, dulu, tidak menginginkan menjadi manusia, tapi itu adalah keharusan – dari kesadaran aktif, bahwa hidup adalah keharusan menghidupkan kita yang sudah ada dan akan terus ada (atom-atom kita). Dunia seperti apa yang akan terwujud atas dasar keinginan, ambisi?


Bersambung ….
Tags

Post a Comment

0Comments
Post a Comment (0)