Senin, 23 September 2013
Beberapa
hari lalu, bibi saya tanya tentang CPNS, “Kamu daftar CPNS nggak?”
“Enggak, bi,”
“Lho? Kenapa?”
“Nggak tertarik,” aku tersenyum kecil.
Beliau memandangiku heran.
Dialog
seperti ini, aku jadi ingat sekitar 3 minggu kemarin waktu main ke rumah teman
SMA. Ibunya dan kami, anak-anak genk waktu SMA, sudah sangat akrab. Waktu kami
kesana, beliau agak heran, “Kok baru kesini sih? Lebaran kemana? Saya malah
curiga ke anak sendiri, jangan-jangan kalian lagi musuhan?”
Lalu aku
cerita, tentang karyawan sapi saya yang pergi ke Jakarta, dagang Warteg. Pagi
saya harus di sekolah, sore sampai buka puasa saya menggembala sapi. Malamnya sudah
tepar, nggak punya tenaga lagi buat jalan-jalan.
Tentang
CPNS, aku memang tidak tertarik. Rasanya, aku ingin hidup seperti ini, tidak
teratur, dan nampaknya bebas. Aku sering membayangkan, andai aku menjadi PNS,
kehidupan masa depanku kemungkinan akan sangat mudah. Aku punya sekolah, aku
masih muda, aku kepala sekolah. Ah, tapi, ini keputusanku, untuk tidak
‘berselimut’ kemapanan. Hidup dalam kesederhanaan.
Tentang jodoh, jika memang
tiap perempuan yang ku suka bereaksi sama seperti tiga wanita sebelumnya, ya…
aku tak akan menyerah. Aku ingin memiliki anak, teramanahi anak oleh Tuhan,
dari rahim istriku, satu-satunya. Siapapun dia, dari derajat apapun, berapapun
usianya, jika aku telah menetapkannya, maka ia-lah yang ku pastikan. Ia bukan
pilihan, karena memang aku tak memiliki beberapa wanita yang ku suka secara
individual (bukan cinta universal). Jika aku suka wanita, maka itu hanya satu.
Pasti.
Tentang
perayaan, resepsi pernikahan, aku tak menghendakinya. Yang aku butuhkan hanya
semacam selamatan, sambil santunan anak-anak yatim dan janda tua. Karena,
barangkali aku berumur pendek, istri dan anakku semoga tidak kekurangan
hidupnya. Aku rasa seratus anak yatim makan sate kambing bersama, nampaknya
ramai. Itu yang aku bayangkan. Santunan, makan bersama, lalu pulang selain bawa
uang juga bawa makanan untuk di rumah. Ditutup doa, diamini oleh seratus anak
yatim itu. Sepertinya mantap.hehe
Tadi
pagi, guru yang beberapa bulan lalu bermasalah, mengundurkan diri. Entahlah,
mengapa tidak ada perasaan sedih – jika memang ia dibutuhkan sekolah, atau
senang (jika ia tak dibutuhkan sekolah) dalam hatiku ini. aku sejenak merenung
di ruang kepala sekolah sendiri. Lalu aku temukan kemungkinannya, di tahun
2010. Pelajaran yang pertama ku ajarkan pada kawan-kawanku disana adalah
tentang perasaan tidak memiliki apapun. Dimaksudkan, jika apa saja yang ada di
dekat kita hilang, berkurang, kita tak akan merasa sedih. Tapi, nampaknya aku
salah. Banyak orang yang merasa memilikiku disana. Tapi tidak denganku. Aku
merasa, disana hanyalah seorang pelayan, yang ketika siapapun membutuhkanku,
aku datang. Tanpa pengharapan, tanpa permintaan imbalan, tanpa perasaan
kepemilikan. Dan saat itulah, aku rasa, gairah hidup, hasrat dalam diri ini
mengering. Benar-benar tak tahu lagi, apa yang aku inginkan dalam hidup ini.
tapi masih bermimpi, mampu bekerja keras, meski tanpa berharap apapun, bahkan
pada Tuhan. Mulai saat itulah, perasaan senang dan sedih tak pernah ku rasakan
lagi. Jika ada masalah, ku hadapi dengan tenang. Jika salah, aku meminta maaf.
Jika diberi kebaikan aku berterima kasih. Tapi serasa tanpa emosi sedikitpun
dalam diri ini. kosong.
Ada
sedikit ketakutan dalam diri saya, tentang persoalan itu – guru yang
mengundurkan diri. Tapi, aku rasa manusia tak akan pernah bisa menghilangkan
rasa takutnya. Kita tak bisa menguasai kehidupan ini, yang bisa kita lakukan
adalah mengendalikannya. Termasuk rasa takut itu. Apapun persoalan yang ku
hadapi ke depannya, ya, aku terima takdir apapun yang akan datang. Insya Allah.