Sabtu, 7 September 2013 (ba’da maghrib)
Pulang
pengajian sore tadi, ibu cerita, “Ibu ini dulu anak paling cantik di keluarga. Mungkin
karena bapak takut anaknya ini mendapat jodoh yang kurang baik, ibu dipingit. Bapak
kamu, dulu orangnya item, kurus,
banyak yang iri waktu ibu menkah sama bapak kamu,” beliau yang putri seorang
lurah saat itu, satu-satunya anak perempuan yang tidak dikehendaki untuk
melanjut sekolah. Gue jadi kepikiran,
badan kerempeng, kulit sawo bosok
(hehe), bakalan dapet yang secantik ibu kagak
yak? Haha. Bermodal keturuan lurah itulah, kakak ke-5 menyertainya untuk
kampanye Nyaleg.
Tapi untukku,
seseorang tak akan bisa terus menerus mengandalkan apa yang ada di dekat mereka
: kecantikan, kekayaan, jabatan, keluarga. Suatu saat kita akan diposisikan
dalam keadaan sendiri, yang tak ada seorangpun mampu menolong kita, selain diri
kita sendiri. Seorang pemuda bukanlah ia yang mengatakan BAPAKKU SEORANG
PRESIDEN, IBUKU SEORANG KETUA DPR. Seorang pemuda adalah ia yang mengatakan,
INILAH AKU, DAN INI HIDUPKU YANG AKAN KU PENUHI DENGAN KARYA-KARYA NYATA DARI
TANGAN-TANGANKU SENDIRI.
Pagi lalu
ada seseorang yang mendaftar menjadi guru di sekolahku. Masih single, cantik,
tapi sayangnya kami butuh guru yang fokus selama satu minggu di sana. Jika hanya
mengajar dua atau tiga hari saja, kami tak begitu butuh. Tentang kecantikan, aku
senang dengan yang cantik, tapi kecantikan wajah tak akan membuatku tertarik
pada seseorang. Tiga wanita yang mengajakku tidur
melepas hasrat saat masih kuliah, mereka cantik, tapi itu tak membuatku
tertarik. Meski ada penyesalan juga (hihi).
Tadi sore,
sebenarnya mau cerita tentang kisah Nabi Ibrahim yang juga pernah mengalami
frustasi terhadap ayah dan kaumnya sendiri. Ayah disini, adalah metafora, yaitu
orang-orang yang lebih tua dari kita, katakanlah, sesepuh masyarakat yang tak
setuju dengan pemahaman Islam yang kita bawa. Maa dza ta’buduwn… Nabi Ibrahim berkata pada kaumnya, “Apa yang
kalian sembah?” sebenarnya pertanyaan ini adalah sindiran, atas dasar
kebingungan Ibrahim, mengapa kaumnya begitu bodoh, menyembah sebuah patung? Seperti
zaman ini, patung-patung yang ada di zaman ini adalah, kekayaan, jabatan, de el
el, yang melalaikan kita dari Allah.
Fanadzoro nadzrotan fin nujuwm… Ibrahim memandang sekilas pada bintang-bintang. Pengalaman
yang aku rasakan saat kuliah, memang ada sensasi kenyamanan ketika di malam
hari, kita diskusi dengan langit
malam, atau bintang-bintang. Maksudnya apa? Frustasi. Nabi Ibrahim frustasi
dengan kaum dan bapaknya sendiri. Aku pernah merasakan, meski tentu saja dalam
kapasitas jauh di bawah perenungan Nabi Ibrahim, ketika pikiran benar-benar tak
dapat menjelaskan begitu banyak fenomena kehidupan :
- Mengapa ada
manusia terlahir cacat? Apakah jika Tuhan seorang manusia, dia mau
memiliki anak cacat? (sudah terjawab, insya Allah dengan memuaskan).
- Mengapa saya?
(ketika lagi-lagi mendapatkan, katakanlah, kesialan)
- Mengapa hanya
untuk mendapatkan hikmah baru, manusia seringkali harus melakukan
kesalahan terlebih dahulu? Apakah tidak bisa, mendapatkan pemahaman,
kebijaksanaan baru, tanpa melakukan kesalahan?
- Dan begitu
banyak pertanyaan yang membuat pemahamanku lebih tua sepuluh (lebih?) tahun
dari umurku yang sebenarnya.
Pernah ada
seorang kakak tingkat 2003 (aku angkatan 2007) waktu masih kuliah, ia bilang, “Tubuh
kamu memang masih muda, tapi kejiwaan kamu sudah gosong,” seorang kakak tingkat 2005 pernah bilang waktu dia wisuda,
“Aku memang sudah lulus kuliah di kampus ini, tapi aku sama sekali belum lulus
dalam kampus kehidupan ini. Tapi kamu, meski masih semester tengah, kamu sudah
lulus, Fa,” aku hanya tersenyum. Entahlah.
Inni saqiym…
setelah merasa lelah dengan apa yang Ibrahim pikirkan, ia sadar, dan berkata, “Sesungguhnya
aku sakit – frustasi,”
Alla ta’quluwn…
Ia mendatangi berhala-berhala itu dan berkata, “Mengapa kamu tak makan?” pertanyaan
semacam ini hanya diucapkan oleh orang-orang yang stress. Mana mungkin patung
bisa makan? Ia sadar akan itu, tapi ia benar-benar frustasi.
Maa lakum la tathiquwn… Ia berkata lagi, “Mengapa kalian – patung-patung – tak
menjawab pertanyaanku?” lihat, ia benar-benar stress – aku sangat paham, aku
pernah mengalami fase-fase irasional seperti itu. Ia akhirnya stress,
memukul-pukul berhala itu dengan tangan kanannya – frustasi. Kaumnya yang
melihat itu, menyuruh para pasukannya untuk membuat perapian. Dan disinilah
kisah Ibrahim dibakar api. Kira-kira berapa umur Ibrahim saat itu? Masih muda. Mungkin
25 tahun, seperti saya (hihi, ngarang!).
Terkadang aku
khawatir jika harus berceramah di depan para ibu-ibu. Bukan apa-apa, selain aku
tak suka berceramah – lebih suka diskusi, aku ini belum menikah, sedangkan
mereka sudah cukup dewasa dalam urusan rumah tangga. Sedikit saja saya
menyentuh urusan hukum-hukum berumah tangga, akan ada persepsi negative : Pak
guru kan belum berkeluarga kok ngomongin urusan
rumah tangga? Aku bisa saja menganalogikan cerita alam kubur (para ulama banyak
omong tentang akhirat, memangnya sudah pernah kesana, merasakannya? Hehe).
Tentang pernikahan,
memang beberapa waktu lalu aku mengirimkan email, bertanya pada seorang teman,
apakah ia masih menginginkan sebuah ‘keluarga baru’ : anak-anak dari
kandungannya? Tapi nampaknya ia tak merespon. Sampai saat ini, belum ada wanita
yang membuatku tertarik.
*Malam Minggu, beberapa saat sebelum kondangan
pernikahan teman, dan lanjut malam mingguan bareng teman SMA.