Tiap hari Senin, saya mengajar olahraga siswa kelas empat. Sekolah
yang baru belajar merangkak itu belum memiliki guru olahraga, jadi ini menjadi
tantangan sekaligus pembuktian bahwa saya selalu belajar untuk tidak menolak
permintaan –kecil- Tuhan. Permintaan dalam hal apa?
Tidak pernah saya membanyangkan sebelumnya, bahwa saya akan
diberikan tugas –yang barangkali ini kecil untuk orang lain – besar dalam usia
muda ini. Mendidik siswa, menjadi teladan guru/siswa, berbagi ilmu –yang saya
yakin tanpa bantuan-Nya saya bukanlah apa-apa – pada masyarakat. Tidak pernah
juga sebelumnya, saya memimpikan diri untuk memiliki jabatan/status sosial
tertentu di masyarakat. Menjadi anak muda yang secara tidak langsung belajar
dari Nabi Syu’aib, seseorang yang diremehkan masyarakatnya karena keturunan
leluhurnya. Tidak jarang saya bertanya-tanya sendiri :
Apakah yang saya lakukan ini sudah seperti yang Tuhan
inginkan/butuhkan dari saya?
Siapa yang akan menjadi teman diskusi saya / menegur saya
ketika berjalan menyimpang? (Tidak ada teman diskusi, guru, dosen, ustadz,
siapapun itu yang benar-benar menjadi sahabat berpikir saya disini).
Apakah saya harus selalu waspada, sadar, mengambil setiap
teguran dari alam dan kehidupan? Kesadaran setinggi apa yang Dia harapkan
dariku?
Apakah saya cukup kuat untuk selalu membawa ‘wakul’ ini?
Terkadang saya takut dengan kondisi yang jumud disini, sekedar untuk
mempertahankan alam berpikir saja begitu susah, terlebih lagi harus membangun,
memperbaiki keadaan, yang tak mungkin itu bisa saya lakukan sendiri. Dan sebenarnya
tidak ada satu hal pun yang bisa saya lakukan sendiri – meski itu kecil, tanpa
bantuan dari Tuhan. Persoalannya, diri saya ini tak bisa selalu terjamin dekat
dengan Tuhan dengan nafsu kepemudaan
saya. Itu sebenarnya yang menakutkan.
Apakah saya pantas memimpin mereka? Memimpin diri sendiri
saja saya begitu susah?
Tentu, ini bukan keluhan keputusasaan. Tidak sedikitpun rasa
malas dan segan saya menerima ‘tugas’ ini.
Tidak mundur sedikitpun saya dari perjuangan ini, meski nyaris tak
diuntungkan apa-apa – karena memang bukan keuntungan (duniawi) yang saya
butuhkan. Kekhawatiran saya adalah pada mereka, anak-anak masa depan yang entah
akan kemana takdir membawanya.
Pagi itu, di pinggir sungai anak-anakku bertanya.
“Kita akan liburan kemana nanti kenaikan kelas, pak?” tanya
seorang siswa.
“Kita.. emh.. ibu-ibu kalian pengin ke Kudus, ziarah,”
“Ziarah? Sih ngapain, pak?”
Pertanyaan ‘ngapain’ ini agak sulit saya jawab. Pertama, mereka
belum paham makna di balik mengunjungi tempat-tempat makam. Kedua, apa
menariknya makam? Ketiga, ini yang liburan anak-anak atau ibu-ibu mereka?
“Kita jalan-jalan naik gunung. Nanti di atasnya, airnya
sangat dingin, pemandangannya juga indah. Nanti pak guru bikin videonya deh,”
“Asiik.. di sana ada kolam renangnya, pak?” tanya siswa yang
lain.
“Engga ada. Kamu bisa renang, gitu?”
“Bisa, bisa, bisa,” jawab mereka serentak. Entah renang gaya
apa yang mereka bisa. Mengingat sekolah belum pernah praktek renang.
“Coba, renang dulu di sungai itu,” saya bercanda.
“Hahaha, engga mauu..”
Kebahagiaan bukan milik mereka yang kaya ataupun pemilik
kemewahan. Kebahagiaan adalah bagi mereka yang menikmati hidup, apapun
kondisinya. Seperti tawa dan kebersamaan dengan mereka.
Lihat sungai itu, nak. Airnya memiliki garis takdir yang
jelas : samudera. Tapi, kemana garis takdir yang akan membawa kalian? Apakah engkau
akan kuat dengan sampah yang mengalir, menyumbat, dalam arus kehidupanmu? Apakah
arusmu akan bermanfaat? Apakah arusmu akan tersesat dan berakhir putus asa?
Engkau menjadi satu kekhawatiran terbesar dalam hidupku. Jaman
ini tak mentolelir mereka yang lemah. Dan aku pun tak mampu menjamin, dengan ku
engkau akan kuat, hingga siap menantang angin atau badai. Jangan menyerah,
seperti aku yang tak menyerah, meski kehidupan berkali-kali memintaku bertekuk
lutut di hadapannya.