Konsep sekolah muncul sekitar abad ke- 3 sebelum masehi (SM). Konsep ini
muncul, dengan pertimbangan bahwa semakin bertambahnya penduduk tidak setimbang
dengan jumlah orang-orang yang berilmu – Guru – sebagai pendidik masyarakat.
Ada tiga kategori manusia yang di jaman itu dapat dikatakan sebagai guru.
Pertama adalah para nabi, kedua, ahli kitab, ketiga adalah para filsuf (ahli
filsafat). Cara belajar yang mereka gunakan adalah dengan metode sorogan atau yang kini disebut liqo. Seorang guru duduk di antara
lingkaran orang-orang, menjelaskan persoalan-persoalan yang dihadapi para siswa : masyarakat.
Para nabi dan ahli kitab – sebagian ahli kitab yang beriman, mengajarkan
ilmu secara cuma-cuma, tanpa imbalan, dan di tengah-tengah masyarakat. Bagaimana
mencukupi kehidupan ekonominya? Mereka bekerja seperti masyarakat umum –
bertani, berkebun, berdagang, di sebagian waktu. Dan sebagian waktu lagi mereka
menggunakannya untuk mendidik masyarakat. Seorang guru yang baik tidak akan
memisahkan diri dari kehidupan masyarakat umum (mengasingkan diri). Memikirkan
persoalan masyarakat, langsung dari orang-orang yang mengalaminya. Para nabi
dan sebagaian ahli kitab tetap bekerja mencari nafkah, meski tidak untuk
menjadi kaya. Fokus mereka bukan pada dunia, tapi pada masa depan yang lebih
mulia. Generasi muda penerus kehidupan yang lebih baik dan bijaksana. Mereka
tidak berdiam diri di masjid, majlis taklim, biara, puncak bukit, menunggu umat
yang dipenuhi permasalahan. Para nabi dan sebagian ahli kitab tidak ada yang
mengemis atas dasar pengajaran hikmah, atau menunggu sumbangan-sumbangan dari
umatnya. Nabi Muhammad tetap bekerja, mengunjungi pasar-pasar – berdakwah,
menyatu dengan masyarakat. Dan begitu banyak ayat yang mengatakan in’ajriya illa ‘alallah… Imbalanku hanya
dari Allah. Tidak seperti sebagian para guru atau bahkan ulama (pemegang ilmu)
yang membisniskan ilmu dan
pengetahuannya di jaman sekarang. Sangat berat tentunya, melakukan pekerjaan
duniawi sembari memikirkan persoalan dan solusi masalah-masalah kemasyarakatan.
Karena itu, hanya orang-orang tertentu yang mampu melaksanakan tugas itu :
pendidikan universal.
Nabi Syu’aib berkeliling ke pasar-pasar, pada para pemilik pertanian dan
perkebunan, agar mereka tidak mengurangi timbangan. Waliyullah Lukman Al Hakim,
berjalan-jalan ke tengah masyarakat, dengan cerita yang sangat khas, ketika
beliau mengajak anaknya menaiki keledai pengangkut hasil berkebun miliknya. Sebelum
berkebun, ia adalah budak habsyi dan seorang tukang. Nabi Sholeh seorang ahli
memahat, beternak, seperti masyarakat umum, bahkan mukjizat yang beliau peroleh
adalah seekor unta betina. Nabi Zakaria juga bekerja sebagai tukang kayu, saat
masih muda. Para nabi bekerja, tapi tetap mensucikan hatinya. Meski mereka
mencari penghidupan, wahyu tetap mereka dapatkan – atas kesucian hatinya
tersebut.
Kategori ketiga adalah para filsuf, atau ahli filsafat. Tidak semua
filsuf itu sesat, sebagian justru mereka mendapatkan kebijaksanaan tanpa wahyu.
Thales, seorang filsuf Yunani abad ke-6 SM, ia menjadi pengrajin pakaian dari
kulit domba. Pendidikan tetap ia berikan pada masyarakat awam, secara
cuma-cuma, gratis. Empedokles, filsuf Yunani abad ke-4 SM, ia bahkan menjadi
seorang tukang membajak sawah. Diogenesis, filsuf Yunani abad ke-2 SM, para
pejabat pemerintahan membutuhkan nasehatnya, tapi ia memilih hidup di luar
istana, menjadi petani ubi. Filsuf Yunani yang terakhir disebutkan ini,
seringkali mendapat ejekan teman-teman filsuf istana, “Engkau seorang berilmu,
tapi kok miskin dan memilih makan ubi?” sebagian filsuf ‘menjual diri’ pada
istana sebagai kaum sophist :
pengajar anak raja dengan imbalan besar (ini konsep pertama home-schooling).
Bahkan Socrates, maha guru dari Aristoteles, menjadikan rajanya berang. Selain
ia menolak bekerja di istana, ia mengajarkan anak-anak muda masyarakat tentang
Tuhan yang Esa. Hingga akhirnya ia dipaksa rajanya memilih meminum racun atau
berhenti berdakwah : mendidik
masyarakat tentang keesaan Tuhan. Di jamannya, masyakat yakin pada banyak dewa.
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat disimpulkan, bahwa para guru di
jaman sekarang, dengan kualitas yang sangat jauh dari para nabi, ahli kitab,
atau bahkan filsuf, sewajarnya ada yang menjamin kesejahteraannya. Sangat
sedikit guru-guru di jaman sekarang yang dekat dengan buku, kitab suci, atau
merenungkan peristiwa alam. Kebanyakan guru lebih suka mengajar sesuai buku
paket, atau kehendak dirinya sendiri. Anak diidentikan tidak tahu apa-apa, dan
boleh diajarkan apapun yang bukan kebutuhan siswa untuk masa depannya..
Suatu peradaban yang madani –
ideal, adalah ketika orang-orang yang hidup berkecukupan membantu para pendidik
yang fokus menciptakan masa depan :
anak-anak sebagai pewaris masa depan yang lebih baik. Akan terjadi peradaban
yang kacau, jika setiap kategori manusia hidup sendiri-sendiri. Para penguasa
mementingkan diri, para pemegang harta menumpuk materi, dan para pendidik idealis kebingungan sebatas untuk
mencukupi kebutuhan pribadi. Sebaliknya, para guru yang diberikan kemewahan, berupa honor yang besar,
tunjangan berlebihan, tanpa ada
pengawasan yang ketat, akan sebatas menjadi pengajar, bukan pendidik. Apa perbedaan pengajar dan pendidik? Ada
dalam filosofi kita, Guru, digugu lan
ditiru. Seorang pendidik bukan hanya bisa mengajar di dalam kelas,
pelajaran selesai lalu kewajiban tuntas. Tapi menjaga ucapan, tindakan,
berakhlak mulia, berilmu dengan wawasan yang luas, bijak, dan tidak melabeli
diri sebagai orang mulia – guru. Ia bisa mendidik dimana dan kapan saja. Pada
orang-orang baik, ataupun pada mereka yang membenci kebaikan : orang-orang
tersesat. Mendidik anak-anak, pemuda, masyarakat dewasa, atau bahkan para
manula.