Serial Jon Quixote de
la Indonesia
Pertanyaan
itu lebih terasa puitisnya, aku rasa, ketika diucapkan seorang tokoh dalam film
One littre of tears. Kisah nyata
seorang gadis yang mengalami kelumpuhan pelan-pelan, hingga akhirnya, mati. Aku
sendiri, dulu waktu masih SMA sering mendengar si Jon mengeluhkan itu.
“Untuk
apa sebenarnya manusia dihidupkan? Selalu lebih banyak manusia perusak daripada
manusia baik. Untuk apa kita dihidupkan, jika suatu saat kita juga dimatikan. Seakan
semua ini pura-pura, lalu berakhir kematian,”
Tapi itu
dulu. Sekarang, jika ada teman Jon yang mengeluhkan itu, ia nampaknya sudah
menemukan salah satu jawaban yang, mungkin, rasional.
“Untuk
apa sebenarnya aku hidup? Aku tak pernah meminta dihidupkan. Aku tak pernah
memaksa Tuhan untuk menghidupkanku, meski nyatanya hidupku ini begitu nyaman,”
kata seorang teman malam itu. Kami mengobrol di pos ronda malam Jumat itu. Kabarnya,
malam Jumat itu waktunya para maling beraksi. Tapi, untung ada si Jon, pawang para
maling dan setan (hehe). Insya Allah aman.
“Mengapa
tak kau katakan itu saat masih berbentuk sperma, dulu?” kata Jon.
“He? Berbentuk
sperma gimana toh? Mana tahu saat itu
saya punya kesadaran hidup?” kata teman Jon.
“Apa kau
pernah bertanya, kenapa setiap sperma, kita saat masih menjadi sperma yang
akhirnya menang – menyatu dengan ovum, berjuang demi mencapai ovum? Kenapa mereka
– sperma, berjuang? Apakah mereka ingin berjuang? Apakah sebelumnya, mereka –
sel-sel yang menjadi sperma – meminta untuk menjadi sperma yang akhirnya
berkompetisi dengan jutaan sperma lainnya?”
“Ti…dak?”
jawab teman Jon ragu. Rokoknya masih menggantung di mulutnya - ia termangu.
“Sebentar,
sebentar, Jon. Jika setiap sperma berjuang, apa yang membuat mereka melakukan
itu – perjuangan sampai ke ovum? Emm.. aku merasa ada pertanyaan yang
menggelitik, tapi… apa ya?” terseret juga aku dalam kepenasaran diskusi saat
itu.
“Kesadaran,”
“Heh???
Kesadaran? Tiap sperma memiliki kesadaran? Kesadaran akan apa?” kini justru aku
yang sangat tertarik dengan tema pembicaraan kali itu.
“Ketidaktahuan
manusia, membuatnya ceroboh menyimpulkan sesuatu,” ucap Jon sembari mengangkat
kopinya, meminumnya. “Kesadaran bahwa Tuhan harus selalu ada, dengan terus mengadakan segala sesuatu, termasuk
kita,”
“Tambah
ndak ngerti aku,”
“Tiap
atom di alam semesta ini memiliki kesadaran, bahwa Aku (Tuhan) harus selalu ada. Harus ada yang – seakan, mengatur
semua ini,”
“Maksudmu,
seperti kata Einsten, bahwa Tuhan tidak sedang ‘bermain dadu’,” sanggahku.
“Betul.
Tiap sperma itu hidup, seperti kita, berjuang. Karena sebelum menjadi sperma,
kita juga berjuang untuk menjadi sperma, melalui pembelahan dari spermatogenesis,
proses dari saripati tanah menjadi ‘bahan dasar’ sperma,”
“Sebentar,
sebentar, maksudmu, bahwa manusia tercipta dari tanah adalah itu, kita berawal
dari saripati tanah?”
“Ini
sih, hanya tafsirku saja. Yang dimaksud dengan manusia tercipta dari tanah atau lumpur hitam yang diberi bentuk, adalah saripati tanah yang ‘diberi
bentuk’ menjadi berbagai macam tumbuhan,”
“Lalu, dari tumbuhan itu terproses
hingga spermatogenesis, kemudian menjadi sperma?”
“Aku
bilang, itu sekedar tafsir asal-asalan-ku saja. Pernyataan aku tak pernah meminta untuk dihidupkan adalah pernyataan
terburu-buru, karena ketidaktahuan kita.”
“Ketidaktahuan,
bahwa dari awalnya kita telah memiliki kesadaran, kita harus ada sebagai bukti an sich, tersendiri, bahwa Tuhan juga
harus selalu ada?”
“Kemungkinannya
begitu,”
“Lho,
kok mungkin? Lalu bagaimana dengan sanggahan, jika alam semesta ini tidak ada,
maka Tuhan juga tidak ada?”
