Sabtu, 14 September 2013
Program hadiah untuk siswa yan sholat lima waktu selama satu minggu penuh, atau setiap hari, sudah mulai terlaksana. Ini sebagai satu itikad baik agar anak-anak dapat mengambil banyak pelajaran, selain ketaatan. Jika ada hukuman untuk mereka yang tak taat, maka harus ada hadiah untuk mereka yang patuh. Hukuman diadakan bukan untuk membuat mereka takut, melainkan sadar, bahwa yang terbaik menjadi seorang muslim memang harus selalu sadar, tapi juga manusiawi. Gaul boleh, tapi tanpa meninggalkan aturan-aturan syar’i. tentu saja, aku tak mau menjadikan anak-anakku itu ortodoks, atau muslim-muslim fundamentalis yang sok ketat dalam beragama, fanatic, menganggap diri paling benar dan taat. Tapi aku juga tak mau, membuat mereka menjadi muslim yang kebablasan dalam hal pergaulan. Terlalu memudahkan aturan, hingga menjadikan agama sebagai pembelaan, atau tameng.
Tadi siang makan soto di warung yang masih terhitung dekat sekolah. Saat membayar, aku cerita pada ibu pemilik warung, karena merasa heran, ada dua siswa (laki-laki dan perempuan) makan bersama gurunya.
“Ini hadiah, bu. Di sekolah kami, tiap anak yang selama satu minggu mengerjakan sholat lima waktu, di hari Sabtunya akan ditraktir bakso atau soto,” kataku.
“Lho, gimana bisa menentukan mana anak yang sholat lima waktu, mana yang enggak?” tanya satu orang pelanggan ibu-ibu.
“Ada formatnya, bentuknya tabel. Dan kita kerja sama dengan para orangtua siswa,”
“Anak saya nggak mau berangkat, pak, ke SD, maunya ke MI (sekolah saya). Persyaratannya apa ya, pak?”
“Oh, akte kelahiran sama kartu keluarga saja, bu,”
“O, gitu ya, iya deh, nanti tak fotokopi,”
Kemarin Jumat ada satu siswa pindahan kelas 2, Senin, mungkin akan ada lagi. Ini bisa suatu ujian untukku yang memimpin sekolah baru, bisa juga sebagai anugerah, jika aku mampu mengatasinya. Aku tidak mau bertahan, aku mau hidup. Bagaimana caranya selalu menghidupkan sekolah itu, akan selalu aku cari cara itu. Beberapa testimony tentang perubahan karakter disiplin anak-anak itu dari para orangtuanya sudah berdatangan. Itu sebaiknya aku pertahankan, atau, semakin ku ‘hidupkan’.
Catatan di henpon :
- Aku ingin selalu tersembunyi, tak diketahui banyak orang. Seperti letak surga, dan keberadaan Tuhan.
- Hidup bersama orang-orang yang tak memiliki kesadaran diri itu sangat berat. Terlebih lagi jika kau memiliki kesadaran itu saat kau masih sangat muda.
- Jika persoalan hanya bergerak dalam pikiran, ucapan, itu hanya akan memberatkan jalan. Jika ide hanya menyebar dalam wacana, maka solusi tak akan pernah terlaksana.
- Jika tak bisa memberi, maka jangan meminta. Jika kau bisa, kerjakan. Jika tak bisa, bertanyalah pada yang bisa agar kau juga bisa. Jika tak bisa, jangan berkomentar! Kerjakan, dan berhentilah berkata-kata. Kerjakan, dan bersiulah.
Tadi waktu pembinaan guru, aku sampaikan agar sebaiknya menggunakan alasan yang logis ketika mengingatkan siswa yang tak bisa diajak kerja sama. Alasan mendapat pahala, dosa, syetan, surga dan neraka, itu abstrak – bukan berarti jelek. Tapi perkembangan otak / alam pikiran anak-anak kelas 1-3 SD itu, berawal dari yang konkret logis, menuju yang abstrak spiritualis. Kelak, di kelas 6, akan ada program ‘kelas inspirasi’. Barangkali, disana akan aku ajak anak-anak untuk berfilsafat – dengan bahasa anak-anak – untuk persiapan mereka memasuki SMP. Jika guru SMP mereka bijak, maka pemikiran mereka akan bermanfaat. Tapi jika mereka arogan, maka pemikiran filsafat sederhana mereka akan sangat merepotkan. Aku punya visi, anak-anakku itu harus mampu berpikir mandiri, peka sosial, dan kuat mental menciptakan karya-karya nyata.
Sorenya, ada guru baru yang kebingungan mencari tempat POMG. Aduh, kasian dia.