Pak guru
suka, pak guru senang sama anak yang kuat. Tapi pak guru lebih suka, pak guru
lebih senang dengan anak-anak yang baik. Mainnya yang baik ya sama teman-teman…
Aku baru
ingat, kemarin hari Sabtu saat evaluasi (pembinaan) mingguan, ada dua anak
kelas satu yang paling sering berbuat onar, ribut di depan ruang guru. Aku panggil
dan aku katakan pada mereka, kata-kata itu. Seringkali, karena ketidakpedulian,
kita membiarkan anak-anak kita melakukan segala apa yang mereka inginkan,
termasuk mengganggu anak lain yang
lebih lemah. Secara nampak, itu memang naluriah, katakanlah, mereka anak-anak, jadi wajar. Tapi secara
psikologis, ketika kita membiarkan anak-anak kita, katakanlah, berbuat nakal,
ada semacam kesadaran bahwa perbuatan
yang ia lakukan itu, dibenarkan. Dampak berkelanjutannya adalah, bukan hanya di
lingkungan rumah saja ia akan mempraktekan apa yang dibolehkan oleh para gurunya, tapi juga di masa depan. Tentu saja,
semakin ia besar, semakin besar pula tindakan yang dibolehkan itu akan dilakukannya. Seperti berkendara sepeda motor
tanpa helm, misalnya – ini sangat sering ku lakukan (hehe). Jika tidak
dipahamkan dari kecil, akan ada semacam kesadaran
dalam diri anak, bahwa selama tidak ada polisi, helm tidak dibutuhkan.
Berbeda
lagi dengan sifat memberontak system. Aku selalu memahamkan – karena dulu aku
juga begitu (hehe), jika anak memberontak, jangan dimarahi, jangan dikucilkan,
jangan dicaci, terlebih lagi dihadapan banyak orang. Tapi diajak kerja sama,
dipahamkan, dimanfaatkan kekuatan memberontaknya untuk kebermanfaatan kelas,
atau bahkan sekolah. Sikap memberontak anak-anak seperti apa? Baju tidak
dimasukan, keluar saat jam pelajaran, lari-lari saat belajar, tidur saat
belajar – itu yang aku lakukan (hehe), de el el. Tidak semua siswa kita akan
bekerja dengan pakaian rapi. Tidak semua siswa kita akan hidup dengan bekerja
duduk di depan computer, atau duduk manis menghitung jurnal penyesuaian. Aku ceritakan
sedikit kisahku dulu. Kelas 4 SD selama satu semester menjadi pemulung, meski
anak seorang PNS (bangga????). Waktu SMP, sering tidur saat jam belajar. Saat SMA,
ini saat yang paling memberontak,
hingga tidak ada satupun guru yang mau usil menyindirku, mengajak debat denganku.
Tapi, hormat dan santun pada guru, tetap aku lakukan. Menengok guru yang sakit,
misalnya, sekalipun rumahnya masya Allah jauhnya.
Sebagai
orang tua, sebaiknya kita mampu membaca bahasa
tubuh apa yang sedang mereka ungkapkan, untuk menarik perhatian kita,
menganggap mereka ada. Jika disimpulkan, anak-anak telah memiliki kecerdasan
dan pembendaharaan bahasa tentang
banyak hal. Tapi karena keterbatasan kata-kata, mereka mengungkapkannya lewat
bahasa tubuh. Semisal, yang sering dilakukan siswa-siswaku padaku :
- Merangkul,
meminta gendong, “Pa, gendong…” : Biasanya, jika ia perempuan, akan aku
goda, “Gendong sama si anu (teman laki-laki sekelasnya) aja ya…?” selalu,
mereka menjawab ‘nggak mau’. Di rumah, barangkali orangtuanya terlalu
sibuk, dan bahasa sang anak ingin
diangkat ke langit, ingin digendong, tidak terbaca oleh orangtuanya. Bahasa
itu menandakan mereka ingin dianggap aku
adalah bagian hidupmu, mah/yah, disayang sebagaimana kodratnya dalam
usia-usia itu. Tapi, biasanya aku jawab sebaliknya, “Pak guru yang gendong
ya? Pak guru kan capek..hehe,” tapi jika aku sedang duduk di teras, ada
saja anak-anak yang selalu berebutan mencekik
leherku dari belakang (meminta gendong, hehe). tentu saja, ini hanya
penafsiranku saja.
- Anak tak
mau membawa tasnya sendiri : Ini tanda manja, dan mulai berani untuk menyuruh orangtuanya. Biasanya,
aku sarankan ke orangtua, untuk mengatakan, “Ayo, pilih bawa buku-buku
atau bawa tas,” buku-buku di tas siap dikeluarkan. Anak-anak biasanya
lebih cerdas dari orangtuanya. Ia akan menjawab,”Nggak mauu..” orangtua
juga sebaiknya bersandiwara berkata,
“Nggak mau ya udah, tinggal aja ya,” ada sebagian anak yang memang cuek
dengan menjawab, “Ya udah biar hilang,” jika sudah seperti ini, orangtua
harus memahamkan, yang intinya, “Bukan ibu yang sekolah, loh ya,”
- Dan masih
banyak lagi (he, intinya sih gue lupa
lagi)
Jika sesuai denga nasehat
Rasulullah, ketika anak berumur dua tahun, ajarkan mereka untuk mengucap
syahadat. Umur tiga tahun, ajarkan sholawat. Umur enak tahun, ajak untuk
mendirikan sholat, dicontohkan bapak/ibunya. Umur Sembilan tahun, jika perlu ‘agak’
dipaksa untuk menunaikan sholat.
Kemarin hari Rabu, di fotokopian ada seorang
bapak-bapak muda – anaknya kelas 6 SD, bilang, “Kalau anak-anak diajak sholat
dari kecil, dikhawatirkan jenuh. Dan bisa jadi memberontak, buat apa sholat toh
nilai saya jelek,” lalu aku katakan – dengan santun, pendidikan anak SD adalah
penddidikan jarak dekat – short distance
education. Maksudnya, pendidikan yang paling bermakna untuk anak-anak SD
adalah melalui teladan, dan pemahaman dengan bahasa sederhana. Kita mengenalnya
dengan pendidikan karakter. Pendidikan
anak SMP, pendidikan jarak tengah, antara teladan dan praktek menyatu dengan
masyarakat – tanpa guru di sampingnya, harus seimbang. Pendidikan anak SMA/SMK,
menggunakan pendidikan jarak jauh. Dalam artian, siswa harus mencari sendiri,
pertanyaan-pertanyaan permasalahan sosial, lalu membawanya ke dalam kelas dan
mendiskusikannya dengan gurunya masing-masing. Siswa SMA, sudah sewajarnya
dibiasakan hidup sendiri – mandiri. Biarkan
mereka merasakan betapa kerasnya hidup di tengah-tengah masyarakat umum. Pendidikan
anak kuliah, sewajarnya sudah mulai mengarahkan dirinya untuk berkarya, mencari
solusi-solusi untuk persoalan-persoalan kemasyarakatan. Baik itu sendiri
ataupun berorganisasi. Mereka, diarahkan menjadi solusi, bukan sebaliknya,
menjadi permasalahan baru untuk negeri. Itu payah.Minggu, 8 September 2013