“Mungkin,
karena tidak ada manusia lagi yang mampu mencapai ‘kesadaran awal’ selain Nabi
Muhammad. Kita tak akan pernah bisa memastikan itu,” jawab Jon. “Tuhan akan
selalu ada, dengan atau tanpa bukti. Tapi siapa yang akan ‘mengatakan’ Tuhan
itu ada, jika tidak ada pembukti,
kita, alam semesta yang selalu mengingatnya – dzikir, Sabahalillahi maafisamawati wal ardli (Berdzikir semua apa yang ada
di langit dan bumi pada-Nya)?”
“Wah,
wah, wah, maksud ‘kesadaran awal’ itu adalah Nur Muhammadi kalau menurut Ibn Arabi ya?” tanyaku lagi. Teman Jon
hanya melongo. Suruh siapa dia mengucapkan kata-kata ceroboh?
“Bisa
jadi,”
“Kok
bisa jadi?”
“Ya ‘kan
memangnya aku ini siapa? Ulama bukan, ahli teosofi juga bukan. Berbicara tentang
‘kesadaran awal’ ini bisa saja menyesatkan,”
“Jadi,
kau belum pernah merenungkannya, ya?”
“Hehe,
ndak juga,”
“Lah,
terus kenapa ndak mau diskusi?”
“Emm..
begini, tapi kau jangan kasih penjelasan ke siapa-siapa ya? ‘Kesadaran awal’
yang aku maksudkan memang Nur Muhammadi,
kesadaran yang pertama menyadari bahwa Akulah
Tuhan yang satu (Allah = Al Illah). Aku menganggap, kesadaran itulah ilusi pertama, karena yang benar-benar
Ada dan tak terjelaskan adalah Ia yang
sebelum menyadari bahwa diriNya adalah Tuhan. Ini mengapa Tuhan dikatakan tak
terjelaskan, ‘kondisi sebelum Ia sadar’.” Jon mulai bisik-bisik ngomongnya. “Big
bang, adalah materi pertama yang muncul dari kesadaran, yang kata Ibn Arabi
atau Al Farabi, aku lupa lagi, sebagai kesadaran(akal) ke-10. Jangan tanya lama
prosesnya seperti apa,”
“Teruskan,
Jon. Teruskan,” aku mulai gila –
penasaran.
“Tiap
pecahan-pecahan atom big bang, membawa kesadaran itu, bahwa Tuhan harus selalu ada, melalui perubahan demi perubahan
atom-atom yang semakin sempurna,”
“Sempurna,
agar menandakan bahwa Tuhan adalah maha sempurna?”
“Ya,”
Jon mengangguk pelan. “Mulai itu, tiap atom melakukan perjuangan, dengan
kesadaran yang dibawanya – bahwa Tuhan harus selalu ada dari hasil tersempurna
atom-atom. Dan untuk kasus bumi, adalah atom yang, sampai saat ini, telah
menjadi bentuk yang paling sempurna,”
“Sebentar,
sebentar, Jon. Pelan-pelan, otakku ini rada lemot. Jika seperti itu, isi bumi
adalah atom-atom yang terus berjuang mencapai bentuk yang paling sempurna,
dengan kesadaran bawaan dari ‘kesadaran awal’ itu?”
“Bahkan
bukan hanya atom di dalam bumi ini. Semua, setiap atom dalam semesta ini, mulai
dari big bang, teori yang sampai saat ini paling rasional, melakukan perjuangan
dengan kesadaran utuh,”
“Jika
seperti itu, seakan Tuhan membutuhkan kita, sebagai pembuktian bahwa Ia ada,”
“Kesimpulan
seperti itu, Tuhan tidak membutuhkan makhluk atau sebaliknya, adalah kesimpulan
yang terburu-buru. Betul, ada ayat al qur’an yang mengatakan seperti itu kurang
lebih, tapi aku rasa itu metafora. Jika kita tarik dari asal kesadaran kita,
Tuhan (kesadaran awal) mengubah diri-Nya menjadi
alam semesta, termasuk kita,”
“He? Jika
seperti itu, maka kita ini Tuhan, begitu Jon?”
Tiba-tiba
teman Jon berdiri. Ia pergi, nampaknya mengambek. “Asem, ngobrol nggo dewek thok,”
(Asem, diskusi kok buat diri sendiri saja). Aku dan Jon tertawa melihatnya.
“Sekali
lagi, ketidaktahuan manusia, menjadikannya terburu-buru menyimpulkan sesuatu. Kita
ini Tuhan atau bukan, hukum mutlak kehidupan adalah terus berjuang, mengadakan diri – Tuhan,”
Bersambung….