Namanya memang seperti orang barat, tapi sebenarnya ia tulen orang udik. Bahkan mungkin mendekati primitive, jika melihat tingkah lakunya yang jauh dari kebiasaan orang modern. Baiklah, ini dia kisahnya, Jon Quixote de la Indonesia.
Jon Quixote lahir di keluarga priyayi. Tahu ‘kan, kalau sudah mendengar katapriyayi, maka sudah terbaca itu adalah konsep yang hanya dimiliki orang-orang jawa. Apakah ia anak muda yang terlahir dari persilangan antara orang jawa dan bunga tulip? Jelas bukan. Ia asli orang Jawa – bukan berarti rasis ya, emak dan bapaknya juga Jawa. Hanya saja wajahnya memang, ah susah juga mendefinisikannya. Terkadang ada yang bilang Jon itu keturunan orang Arab, karena hidungnya yang mancung. Ada juga yang menyebutnya keturunan India, dengan alis tebal dan hitamnya. Tapi kalau menurut penulis sendiri, setuju Jon itu dari India. Barangkali dia keturunan Petruk, tokoh pewayangan yang numpang lewat rumahnya saat ia lahir. Orang tuanya memberi nama Jon Quixote, kabarnya dari mimpi. Bapaknya mendengar suara yang menyebut-nyebut ‘Jon Quixote-Jon Quixote’ malam sebelum ia dilahirkan. Coba bapak Jon itu mendengarnya suara yang lain, misalnya, ‘kentut-kentut-kentut’, pasti ia juga akan dinamakan itu. Apalagi dia nampaknya meyakinkan untuk dipanggil itu, dengan bau tubuhnya yang khas : bau kentut.
Jon Quixote yang ini, meski keturunan priyayi, tapi tidak hidup di jaman onta. Ia hidup di jaman modern, yah, walaupun pemikirannya lebih mirip orang purba, tapi ia hidup di abad 21. Dia sekolah, bahkan dari Taman Kanak-kanak (TK) hingga Sarjana S1. Ingatannya luar biasa. Bukan hanya teman-teman SD saja yang masih ia ingat hampir semuanya. Teman-teman TK pun ia masih ingat. Termasuk teman perempuannya saat TK, yang katanya sendiri sih, suka sama dia – si Jon gampang ke-ge-er-an, juga teman gendut yang suka mengajak berantem gara-gara si perempuan itu suka sama Jon. Dunia Jon memang sudah konyol sejak kecil. Masih TK saja mereka berebut wanita. Bagaimana kisah Jon saat TK? Nanti, ini ‘kan baru prolog. Sabar dong.
Saat sekolah dasar (SD), Jon sempat bekerja paruh waktu. Pekerjaan keren, yang hanya sedikit orang mampu melakukannya. Terlebih lagi dengan usianya yang masih bau kencur : 10 tahun. Apa pekerjaan Jon saat SD itu? Pemulung. Barangkali satu-satunya anak priyayi di kotanya yang dengan gembira merendahkan derajat orangtuanya, dengan menjadi pemulung. Akibatnya, Jon harus tinggal kelas di kelas empat SD. Barangkali bukan karena sekolahnya yang tidak beres. Melainkan hukuman karena telah merendahkan SD-nya, juga martabat keluarganya : saat ia mulung dan menggembel. Bagaimana kisahnya saat SD? Apakah ia juga berkelahi karena wanita? Ya ampun, ini kecil-kecil kok pikirannya sudah boros. Saat ia SD, ia sudah belajar dari masa lalu. Bahwa kedekatannya dengan wanita, akan membahayakan dirinya. Karena ia sadar diri dengan badannya yang super kerempeng, tiap didekati siswi perempuan ia akan mendadak ayan : agar dijauhi. Eh, nggakding. Dia pura-pura blo’on. Perempuan tak suka dengan laki-laki blo’on. Terlebih lagi, kerempeng dan kere. Ehm, si Jon banget.
