Tanpa mimpi, tidur (hidup) ini tak akan enak.
“Jangan fokuskan hidupmu pada tujuan,” kata Petrus, pemandu
Coelho. Kata-kata ini seperti yang diajarkan Shifu pada Po, muridnya, dalam
film Kungfu Panda. “Jika kau fokus pada tujuan, kau akan terjebak. Fokuslah pada
perjalanannya : nikmatilah!”
Banyak cerita hari-hari ini. beban yang semakin bertamabah –
dalam pikiran. Diri yang menuntut untuk semakin dikuatkan, dengan tugas akhir
tahun yang, ah, mengasyikan.
Tapi, malam ini aku ingin bercerita, tentang kisahku saat
remaja : cengeng. Satu judul pembuka, untuk buku selanjutnya : Pursuit of Love.
Bagaimana mengawalinya…??
Bagaimana mengawalinya lagi?
Aku menulis ini, untuk dirimu di masa lalu. Karena di masa depan, engkau bukan
milikku lagi. Engkau telah bersanding dengan sang terkasih.
Bagaimana mengawali ini? Saat
senyum dan tangis menyatu, menatapmu bergandengan tangan, bercanda mesra,
seperti aku denganmu, dahulu. Ah, toh pada akhirnya tulisan ini telah menjadi
beberapa kata, kalimat, dan cerita yang dapat kita kenang, suatu saat nanti.***
Aku suka kesendirian. Seperti
saat ini, aku menuliskan sepotong kisah hari ini, dari bangun pagi hingga
istirahat sekolah. Aku menuliskan ini di pojok sekolah, sendiri. Pagi lalu, aku
terbangun dengan perasaan ragu, apakah aku mampu melewati hari ini, ataukah
menyerah. Ternyata seperti ini, perasaan ketika terjerat masa lalu, tentang
kenangan seseorang yang memutuskan untuk pergi.
“Ayah telah menjodohkanku,”
katanya.
“Tapi kita masih SMA, masih
ada waktu untuk membuat alasan menolaknya, bukan?”
“Tidak, tidak. Aku tak
mungkin menolak permintaan orang tuaku,”
Mendadak pikiranku terangkat
jauh ke atas, lalu seakan jatuh dengan kecepatan teramat cepat…
DaArRr!!!
Itu mengapa, aku katakan,
pagi ini aku ragu, mampukah berjalan seperti dahulu tanpa bayangnya? Kerjapan
senyumnya yang ada dalam pikiranku, telah hancur, terjatuh dari langit-langit imajinasiku.
Bayangan indah itu, sang semangat hidup yang membuatku mantap menatap masa
depan. Ia memperjelas masa depanku. Tapi kini…? Ah, bagaimana mengawali ini
semua???
Sekolah terasa hambar.
Guru-guru pemegang buku teks itu, tak mampu menjawab pertanyaan sepele yang ku
dapat dari buku-buku filsafat.
Seorang guru berucap,”Sang
penemu yang menjadi titik awal abad pencerahan Eropa adalah James Watt, penemu
mesin uap. Lalu lampu pijar yang menerangi kita saat malam, ditemukan pertama
kali oleh Thomas Alfa Edison,”
“Tapi pak, mesin uap yang
dimodiikasi Watt itu ‘kan mencontek buatan kerajaan dinasti Abbasiyah, jaman
Harun Ar Rasyid? Berarti Watt tak bisa disebut penemu?”
Lalu, ia tak menjawab, pergi keluar
kelas dengan muka masam, menyuruh siswa-siswa istirahat.
Lihat, tidak ada yang
memahamiku – bahkan guruku, sayang, selain engkau.
Sempat aku bertanya, mengapa
manusia butuh dipahami? Tidakkah cukup diri sendiri, atau Tuhan saja yang
melakukan itu? Tidak ada manusia yang mampu memahami kita, selain diri kita,
atau Tuhan, yang benar-benar mengenal kita. Aku mengira engkau memahamiku,
sedang sebenarnya akulah yang memahami – bahwa, karena tak ada yang bisa
memahami manusia, cinta itu menerima engkau sebagaimana adanya. Entahlah, aku juga
tak tahu, darimana aku dapat pengetahuan itu. Sekolah tak pernah mengajarkan
tentang cinta, saling memahami, sekolah kini menjadi pabrik buruh, dengan
kesiapan menyombongkan kebesaran nilai/angka.
Ilmu pengetahuan sendiri, itu
seperti api semangat bagiku. Tapi sekuat apapun api itu, ia membutuhkan bahan
bakar. Dan bahan bakar api semangatku adalah : siapa lagi jika bukan kamu?
Cahaya mentari yang merangkak
memasuki bumi, kaki-kaki cahayanya menyentuh pena dan buku-ku ini, pun
membutuhkan bahan bakar agar terus menyala. Hingga suatu saat nanti padam,
menjadi pertanda kehancuran kehidupan bumi. Andai saja engkau tahu, setelah kau
pergi itu, pertanda kehancuran dalam hidupku telah muncul. Meski terasa begitu
sakit menahan ini, tapi ku harus tetap hidup, membuktikan kebenaran pertanda
kehancuran itu : apakah aku akan binasa atau sebaliknya, jaya.
Akhirnya, waktu-lah yang
selalu memahami kita, mengingatkan kita, bahwa semua ada batas – waktu – nya.
Dan pertanyaan, ‘bagaimana mengawali hidupku lagi’, akan menghilang
pelan-pelan, terjawab dengan sendirinya. Aku paham, manusia tak bisa hidup
degan beban masa lalu. Ada yang bilang, masa
lalu sangat cocok untuk kita kunjungi, tapi tidak tepat untuk kita tempati
– menetap di sana. Kehidupan bergerak maju, menuju akhir waktu, kematian yang
menjadi pintu – dunia setelahnya. Selanjutnya, aku berjuang untuk tetap tabah,
melihat duniaku yang tak seindah dulu : tanpa adanya kamu.
Terdengar bel tanda masuk yang berteriak lantang. Itu… tanda, ada
batas untuk menceritakan, awal kehidupan tanpamu lagi. Seperti saat lahir,
diawali dengan tangisan – hati, terus menjalani hidup dengan tegar, lalu maut
datang sebagai janji yang sangat benar.***
Apakah perlu ku lanjutkan?
Seringkali, hidup ini bukan tentang aku (kau, kita). Tapi tentang
masa depan, yang tak akan indah tanpa mimpi.
Bersambung,