Dua hari kemarin, aku berkunjung lagi pada tanah yang 'mendewasakan'-ku : Bandung. Berawal dari wacana/ide, kemudian berlanjut pada rencana, eksyen (aksi), lalu refleksi. Wacana itu, berkunjung ke dosen dan beberapa teman calon donatur sekolah dhuafa itu, akhirnya terlaksana. Tiga desain sekolah untuk kaum dhuafa yang aku buat, tersampaikan pada beberapa teman. Dosen yang aku tuju, ternyata tak sempat ku temui. Sudah begitu malam, khawatir ketinggalan bus di Cicaheum. Aku pun pulang, tentu saja, tanpa penyesalan. Hidup ini sederhana, putuskan dan jangan pernah menyesalinya. (Hans, The Fast & Furious 'The Tokyo Drift)
Saat menunggu dosen-ku itu, adik kelas bertanya, "Ya, saya setuju sama akang. Bukan termasuk masalah bagi kita untuk mendapatkan wanita. Tapi, apakah wanita yang akan kita tentukan itu, benar-benar mampu memahami perjuangan (idealisme) kita?"
Aku pernah cerita, selain anak kecil yang pengin jadi pacar saya (anak SD kelas 4 yang, entah mungkin Tuhan sedang menguji saya, berkata, "Kak, mau nggak jadi pacar aku?" ajib! Gue puyeng), atau ajakan tiga wanita dalam waktu yang berbeda mengajak untuk 'beradu' desah denganku saat masih kuliah (tentu aja gue tolak,,,, dengan amat nyesel,hihi)
Aku sendiri, setelah tertolak dari seorang wanita 'elite', dan sampai sekarang belum mampu -berani- mendekati wanita lain. Seperti sepulang dari Bandung semalam, ada satu perempuan yang duduk sendirian di bus, eh, tapi ceritanya nanti (hehe). Bukan berarti tak bisa, barangkali, tapi tak yakin, apa benar penolakan itu dari hatinya? (gue ge-er!he)
"Ya itu dia. Menemukan pasangan hidup yang menarik, itu lebih mudah daripada menemukan wanita yang memahami perihnya perjuangan kita, sebagai suaminya. Di satu sisi, kita wajib menafkahinya, tanpa merasa kekurangan, di satu sisi lagi, kita juga harus menjaga mereka, kaum lemah. Tapi, kesusahan itu berawal dari pikiran, ketika kita terlalu fokus pada bayangan-bayangan negatif,"
Dosen kami orang Parongpong, Bandung. Kecamatan inilah, yang menjadikan aku kuliah di Bandung. How could it be?
Lalu, aku pun mendongeng pada dua adk tingkatku itu :
Tahun 2005, aku berkenalan dengan seorang gadis SMA (saat itu aku juga SMA kelas 2). Dia rumahnya disini (Parongpong). Sampai saat ini, aku belum pernah bertemu dengannya, hanya lewat MIRC (fasilitas chatting jaman doeloe). Lalu, tukar menukar foto di Friendster. Uniknya begitu, cinta mengubah sesuatu yang jauh menjadi dekat. Dan keputusasaan mengubah sesuatu yang dekat menjadi jauh. Lanjutan ceritanya? Aku sempat tanya, rumahnya dimana. Ternyata di Parongpong, Bandung. Tanyalah saya pada seorang kakak yang pernah kuliah di Bandung, "Ada nggak kampus yang dekat dengan Parongpong?" Ada! Ya itu, tempat kuliah-ku lima tahun yang lalu : UPI. Sempat juga aku pura-pura tanya pada dia, tentang informasi masuk kampus itu. Tapi, di Tahun 2006 akhir, kabar 'pahit' berhembus. Dia dijodohkan oleh ayahnya dengan seorang calon insinyur ITB. Emh, galau-lah aku saat itu. Mana mungkin, seorang lelaki tangguh tak mungkin merengek ketika pihak keluarga mempelai telah sepakat. Lagipula, aku hanya seorang siswa berandalan dari sekolah sekarat saat itu. Aku tak bisa membela, karena memang hanya seorang anak petani desa. Tapi, kisah itu tak menjadikan aku berhenti untuk kuliah di sana.
