Menjadi guru, sekaligus siswa kehidupan

Java Tivi
0
Pak guru suka, pak guru senang sama anak yang kuat. Tapi pak guru lebih suka, pak guru lebih senang dengan anak-anak yang baik. Mainnya yang baik ya sama teman-teman…

            Aku baru ingat, kemarin hari Sabtu saat evaluasi (pembinaan) mingguan, ada dua anak kelas satu yang paling sering berbuat onar, ribut di depan ruang guru. Aku panggil dan aku katakan pada mereka, kata-kata itu. Seringkali, karena ketidakpedulian, kita membiarkan anak-anak kita melakukan segala apa yang mereka inginkan, termasuk mengganggu anak lain yang lebih lemah. Secara nampak, itu memang naluriah, katakanlah, mereka anak-anak, jadi wajar. Tapi secara psikologis, ketika kita membiarkan anak-anak kita, katakanlah, berbuat nakal, ada semacam kesadaran bahwa perbuatan yang ia lakukan itu, dibenarkan. Dampak berkelanjutannya adalah, bukan hanya di lingkungan rumah saja ia akan mempraktekan apa yang dibolehkan oleh para gurunya, tapi juga di masa depan. Tentu saja, semakin ia besar, semakin besar pula tindakan yang dibolehkan itu akan dilakukannya. Seperti berkendara sepeda motor tanpa helm, misalnya – ini sangat sering ku lakukan (hehe). Jika tidak dipahamkan dari kecil, akan ada semacam kesadaran dalam diri anak, bahwa selama tidak ada polisi, helm tidak dibutuhkan.
            Berbeda lagi dengan sifat memberontak system. Aku selalu memahamkan – karena dulu aku juga begitu (hehe), jika anak memberontak, jangan dimarahi, jangan dikucilkan, jangan dicaci, terlebih lagi dihadapan banyak orang. Tapi diajak kerja sama, dipahamkan, dimanfaatkan kekuatan memberontaknya untuk kebermanfaatan kelas, atau bahkan sekolah. Sikap memberontak anak-anak seperti apa? Baju tidak dimasukan, keluar saat jam pelajaran, lari-lari saat belajar, tidur saat belajar – itu yang aku lakukan (hehe), de el el. Tidak semua siswa kita akan bekerja dengan pakaian rapi. Tidak semua siswa kita akan hidup dengan bekerja duduk di depan computer, atau duduk manis menghitung jurnal penyesuaian. Aku ceritakan sedikit kisahku dulu. Kelas 4 SD selama satu semester menjadi pemulung, meski anak seorang PNS (bangga????). Waktu SMP, sering tidur saat jam belajar. Saat SMA, ini saat yang paling memberontak, hingga tidak ada satupun guru yang mau usil menyindirku, mengajak debat denganku. Tapi, hormat dan santun pada guru, tetap aku lakukan. Menengok guru yang sakit, misalnya, sekalipun rumahnya masya Allah jauhnya.
            Sebagai orang tua, sebaiknya kita mampu membaca bahasa tubuh apa yang sedang mereka ungkapkan, untuk menarik perhatian kita, menganggap mereka ada. Jika disimpulkan, anak-anak telah memiliki kecerdasan dan pembendaharaan bahasa tentang banyak hal. Tapi karena keterbatasan kata-kata, mereka mengungkapkannya lewat bahasa tubuh. Semisal, yang sering dilakukan siswa-siswaku padaku :
  1. Merangkul, meminta gendong, “Pa, gendong…” : Biasanya, jika ia perempuan, akan aku goda, “Gendong sama si anu (teman laki-laki sekelasnya) aja ya…?” selalu, mereka menjawab ‘nggak mau’. Di rumah, barangkali orangtuanya terlalu sibuk, dan bahasa sang anak ingin diangkat ke langit, ingin digendong, tidak terbaca oleh orangtuanya. Bahasa itu menandakan mereka ingin dianggap aku adalah bagian hidupmu, mah/yah, disayang sebagaimana kodratnya dalam usia-usia itu. Tapi, biasanya aku jawab sebaliknya, “Pak guru yang gendong ya? Pak guru kan capek..hehe,” tapi jika aku sedang duduk di teras, ada saja anak-anak yang selalu berebutan mencekik leherku dari belakang (meminta gendong, hehe). tentu saja, ini hanya penafsiranku saja.
  2. Anak tak mau membawa tasnya sendiri : Ini tanda manja, dan mulai berani untuk menyuruh orangtuanya. Biasanya, aku sarankan ke orangtua, untuk mengatakan, “Ayo, pilih bawa buku-buku atau bawa tas,” buku-buku di tas siap dikeluarkan. Anak-anak biasanya lebih cerdas dari orangtuanya. Ia akan menjawab,”Nggak mauu..” orangtua juga sebaiknya bersandiwara berkata, “Nggak mau ya udah, tinggal aja ya,” ada sebagian anak yang memang cuek dengan menjawab, “Ya udah biar hilang,” jika sudah seperti ini, orangtua harus memahamkan, yang intinya, “Bukan ibu yang sekolah, loh ya,”
  3. Dan masih banyak lagi (he, intinya sih gue lupa lagi)
Jika sesuai denga nasehat Rasulullah, ketika anak berumur dua tahun, ajarkan mereka untuk mengucap syahadat. Umur tiga tahun, ajarkan sholawat. Umur enak tahun, ajak untuk mendirikan sholat, dicontohkan bapak/ibunya. Umur Sembilan tahun, jika perlu ‘agak’ dipaksa untuk menunaikan sholat.
Kemarin hari Rabu, di fotokopian ada seorang bapak-bapak muda – anaknya kelas 6 SD, bilang, “Kalau anak-anak diajak sholat dari kecil, dikhawatirkan jenuh. Dan bisa jadi memberontak, buat apa sholat toh nilai saya jelek,” lalu aku katakan – dengan santun, pendidikan anak SD adalah penddidikan jarak dekat – short distance education. Maksudnya, pendidikan yang paling bermakna untuk anak-anak SD adalah melalui teladan, dan pemahaman dengan bahasa sederhana. Kita mengenalnya dengan pendidikan karakter. Pendidikan anak SMP, pendidikan jarak tengah, antara teladan dan praktek menyatu dengan masyarakat – tanpa guru di sampingnya, harus seimbang. Pendidikan anak SMA/SMK, menggunakan pendidikan jarak jauh. Dalam artian, siswa harus mencari sendiri, pertanyaan-pertanyaan permasalahan sosial, lalu membawanya ke dalam kelas dan mendiskusikannya dengan gurunya masing-masing. Siswa SMA, sudah sewajarnya dibiasakan hidup sendiri – mandiri. Biarkan mereka merasakan betapa kerasnya hidup di tengah-tengah masyarakat umum. Pendidikan anak kuliah, sewajarnya sudah mulai mengarahkan dirinya untuk berkarya, mencari solusi-solusi untuk persoalan-persoalan kemasyarakatan. Baik itu sendiri ataupun berorganisasi. Mereka, diarahkan menjadi solusi, bukan sebaliknya, menjadi permasalahan baru untuk negeri. Itu payah.

Minggu, 8 September 2013
Tags

Post a Comment

0Comments
Post a Comment (0)