Pasien, Pengobat, Penyembuh

Java Tivi
0
Sabtu, 7 September 2013

            Terkadang, bahkan karena terlalu banyak yang ingin ku ceritakan, kata-kata menjadi kacau tak beraturan dalam pikiran. Akhirnya, di malam hari setelah mengerjakan tugas-tugas, bukan menulis cerita – picisan – yang ku lakukan, melainkan snoring at the bed sepersekian detik setelah membaringkan badan. Dari kecil memang aku hobi tidur. Hobi kok tidur??? Hehe.
            Jumat pagi lalu, ada jalan sehat kepala sekolah se-kecamatan. Kakak sms, “Nggak ngikut jalan sehat?” aku balas, “Telat. Di sekolah kita ‘kan ada pembacaan asmaul husna dulu sebelum masuk,”
            Sampai saat ini aku belum yakin, apakah memang pantas seorang aku untuk didudukan bersama orang-orang penting sekelas para kepala sekolah itu, meski hanya tingkat SD. Entah aku yang terlalu bodoh, atau memang terlalu meremehkan, bukan karena kerendahandiri yang membuatku merasa tak pantas, tapi kebanggaan menjadi pimpinan sekolah itu tak ku rasakan sedikitpun. Serasa sama saja, menjadi tukang becak atau kepala sekolah. Tidak ada rasa bangga, senang, tidak juga merasa itu berat.
            Saat pengawas sekolah masuk, beliau ibu-ibu, aku jadi teringat Aliva. Hehe. Kenapa? Postur tubuh, penampilan, bentuk wajah, dan auranya sama. Aku memang tak mampu melihat warna-warna aura di sekeliling tubuh seseorang, tapi aku merasakannya. Intuisiku menebak, ini ibu pengawas setelah sholat subuh pagi lalu, ia membaca qur’an. Tapi hanya menebak saja.
            Barangkali benar, perasaan tiap manusia itu sangat rapuh. Tak tenag dikatakan salah, menjadi si salah, atau melakukan kesalahan. Otak manusia memang di desain untuk sesuatu yang rumit, lalu merapikannya. Sampah yang berserakan, tiap orang sebenarnya tak nyaman dengan itu. Tapi karena gengsi, malu, de el el, otak menjadi rusak karena tidak dihidupkan sesuai kodratnya. Selesai memberi sambutan, ibu pengawas sangat terbiasa meminta maaf dengan agak berlebihan. Sepertinya, beliau orang yang hanif (cenderung dalam kebenaran), tapi hatinya begitu rapuh dengan kesalahan. Pengalamanku bergaul dengan orang-orang hanif saat kuliah, mereka memang cenderung pasif. Tapi ketika ada orang yang menurut mereka tersakiti – kasus guru yang diberhentikan, mereka akan membela sekuat tenaga. Ibu pengawas itu pun membela guru itu, tanpa ia mengenal guru tersebut lebih dalam, lebih dekat, lebih jelas.
            Sorenya, ke kandang sapi. Ada dua karyawan baru. Tapi saat ku suruh naik motor untuk menuju tempat mengambil jerami – sedangkan aku pakai becak, ia tak bisa.
            “Udah lama nggak naik motor, mas,”
            “Hadeuuh..” aku tertawa geli.
            “Ya udah, kamu pakai becak. Aku tak pakai motor,”
            Saat becak dikayuh, welah, mau nabrak pagar orang, mau nyemplung got/comberan.
            “Ya udah, kamu naik becak depan. Aku tak nggenjot (kayuh),” ini siapa majikan, siapa karyawan. Hehe
            “Nanti latihan mbecak sama motor ya. Pakai motor saya juga boleh,”
            Bagiku, dalam hidup ini, ada tiga kategori manusia : Kategori pasien, orang yang mengobati, dan terakhir orang yang menyembuhkan.

            Orang-orang lemah seperti karyawan sapi kami itu, atau orang-orang yang termasuk kaum mustadl’affin (terlemahkan), masuk dalam kategori pasien. Apapun keadaan mereka, tak boleh memarahi, memaki, mengumpat, atau perlakukan kejam semacamnya. Mereka, pasien. Lalu ada kategori orang-orang yang mengobati. Mereka orang-orang yang bekerja dengan tugas terstruktur, administrative, terukur. Orang-orang dalam kategori ini, susah untuk diminta melakukan perubahan dalam konteks besar. Aturannya seperti itu, jadi harus seperti itu, moto mereka. Terakhir orang-orang yang menyembuhkan. Orang-orang dalam kategori ini seringkali dikatakan masyarakatnya sebagai orang-orang asing. Barangkali ia sangat dekat dengan masyarakat, hidupnya juga dihabiskan melayani masyarakat, tapi orang-orang tetap saja merasa ada yang misterius atau tersembunyi, sesuatu yang luar biasa, yang mereka tak pernah tahu apa itu. Kaum penyembuh ini suka melakukan perubahan dalam konteks besar, mengubah sesuatu yang begitu rusak, hancur, Madesu. Tidak terprogram, tidak terstruktur, bergerak mengikuti kehendak hati. Orang-orang keras kepala, yang dengan atau tanpa orang lain, mereka akan tetap melakukan kebaikan dalam lingkup besar. Tapi sayangnya, para penyembuh ini selalu berada dalam ketidaksadaran. Kelompok yang pertama, ia tak sadar bahwa ia terlahir sebagai penyembuh, dan akhirnya, ia justru menjadi pasien. Kedua, sekalipun ia telah menyembuhkan banyak hal, tapi ia tak pernah sadar, bahwa ia adalah penyembuh, dan akan menjadi penyembuh hingga mati. Kesembuhan yang ia lakukan pada banyak hal, ia selalu yakin, bukan kekuatanku yang melakukan itu. Siapa?
Tags

Post a Comment

0Comments
Post a Comment (0)