Itu, kisah cinta pertama. Love at first time.
Cinta kedua, saat ospek kampus. Rasa keputusasaan nyaris tersembuhkan, saat aku melihatnya satu kelompok dengaku. Aliva namanya. Dia yang kusebut sebagai wanita 'elite'. Aku bukan tipe lelaki yang datang pada seorang wanita tanpa membawa apa-apa : jaminan. Omong kosong, jika berkata cinta, tanpa berani memberikan bukti : nyata. Itu di tahun 2007. Lalu, aku berusaha keras untuk mencari cara bagaimana membuktikannya? Ah! Aku membuat buku. Dua buku perdana kuberikan. Tapi, karena kami saling sibuk saat itu, kami hanya sekali bertemu, dan itupun nampaknya perpisahan. Dia dari keluarga pejabat, aku dari keluarga melarat (haha, jangan bawa-bawa orangtua! Aku belum punya apa-apa, jadi terhitung 'miskin'). Cerita lengkapnya, mending beli buku novel 'Jon Quixote de la Indonesia' yang tak tahu kapan (hehe) akan diterbitkan. *saat ini masih tahap penulisan.
Kisah cinta ketiga, fyuh, ini yang paling irasional. Seorang wanita dengan hati pasrah, meminta mahar hanya dengan hafalan surat Ar Rahman. ApaaHHH???hehe
Tapi hatiku berkata (ealllaaahh), barangkali, yang dimaksudkan bukan cuma hafalan, tapi juga makna. Dan akhirnya, dengan kontemplasi yang cukup rumit, aku menemukan sesuatu pemahaman yang begitu berat : tentang qur'an.Tahap pewahyuan ayat qur'an pada rasululloh adalah begini : Hafal ---> Paham ---> Lihat --> Menyaksikan/Mengalami. Maxute? Ketika seseorang membaca qur'an, tingkatan terendah adalah hafal. Kedua, paham, yaitu memaknasi artinya. Ketiga, ia 'melihat' (mendapatkan visi) alasan seperti apa mengapa ayat itu turun. Terakhir, adalah 'menyaksikan' / 'mengalami', imajinasi sampai pada saat Rasululloh mendapatkan wahyu itu, dan informasi abadi tentang makna di balik ayat itu. Ayat-ayat seperti Alif lam mim, alif lam ro, dsb, adalah ayat-ayat yang ketika rasululloh 'melihat' makna sebenarnya, ia bahkan tak sanggup menerjemahkannya menggunakan bahasa manusia (tak terungkapkan kata-kata). Ah, pokoknya rumit. Lalu, bagaimana dengan 'wanita ar rahman' itu? Aku melepasnya, karena aku masih memiliki kakak perempuan yang belum menikah (bahkan hingga saat ini). Saat itu tahun 2011.
Udah ah, segitu aja. Mau istirahat. Tadi malam nyampe rumah jam 4 pagi. Lebih jelasnya di novel ituhh..he
eh? gimana cerita perempuan yang duduk sendiri di dalam bus? Dia turun di Sumedang, dan nyaris saja aku menjalin komunikasi yang 'mesra' lagi dengan perempuan. Tapi, tak jadi. Mengapa? Entahlah. Aku tahu cinta itu, selalu dekat. Tapi, hati ini barangkali paham, mana wanita yang akan menjadi separuh ruh-ku, mana wanita yang hanya akan menjadi cerita dalam buku sejarahku.
Kangen rasanya sms-an, "Mah, bangunin ayah yah, entar subuh. Tadi ngetik buku (se sekian) nyampe jam 2 pagi,"
"Iya Ayah, Insya Allah..."
"Sweet dream as sweet as ur smile, Mah,"
Galau amatt dah!hehe :p