Jumat, 13 September 2013
Berapa hari aku tak menulis? Oooh… menyita waktu sekali dunia orang-orang berotak kiri ini! Edan!
Hari kamis lalu, ada rapat kepala sekolah jam 11 siang. Aku lupa, datang setengah satu, selepas sholat duhur berjamaah dengan para siswaku. Benar-benar lupa, barangkali karena ‘keasyikan’ mengerjakan kelengkapan administrasi sekolah yang besoknya akan ada kontroling. Begitulah, para guru belum mampu untuk mengerjakan administrasi yang begitu rumit. Aku tak akan memberikan tugas sebelum mereka paham akan tugas itu. Bekerjalah atas dasar kesadaran. Jika bekerja atas dasar paksaan, atau karena uang, imbalan, barangkali pekerjaan itu tuntas, namun tak bermakna. Ah, ya, apa gunanya ‘makna’ untuk orang-orang berotak kiri? Semua harus terukur, jelas, nampak, bermakna atau tidak itu tak penting! Hehe, jelas-jelas bukan duniaku. Ibarat ikan, aku adalah ikan yang berkaki. Karena hidup sebenarnya di air, namun kehidupan ‘memaksaku’ untuk hidup di darat. Nikmati saja. Menjadilah gila!
Tadi pagi ibu salah satu siswaku meninggal, setelah mengidap kanker payudara selama bertahun-tahun. Di samping pekerjaan yang menumpuk, pikiranku agak kacau mendengar kabar itu. Di satu waktu, aku harus ke dinas pendidikan, ada yang harus diklarifikasi tentang bantuan siswa kurang mampu. Di satu waktu yang sama, aku sebaiknya melayat almarhumah, karena lokasinya dekat dengan sekolah. Suara-suara di kepala pun mulai berisik. “Apa kata masyarakat nanti? Kau kan kepala sekolah, masa’ hanya setengah jam saja melayat harus diwakilkan? Apakah tidak bisa ditunda ke dinasnya? Sekolahmu itu sudah jelek, di masyarakat atau di kecamatan, ini momen untuk ‘unjuk gigi’ bahwa kau dan sekolahmu lebih mementingkan masyarakat daripada sekolah!”
Tapi aku tetap berangkat, karena dijemput oleh kepala sekolah lain. Aku instruksikan guru kelas satu dan dua untuk memulangkan siswa jam 9, dan para gurunya ikut melayat – prosesi pemakaman jam 9. Sedangkan kelas 3 dan 4, pulang seperti biasa, dan sebelum pulang ke rumah, harus takziah lebih dulu dan memberikan sedikit sumbangan dari sekolah untuk keluarga yang berduka. Dan aku bersama wakil dari yayasan datang setelah sholat Jumat.
Ada satu siswa pindahan dari sekolah lain. Katanya sih, gara-gara ditampar gurunya, katanya anaknya memang nakal. Yah, resiko menjadi sekolah ‘rendahan’ memang harus siap dengan siswa macam apapun. Semoga guru-guru itu, mampu bersabar dan bertahan.
Tentang kepekaan hati, kepedulian, barangkali hampir setiap individu menganggap diri sendiri memiliki kualitas itu. Kita merasa, menjadikan hati yang peka – peduli, itu cukup dengan membaca Koran tentang penindasan atau perang, cukup dengan menyaksikan reality show yang memperdagangkan kemiskinan dan kesengsaraan orang-orang lemah, atau membaca buku-buku tentang tragisnya kehidupan orang-orang terdahulu. Naïf sekali. Ereksi pikiran! Jika menggunakan idiom biologis. Kita merasa pilu, ketika melihat orang-orang yang bernasib tidak seberuntung kita, merasa sedih, iba, membicarakannya bak permasalahan diri sendiri. Tapi selang satu dua hari? Kisah derita itu terlupa. Kita kembali pada rutinitas, kesibukan hingga mereka yang lemah terlupakan, kita ‘berpesta’ dengan hidup dalam kelupaan terhadap manusia-manusia menyedihkan itu.
Siapa sih yang mau dengan tololnya terus menerus memperhatikan orang-orang miskin? Mau sok keren dengan mencontoh Rasulullah dan Umar Al Aziz? Hari gini masih mementingkan orang lain? Jaman semakin modern, bung! Uang, uang, uang, yang terpenting! Dasar manusia sampah!
Manusia-manusia yang hatinya mabuk oleh altruisme akan semakin sulit kita temui. Karena dunia semakin individualis. Semakin pribadi. Semua ingin menjadi genggamannya sendiri. Aku jadi teringat dengan film Children of Heaven. Ali, tokoh utama dalam film itu memenangi lomba lari, ia juara satu. Tapi ia bertanya pada gurunya, “Apakah aku juara tiga, pak?” jawab gurunya, “Juara tiga? Kamu juara satu, nak!” Ali pun menangis. Ia menginginkan sepatu yang menjadi hadiah juara tiga. Demikianlah, kita akan semakin sulit menemui orang-orang ‘polos’ yang hidup bukan untuk menang, melainkan kebermanfaatan praktis. Seperti seorang siswa SMA yang memenangi taruhan, mendebat guru yang paling galak. Ia berdebat dengan guru tersebut, tapi bukan untuk memenangi taruhan, melainkan memenangi ‘kegalakan’ (meredupkan kemarahan) gurunya itu.
Aku masih ingat sebagian sms-sms kasar dari seorang perempuan yang ku sukai. Di antaranya, “Saya akan menghargai hidup anda, jika anda juga menghormati hidup saya (jadi tolong jangan ganggu saya lagi!)” barangkali, benar apa yang dikatakannya. Sms-sms kasar itu membuatku tersadar, beberapa karya ‘kecil’ yang ku ciptakan saat kuliah (membuat buku, forum jalanan, film) tidak bisa menjadikanku memilikinya. Modal yang ku miliki kurang untuk memilikinya. Mengapa? Karena aku tak ber-uang!
Tapi, itu tak akan membuatku kehilangan kepedulian, cinta, altruisme yang ada dalam hati ini. Berkurang, bisa jadi. Tapi tak akan hilang, meski beberapa orang membenciku memiliki itu. Ke depan, semakin mendekati kiamat, akan semakin sulit menemui manusia-manusia sableng seperti aku ini. Manusia sableng, barangkali tak pantas untuk manusia normal. Hidup manusia normal!