Kupu-kupu

Java Tivi
0
Sabtu, 12 Oktober 2013

            Suatu dialog…

            “Ayah, lihat kupu-kupu ini, sayapnya patah,” kata anakku sore itu. Di atas telapak tangannya tergolek kupu-kupu berwarna hijau yang nampaknya setengah hidup.
            “Oh, malangnya,” aku memandanginya lekat. “Eum.. sudah sore, ayo, pulang,”
            “Tapi, ayah, ini kasian…” rengek anakku.
            “Eum.. kamu mau menungguinya seharian?”
            “Tapi ayah, kasian kan…”
            “Apa yang bisa kita lakukan, nak? Menguburnya (padahal ia masih hidup)? Menyambung sayapnya dengan lem?”
            “Tapi ayah, kalau kita pulang, apakah kita tidak kejam?”
            “Emm.. ya, barangkali kita kejam, dan akan dibalas dengan kekejaman masalah hidup yang akan kita hadapi,”
            “Tuhan jahat?”
            “Nak, apa yang Tuhan bisa perbuat untuk kita? Hidup ini hanya untuk mereka yang kuat, yang dengan kekuatannya membantu mereka yang lemah. Hidup ini bukan persoalan tentang Tuhan, nak. Tapi tentang kita, manusia, dan alam,”

            Terkadang, orang lain tak perlu tahu apa yang sedang kita rencanakan, kita kerjakan – sebaik apapun perbuatan itu. Orang lain membutuhkan hasil, kita, membutuhkan proses. Seperti kupu-kupu itu, manusia hanya suka melihatnya sebagai hasil : kupu-kupu. Tapi manusia seringkali enggan memikirkannya ketika dalam proses menjadi : kupu-kupu.
            Seperti proses menjadi manusia : dewasa. Seorang teman saat kuliah pernah bertanya apa ukuran seseorang dikatakan ‘dewasa’. Usia? Pemikiran/jiwa? Fisik? Ucapan? Tindakan? Tontonan?
            Kita terjebak dalam kesimpulan pikiran kita masing-masing. Aliran pemikiran yang kita alami tiap hari, membuat kita seringkali mudah menyimpulkan bahwa hidup – dan segala bagian-bagiannya – adalah seperti apa yang kita pikirkan. Persoalannya, apakah pikiran tiap manusia memiliki kesimpulan yang sama? Akan menjadi seperti apa kehidupan yang dipenuhi pikiran berbeda-beda tanpa ada satu ujung kesamaan? Seperti ibu-ibu pengajian itu, mereka merasa bodoh ketika ustadz A mengatakan hukum A untuk suatu tindakan A. Tapi sebaliknya, ustadz B mengatakan hukum B untuk suatu tindakan A. Jadi, mana yang benar (sih)?
            Seperti pikiran kebanyakan pria yang mengkerdilkan ‘makna’ wanita, istri, dan perannya menjadi ibu. Atau seperti sebagian kecil wanita, yang diam-diam ingin menjadi istri dan ibu, tapi malu mengakuinya dalam masyarakat yang sungguh konyol ini. Kapan proses ‘menjadi’ ini selesai? Saat mati-kah?


Dan aku pun masih menunggu proses itu- apakah menjadi 'kupu-kupu'?, menunggu balasan pesan dari seseorang disana, tertemani lirik ironis _Cahaya Bulan_Gie.
Tags

Post a Comment

0Comments
Post a Comment (0)