Jumat, 27 September 2013
Lima hari,
aku baru menulis lagi. Hari ini, rasanya aku menemukan something new yang aku paham, tapi belum bisa mengungkapkannya. Tentang
ketenangan ketika berada di tengah-tengah tekanan. Seperti prajurit perang yang
masih mampu bergurau, ketika bertempur dengan musuh.
Sore ini,
aku tertidur selepas maghrib. Lemas sekali. Lalu aku terbangun setengah
sepuluh, hampir lupa menjemput ipar di stasiun. Hari ini, hari yang cukup
melelahkan. Tapi, hidup ini sebaiknya kita nikmati. Seperti hembusan angin
besar di malam ini. sama sekali aku tak merasa dingin, dengan kecepatan motor
di atas rata-rata. Nikmati saja.
Malam-malam
seperti ini di jalanan, memberi satu makna untuk hidupku. Tentang perjalanan
masa muda yang tak kuhabiskan di tempat-tempat yang nyaman, namun agak mengerikan. Jangan tanya, why should me? Tapi, aku telah terbiasa
merancang masa depan, persoalan kehidupan, plan B, sebagai pengangan agar aku
dapat selalu tenang ketika dikeroyok permasalahan. Sendirian.
Pagi lalu,
kakak yang diserahi peternakan sapi mengadakan kemah selama tiga hari di Gunung
Slamet. Aku sendiri, yang menyukai perjalanan belum pernah mendakinya. Dengan kata
lain, peternakan selama tiga hari, aku yang urus. Pagi ke sekolah, telah
menanti tugas yang harus dikerjakan, yang semestinya bukan tugas miliku :
seorang guru yang ditugasi sakit. Telepon dari beberapa kepala sekolah nyaris
secara berbarengan, sejenak membuatku kembali membuka prioritas langkah hari
ini. jam 8 ke sekolah itu, jam 9 ke sekolah anu, jam 10 membuat proposal ulang
(yang telah dihilangkan pihak pegawai kecamatan), jam 10.30 menjemput
keponakan. Tentang proposal yang hilang, sama sekali aku tak menyalahkan. Siapa
saja bisa melakukan kecerobohan. Tidak muda, tidak tua, kita manusia. Tapi,
hanya manusia berjiwa besar-lah yang mampu meminta maaf pada orang yang lebih
muda, lebih rendah, seperti seorang kepala sekolah muda berkepala mowhak.
Tidak
ada ketertekanan sedikitpun saat mengatasi hal-hal itu. Bahkan, satu kata bijak
pun aku gagal mendapatkannya hari ini. tidak seperti biasanya, ketika dalam
ketertekanan, kata-kata bijak penghibur diri mengalir deras dalam pikiran.
Sore harinya,
aku ke peternakan. Kasian sekali sapi-sapi itu. Di awal tahun, dulu dua sapi
hingga sepuluh liter susu per hari. Sekarang? Hanya satu liter. Mereka sakit. Karena
yang diamanahi tak fokus, mengira everything’s
ok with money. Akhirnya karyawan sapi yang bekerja maksimal melarikan diri,
sapi-sapi itu tak pernah makan enak lagi selain jerami kering. Kasian.
Konon,
para nabi dan rasul juga saat muda menggembala domba/kambing. Darisana mereka
melatih kesabaran, perenungan. Aku ambil contoh, sapi itu. Ketika diberikan
makanan air dengan campuran ampas tahu, tapi tak begitu kental, mereka akan
menumpahkan wadah minumnya. Sebagai manusia, aku berpikir, “Ini makhluk kok
tolol betul, kalau kamu nggak minum kamu bakal kurus! Sakit! Kok malah
ditumpah?!” tapi, mereka binatang ternak. Ya, mereka bahkan lebih sesat (tolol) dari binatang ternak, aku lupa
lagi surat apa dan ayat berapa qur’an yang tertulis seperti itu. Siapa mereka? Manusia-manusia yang tak pernah
mengingat (merenungkan) Tuhannya. Pembuat kerusakan, moral, alam, perang. Ah,
sudahlah, igauan ini sebentar lagi juga menguap. Lagipula, untuk kenikmatan apa
sih hidup ini? mengapa pula harus memikirkan kesejahteraan banyak orang? Cukup menjadi
pegawai, menikah dengan gadis cantik, lalu hidup flat dan mati sebagai orang
biasa. Apa enaknya menjadi orang besar, toh mati-mati juga? Rasanya lebih
membahagiakan jika hidup ini benar-benar untuk kesia-siaan. Seperti prajurit
perang, yang meninggalkan istrinya demi perjuangan. Lalu ia mati, tak mendapat
apa-apa. Konsekuensi menjadi seorang ksatria. Pejuang. Hidup untuk kesia-siaan.