Kali ini, Jon diundang teman-teman SMA-nya untuk tahlil di salah seorang teman yang neneknya baru saja meninggal. Begitulah ia, terkadang diminta datang ke rumah paman / bibinya yang berhaluan muslim modern untuk diskusi, terkadang ia nongkrong bersama para warga NU alias nahdlatul udud (perkumpulan orang yang suka merokok) di kumpulan tahlil itu. Ia sengaja tak memilih hidup di kota besar, semisal tempat kuliahnya dulu. Meski sudah ada jaringan, sudah 'dikenal' beberapa orang, sesekali mengimami sholat tarawih dan khotbah. Tapi ia memilih wilayah desa, tempatnya orang-orang udik. Berbahasa sederhana, tanpa embel-embel bahasa arab ketika berdialog biasa. Ana, antum, akhi, ukhty, afwan, shobahal khoir... ia lebih suka pakai 'bahasa bumi' : Ingsun, sampean, ngapunten, dll. Walaupun ia sangat sadar, ada banyak bahasa qur'an yang tak boleh diterjemahkan ke dalam 'bahasa bumi'. Misalnya alif lam mim, atau, adzan.
Salah satu teman SMA Jon yang ikut dalam barisan, bernama Tom. Ini anak kalau sudah duduk sama Jon, susah untuk membedakan mana yang waras mana yang sableng. Tak pernah bener apa yang diomongkannya. Hidupnya suka hura-hura, minum khamr, pacaran menyepi di lubang semut, dugem. Tapi ketika dekat dengan Jon, yang ditanyainya suka menyinggung persoalan filsafat hidup, atau bahkan agama. Tapi, itu dia, terkadang normal, terkadang kumat. Pernah mereka datang rombongan ke resepsi pernikahan teman kelas. Si Jon masih mending, masukin amplop berisi 10.000 rupiah ke kotak tamu. Lah, si Tom ini lebih parah, dia masukin 2000 perak ke kotak tamu. Dikiranya apa kondangan kok 2000 perak???
Tentang tahlil, Jon tidak mau berdebat dengan orang yang tidak melakukannya. Hanya saja, terkadang jika ada anak-anak muda yang benar-benar menyebalkan, ia pun mengeluarkan logika 'kaum awam' untuk menjawabnya.
"Kalau kamu ngubur kucing, ayam, anjing mati, didoain ndak?" tanya Jon.
"Ya nggak lah!" jawab teman-temannya dari haluan muslim modern.
"Kalau almarhum ndak didoain, berarti kita menyamakannya dengan itu,"
Yah, begitulah, seringkali Jon harus rela menghela nafas panjang untuk perihal seperti itu : qunut, tahiyat, akiqah dan qurban disatukan atau dipisah, tahlil, adzan jumat dua kali atau satu kali, dll. Seakan hukum beragama bisa dilembagakan.
Selepas tahlil, ketika acara medang-medang, Jon mengobrol dengan Tom.
"Elu udah tua, kapan nikah?" tanya Jon.
"Ntar habis bada (lebaran)," jawab Tom sambil mengambil gorengan bakwan (bala-bala).
"Bada maghrib apa bada isya?" kata Jon lagi.
"Bada dhuha juga boleh dah,"
Mereka tertawa.
"Sebenernya begini, Jon," kata Tom mulai agak serius. "Bapak gua lagi sakit, udah nggak bisa apa-apa sekarang. Cuma tiduran di kasur, minum aja udah susah. Mana mungkin gua mikirin kawin?"
"Emm.. mulai kapan sakitnya?"
"Udah sekitar setahun. Bulan kemarin mendingan, bisa duduk, tapi sekarang malah tambah parah,"
"Kalau boleh gua tebak, bapak lu suka sama benda-benda, ya?" tanya Jon, yang dimaksud adalah jimat.
"Kok lu tahu, Jon?"
"Hehehe,"
"Itu dia, bulan kemarin mendingan, soalnya ada orang pinter yang dateng ke rumah. Entah mengambili entah apa, yang pasti bapak mendingan. Nah, udah tiga hari ini malah tambah parah,"
"Kemungkinannya, udah diambili, tapi belum bersih," kata Jon lagi.
