Selasa, 10 September 2013
Jangan menangis, nak. Anak laki-laki tak
boleh menangis. Karena tangisan itu milik perempuan. Kau tak boleh memilikinya.
Saat kau menangis, tak akan ada orang yang kasihan padamu. Sebaliknya, mereka
akan menganggapmu sebagai anak laki-laki yang lemah. Anak cengeng.
Dua
hari ini, sial, aku bangun jam 6. Tak bisa menikmati sejuk harumnya nuansa
subuh. Dulu, kira-kira satu tahun ke belakang, jam setengah enam pagi aku sudah
di jalanan. Mengantar susu sapi ke para pelanggan. Jam 7 berangkat ke sekolah, ngantor. Jam satu siang pulang,
istirahat. Jam 2 siang sampai maghrib di peternakan. Malamnya sesekali
mengantar susu ke pelanggan lagi. Baru ada waktu santai, atau mengerjakan
tugas-tugas administratif, di atas jam 9 malam. Tidur selalu tengah malam, atau
bahkan pagi. Berapa imbalan untuk
pekerjaan seperti itu? Honor dari sekolah, ku kembalikan ke sekolah – untuk
siswa yang kurang mampu. Gaji jualan susu, ku berikan untuk ibu. Aku hanya
butuh makan, kasur untuk tidur, dan buku-buku untuk menemani hidupku. Itu,
sudah disiapkan ibu, bahkan dari ku kecil. Barangkali, ini alasanku sering
mengatakan sudah tak berhasrat, tak
berharap apapun lagi.
Tadi
pagi, pulang lebih awal. Serasa ada yang aneh. Tubuh lemas sekali, benar-benar
merengek minta ngaso. Akhirnya,
setelah beres ngeprint proposal bantuan seragam siswa miskin, aku tidur sampai
jam dua sore. Gila.
Sebenarnya,
persoalan hidup tidak benar-benar berada di luar diri kita. Melainkan di dalam
: ketika suara-suara di kepala begitu berisik. Ketika suara di kepala begitu
semangat untuk merongrong, menteror ketenangan diri, hingga mulut
berkomat-kamit sendiri – seakan menyiapkan pembelaan, dan pikiran menyusun
logika bagaimana caranya agar lolos dari masalah dengan apapun caranya. Padahal
belum tentu itu semua terjadi.
Sampai
detik ini, seringkali rasa takut akan kesalahan bekerja terus menghantui. Dunia
administrative itu tak mengenal perasaan. Tak ada aturan alternative. Semua
terstruktur. Tidak taat, silahkan keluar. Jika aku tidak menggenggam tanggung
jawab pendidikan anak-anak itu, dunia seperti ini sudah lama ku ludahi. Tapi,
hidup ini bukan aku yang memberikan pilihan. Seperti air. Ia tak punya pilihan
akan mengalir atau menggenang. Ia tak punya jalan sendiri, tapi ia berjalan
sesuai jalan yang sudah ada, dan memang harus kesana-lah ia berjalan. Tapi air
yang mengalir, tak mampu menengok kembali ke awal: menatap kenangan. Setiap
orang memiliki kenangan. Sesakit apapun kenangan itu, akan menjadi oleh-oleh di masa depan yang tak akan
terlupakan. Aku juga, sampai saat ini memiliki kenangan (atau mimpi buruk?)
yang sakit ketika teringat, namun rasanya begitu berharga.
Selepas
maghrib, aku melihat keponakanku menangis, setelah dipaksa belajar oleh ibunya.
Aku katakan, “Jangan menangis. Anak laki-laki tak boleh menangis. Menangis
hanya untuk perempuan. Kalau kamu menangis, lihat paman bibimu yang lain,
apakah mereka kasihan? Mereka justru mengejek, kamu lemah, kamu anak cengeng,”
lalu aku agak teriak pada ibunya yang sedang menonton tv di ruang tengah – aku
di pintu keluar, “Dia nangis nggak mau belajar, soalnya dipaksa. Belajar kok
dipaksa-paksa,”
Untukmu,
para laki-laki muda : jangan menangis! Apakah aku tak pernah menangis? Aku
memiliki kenangan, seperti yang ku ceritakan di atas. Menangislah dalam kesendirian
malam-malammu. Menangislah dalam sujud-sujudmu di sepertiga malam. Bukan karena
urusan sepele perorangan, tapi rusaknya dunia ketika kita tak mampu berbuat
banyak. Terkadang, hidup kita ini untuk menyenangkan orang lain. Terkadang,
orang lain senang melihat kita yang sedang mengeluh. Tertawalah ketika
tersakiti. Menjadi gila-lah! Jadikan rasa sakit itu sebagai cambuk, agar kau
lebih kuat, dan tak akan mati sebelum meninggalkan karya besar, bukan hanya
untuk kehidupan, tapi menampar orang-orang yang pernah tertawa dalam kesakitan
kita.
Seringkali,
ketika aku berbaring dan mendengar alunan dari Mozart atau Beethoven di malam
hari, kenangan itu membawaku menuju tahun-tahun yang lalu. Seakan aku
benar-benar berada di saat itu lagi. Jalanan aspal yang ku jejaki di malam
hari, dini hari, sepulang kerja menjadi tukang penjaga warung internet. Satu
langkah. Satu langkah. Satu langkah. Sambil merenung, menyesaki pikiran dengan
pertanyaan-pertanyaan tentang ia yang
dengan hati ringan membuatku tertolak. Anj*ng! kata pikiranku. Tapi hati, ia
kini menjadi pengendali. Ketika suara-suara di kepala seakan memberontak, maka
hati yang akan menjadi lawan tangguhnya. Semua terasa sepele ketika hati telah
menjadi mata. Barangkali seperti Aquinas, saat mengatakan buku-buku karyanya
hanya sebatas tumpukan jerami : bukti hatinya telah melihat sesuatu yang lain. Sesuatu yang, menjadikan dunia ini tak menggiurkan lagi, absurd,
dan sejenak menghilangkan arah hidup, sebelum arah yang satu menampakan diri secara tiba-tiba.