Minggu, 1 September 2013
Ini bulanku.
Sore tadi
aku merenung. Kehidupanku ini, entah karena aku yang terlalu melankolis,
cengeng, atau apa, aku merasa seperti mengikuti perlombaan tanpa medali, hadiah,
atau penghargaan. Perumpamaan dalam lomba lari, setelah aku berusaha keras
mengalahkan para lawan, ketika mencapai finish, para juri mengatakan : Tidak
ada hadiah! Tidak ada hadiah!
Lalu,
apa? Bukankah itu konyol? Mari, tertawa bersama. Hehehe.
Mari kita membicarakan Tuhan (dengan segala kebodohan
yang kita miliki).
Jika kehidupan
ini adalah penderitaan, seperti kata Budha, mengapa Tuhan menggelar sandiwara
ini? Apakah Tuhan menghendaki kesusahan untuk manusia? Tuhan macam apa yang
seperti itu?
Jika kehidupan
ini adalah kebahagiaan, apakah perang, pemusnahan, pembantaian, konspirasi penghancuran,
termasuk dalam kategori kebahagiaan? Alat
ukur apa yang Tuhan pakai, hingga mengatakan perang adalah suatu kebahagiaan? Selera
kebahagiaan Tuhan memang aneh (?).
Hampir
setiap selesai sholat maghrib, ketika kepalaku tersungkur – sujud, ibuku yang
duduk di samping, mengelus punggungku dan berkata, “Sabar ya, mudah-mudahan kamu
diberikan kekuatan dan ketabahan,” karena apa? Perlombaan – hidup, tanpa hadiah.
Bulan
September adalah bulanku. Bulan yang hari-harinya ku gunakan untuk merefleksi
total perjalanan hidup yang – dipaksa – kujalani ini. Dipaksa? Setiap manusia diperjalanankan untuk
suatu tujuan. Ia sendiri, kesepian, karena itulah perjalan hidupnya. Begitupun dengan
manusia lainnya. Setiap pos yang dilewatinya, ia harus merefleksi, ucapan,
bersitan pikiran, tindakan, perasaan, yang telah ia alami selama perjalanan. Sampai
apa perjalanan itu? Sampai menang? Tidak. Kenyataannya, menang atau kalah,
sukses atau gagal, diterima atau ditolak, kehidupan harus terus berjalan. Sampai
kapan perjalanan itu dilakukan? Itu, bukan urusan kita. Lihat, betapa konyol. Kita
yang mengalami kehidupan ini, tanpa kita menginginkannya, tanpa kita tahu kapan
batas akhir perjalanan yang kita alami sendiri ini?
Sore itu,
aku sempat takut ketika merenungkan Surah Toha pada ayat-ayat terakhir, yang
melarang Muhammad ibn Abdullah untuk menujukan pandangannya pada harta atau
kemewahan yang diberikan Tuhan pada manusia lain. Setiap manusia butuh makan,
bukan butuh ikhlas. Makan itu pakai nasi, roti, de el el, bukan hanya dengan
ucapan basmalah, ikhlas, de el el. Lalu, turunlah ayat yang lebih irasional
lagi : Qul huwallahu ahad! Katakanlah,
Tuhan itu satu. Tuhanmu hanya Ia : apapun yang Ia takdirkan, terimalah. Terima!
Seperti
anak kecil yang harus menerima bahwa sang ibu lebih menyayangi anak lain. Seperti
seorang pelomba lari yang menang, tanpa mendapat medali. Kehidupan, bukan
tentang apa yang kita dapatkan. Melainkan, tentang apa yang mampu kita lakukan,
berikan : kebaikan. Betapa naïf.