"Kalau misalnya, besok malam ngaji di rumah gua, gimana?" Tom meminta Jon buat memimpin ngaji di rumahnya.
"Insya Allah, bisa. Buat teman mah gua nggak ada kata sibuk." kata Jon. "Kalau boleh tahu, di rumah lu sering di ngajiin nggak?"
"Hehe, nggak pernah, Jon,"
"Haiyyahh...gelap banget dong?"
"Gelap apaan, pakai lampu dong, bayar listrik aja teratur gua,"
"Koplak lu," Jon mengumpat. Mereka tertawa.
"Dalam kondisi seperti ini, memang baiknya lu fokus dulu ngrumat (merawat) bapak lu," Jon menyarankan. Birrul walidain itu satu-satunya cara terbaik untuk membalas budi orang tua,"
"Bir apa, Jon?"
"Birrul walidain, kamprett! Lu tuh bapak lagi sakit, malah ingatnya bir aja lu,"
Mereka tertawa.
"Lha iya, gua sebenernya bisa langsung bilang ke calon mertua buat meminang cewek gua, tapi 'kan kondisi bapak gua lagi sakit. Masa' gua bisa-bisanya mentingin diri sendiri?"
"Ajib itu namanya. Orangtua merawat anak biar jadi orang sukses, panjang umur, tapi kalau anak merawat orangtua, biasanya dua hal yang diharapin,"
"Apa itu, Jon?"
"Warisan, atau kapan mati - biar jangan merepotkan melulu,"
"Wah, nggak nggak! Gua nggak mikirin warisan, apalagi lainnya. Gua bener-bener ini, udah jarang main, jarang minum."
"Ya ajib itu," Jon mengangkat jempolnya. "Berbakti pada orangtua itu sangat lebih wajib didahulukan daripada birrul mahabatain,"
"Wah film india itu, Jon?"
"Bukan, nyet. Maksud gua, berbakti pada kedua orangtua mesti didahulukan dari pada berbakti pada dua cinta, cewek lu dan cinta pada diri lu sendiri. Besok, sms aja kalau jadi. Tapi lu juga mesti ngikut ngaji,"
"Tapi 'kan gua nggak bisa ngaji, Jon?"
"Lah, lu gimana, ini bapak lu yang mau dingajiin, Insya Allah gua bantuin bersihin dari jimat, lu-nya juga ngikut dong,"
"Oh, gitu ya, Jon?"
"Doa paling manjur untuk orangtua, ya doa anak-anaknya. Kalau lu nggak ikut ngaji, gua nggak mau lah,"
"Nggak mau apa, Jon?"
"Nggak mau hidup kalau di dunia ini ada elu! Kamfreet!"
Mereka tertawa.
"Di sekolah gua aja, beres sholat dhuhur, anak-anak (siswa) gua yang pimpin doa. Padahal mereka baru kelas 2-4 SD. Lu mau sekolah SD lagi?" kata Jon.
"Gurunya ada yang cantik nggak, Jon?"
"Ada lah, yang namanya wanita ya cantik, 40 tahun,"
"Wueleehh, ogah,"
"Hehehe,"
Si Jon bermimpi, sekolahnya itu disiapkan untuk mendidik para pemimpin masa depan. Anak muda yang siap memimpin dalam berbagai bidang kehidupan. Karena itu, meski masih kecil, mereka dididik untuk memimpin doa, selesai sholat. Terkadang, memang menyakitkan ketika melihat para orangtua yang diharapkan membawa perubahan yang lebih baik, ternyata justru tak bisa apa-apa. Jika begitu, dengan terpaksa tangan-tangan pemuda harus mengambil alih secepatnya, agar perubahan terjadi lebih baik.
Tentang jimat, Jon termasuk orang yang tak percaya dengan klenik. Ia percaya pada yang gaib, tapi tidak pada hal-hal klenik. Terlebih lagi dengan benda-benda seperti itu, yang jelas-jelas Jon tahu sejarahnya, mengapa menjadi 'dijimatkan'. Lalu bagaimana Jon mau membersikan jika ia tak punya kemampuan?