Memasuki usia SMP, Jon semakin pendiam. Ia selalu yakin, jika ada perempuan yang mendekatinya, maka itu tanda cinta sedang bermekaran. Padahal, bisa saja para perempuan mendekati Jon, karena tampangnya yang kasihan dan membuat orang merasa iba. Kasian sekali si Jon itu. Di kelas, ia lebih suka menyendiri, atau tidur. Ketika teman yang lain menantangnya untuk menatap kembali siswi-siswi yang sedang menikmati wajahnya yang teduh, ia pura-pura juling. Satu-satunya anak yang selalu lolos dari jepretan kamera teman-teman kelasnya, ya cuma si Jon itu. Dia memiliki insting detektif yang cukup kuat. Setiap ada siswi yang ingin menjepretkan kameranya, Jon menyimpan mukanya di tas atau reflek menutup wajahnya dengan LKS (Lembar Kerja Siswa). Ia memang berbakat menjadi detektif, sepertinya. Terlebih lagi untuk mengendus bau kunci motor atau dompet yang hilang. Hebat dia.
Saat SMP inilah, ia mulai membiasakan diri berbohong pada gurunya jika ingin membolos bermain playstation (PS). Terlebih lagi, banyak malam minggu-malam minggu yang ia gunakan untuk menginap di rumah teman, menghabiskan malam minggu bermain PS sampai pagi. Ia anak yang cerdas-cerdas blo’on. Orangtuanya suka marah ketika melihat Jon yang menginap di rumah temannya. Orangtuanya bilang : Jangan suka makan dan tidur di rumah orang deh, kita masih mampu, tahu! Tapi dasar Jon itu keras kepala. Agar minggu paginya tak dimarahi, ia sengaja pulang subuh-subuh, sholat subuh, lalu menyapu halaman rumahnya – agar bapaknya yang pulang sholat subuh melihat dia yang lagi baik. Setelah itu? Ia tidur sampai jam 9. Mengapa sampai jam 9? Karena ada serial kartun Dragon Ball. Ia menganggap dirinya seperti Son-Goku, tokoh keren dalam film itu. Padahal sih, si Jon itu kegigit nyamuk kebon saja langsung demam dia. Apalagi kalau harus berkelahi? Jurus meringankan tubuh pastinya : lari.
Masa yang paling berkesan barangkali saat SMA. Seperti jargon anak-anak muda : masa yang paling indah adalah masa remaja. Tapi, saat Jon SMA, sayangnya ia sudah nampak tua. Barangkali karena kesukaannya pada kontemplasi. Teman-teman SMP-nya mengatakan, ia sering menyendiri saat masih SMP di pojok sekolah membawa catatan kertas dan pulpen. Sepertinya keren. Teman-teman Jon tak tahu, catatan itu sebenarnya untuk menghitung prosentase nomer Togel yang akan keluar malam harinya. Saat itu memang sedang marak-maraknya judi Togel. Ehm, tapi, syukurlah, Jon itu cacat matematika, jadi kemungkinan itu hampir 0.
Ia belajar di SMA paling sekarat di kotanya, karena tertolak dari sekolah militer yang ia idamkan. Karena depresi – sekolah itu memang tempatnya anak-anak frustasi, ia pasrah bersekolah di tempat itu. Tak disangka, ia bertemu juga dengan teman SMP yang sama-sama frustasi – ia juara lomba mengaji tingkat kota. Ia sebenarnya bisa saja bersekolah di SMA favorit dengan modal juara itu, tapi karena ia tak punya uang, akhirnya ia pasrah seperti Jon. Mereka berdua akhirnya membuat Genk, band – sin, band sableng yang tak pernah jadi – waras, mereka mengotaki memboikot pelajaran matematika, musuh bebuyutan para guru, cowok paling dikagumi di sekolah – katanya sendiri sih begitu, siswa berandal yang pandai debat, tapi di akhir sekolah, mereka menjadi baik. Menengok guru yang sakit, juga menjadi band sungguhan saat perpisahan kelas tiga-nya. Saat Jon menyanyi itulah, menjadi momen yang tepat – dan sangat jarang, untuk menjepret Jon, mengambil fotonya untuk dijampi-jampi para siswi, atau menempelnya di toilet sebagai pengusir kecoa. Si Jon lulus dan kuliah di Bandung, sedangkan tiga teman Genk-nya, tidak lulus sekolah, dan hendak bunuh diri ke laut. Bagaimana kelanjutannya? Jangan kemana-mana, tetap di Op-, eh, salah. Baca terus, orait? Hehe.
Eh? Bagaimana dengan petualangan Jon saat kuliah?
Beli aja novelnya, ndak bole pinjem!he