Seorang sahabat bertanya pada rasulullah, "Wahai rasul, apakah kebaikan itu?"
Beliau menjawab, "Janganlah kamu menganggap remeh sedikitpun kebaikan, meskipun kamu hanya memberikan seutas tali, memberi tali sandal, membersihkan debu pada bejana tempat air, menyingkirkan sesuatu di jalan yang dapat mengganggu orang-orang, dan bertemu saudaramu dengan muka manis, memberi salam kepadanya ketika bertemu, dan menyingkirkan kotoran yang ada di jalan."
Ada perasaan bersalah ketika saya mengucapkan 'penolakan' pada teman-teman mahasiswa, bahwa waktu hidup saya sudah dipatok di sini : di sekolah itu. Menolak dengan ucapan, "Kalau tiap bulan, rasanya saya nggak bisa. Tapi kalau dua atau tiga bulan sekali, insya Allah saya bisa - menemani teman-teman berdiskusi," meski sebenarnya berat. Barangkali sudah menjadi resiko berperan menjadi 'aku', ketika di sini dibutuhkan fokus, dan di sana pun dibutuhkan keterlibatan. Di satu sisi saya tak bisa meninggalkan sekolah itu saat hari aktif. Tapi di sisi lain, rasanya kok saya ndak tega melihat adik-adik saya yang begitu kesepian tak punya rekan 'tua' diskusi. Sebenarnya, jujur saja, saya tak begitu banyak berpengetahuan. Konsumsi baca buku saya sedikit, dan lebih ke buku-buku santai : fabel, komik, cerpen, esai. Maka tak aneh, ketika di pengajian orangtua siswa itu saya tak bisa berceramah. Saya lebih 'mampu' untuk berdiskusi. Sebaliknya, mereka - ibu-ibu, tak 'mampu' untuk berdiskusi.
Terkadang saya merasa prihatin, ketika para pemuda penerus peradaban itu, berbicara bebas, tanpa merenungkannya dalam-dalam konsekuensi dari apa yang diucapkannya itu. Ada berapa banyak pemuda di bangsa ini yang putus asa, merasa tak punya 'teman' satu pemikiran? Ada berapa banyak anak muda di bangsa ini yang merasa kecewa karena Tuhan? Ada berapa banyak anak muda di bangsa ini yang, karena urusan sepele, namun membuatnya kehilangan tujuan?
Ingin rasanya bisa menemani mereka lagi. Berdiskusi bebas, mengenal hidup lebih jauh, mendekat pada kehidupan mereka - masyarakat - yang tak lebih beruntung dari kita. Saya tak tahu, di masa depan mereka akan menjadi apa, dan bagaimana penilaian orang-orang di rumah saya jika setiap bulan sekali saya ke sana. Mungkin saja mereka, para mahasiswa itu, seperti teman-teman atau kakak-kakak tingkat saya yang idealis saat kuliah, tapi 'modernis-individualis' saat sarjana. Dunia akan memaksa mereka, anak-anak muda idealis, bahwa hidup harus 'realistis', cari uang sebanyak-banyaknya dengan modal atau tenaga sedikit-dikitnya. Dan apa yang terjadi? Antrian para sarjana dengan map di tangannya pun menjadi pemandangan tahunan. Apakah salah? Wajar, wajar, menurutku.
Bisa jadi, itu takdir mereka, menjadi para 'pemegang kunci dunia', menjadi alladziy jama'amal law wa'addadah selanjutnya. Tapi, hidup ini penuh kemungkinan. Mungkin mereka tetap idealis, atau mungkin saja mereka tak tahan dimarahi istri dan mertua karena miskin, lalu idealisme itupun tertinggal menjadi kenangan. Mungkin, mungkin saja.
Sebelum itu terjadi, bangsa ini jelas membutuhkan anak-anak muda yang 'putus asa' pada mereka yang tua. Bukan hanya tua dalam hal usia, tapi juga mental, stamina perjuangan sosial. Apakah aku tak memikirkan kehidupan pribadi, sampai-sampai harus memikirkan mereka, anak-anak muda adik-adikku yang sejenak kehilangan 'teman tua'? Tidak sepenuhnya. Aku memikirkan kehidupan keluarga, bahkan sekarang sedang mau 'kenalan' dengan seseorang di 'sebelah timur' kota saya - entah berkenan atau tidak. Suatu saat mungkin istri dan mertuaku akan menggugat jalan hidupku ini. Sok belagu melayani siapapun, tanpa meminta 'amplop transport'.
Hidup ini, betul, sandiwara. Tapi mbok ya tak usah berlagak seperti bermain sinetron tivi. Sedih berkepanjangan, rumit dibuat sendiri, atau menyesali keputusan yang telah terambil di masa lalu. Tak perlu mengingat-ingat lagi bagaimana rasanya dihina karena miskin, gembel, kerempeng, lemah. Tak perlu lagi mengingat-ingat siapa saja orang yang menghina, memarahi, membenci, memfitnah. Jadilah seperti debu dalam angin, memayu hayuning buwono, dan mengalirlah bersama kebahagiaan saat ini, detik ini. Orang-orang yang menganggap diri ini jelek, tak pantas untuk menempati 'tingkat' tertentu, akan selalu ada. A hadzaladziy ba'atsallaha rasulla? Ungkapan keheranan mengapa kehidupan menempatkan kita di 'posisi' anu, di tempat 'itu'.
Bagiku, tidak ada yang penting di dunia ini : kehormatan, kekayaan, nama, derajat, bahkan Tuhan. Lalu, apa yang penting bagiku? Kebaikan.
Apapun skenario hidup ini, kita tak akan mampu menggugat Tuhan. Mungkin, mungkin kita bisa menjadi Tuhan. Tapi dapat dipastikan, akan menjadi Tuhan yang sangat egois.