Setiap hari Sabtu malam, di akhir sholat hajat setelah Isya, seringkali - kalau ndak lupa - aku memohon ampun lebih banyak dari hari biasanya. Karena di hari Sabtu, lisan atau mulutku ini lebih banyak bicara daripada di hari-hari biasanya. Sabtu pagi, aku memberi sedikit nasehat untuk anak-anakku, tentu, sesuai dengan apa yang aku lakukan (Ash shaff : 2-3). Siangnya, ada evaluai mingguan bersama para guru. Di sana, aku juga yang banyak bicara. Bahkan, ketika aku minta mereka untuk memberi saran atau kritikan untukku, mereka diam. Seringkali aku berpikir, ini para guru takut, atau memang - ndak mungkin - kesalahanku selalu ditutupi oleh-Nya? Barangkali benar, dalam beberapa hal, meski aku lebih muda dari mereka, aku sering menasehati, baik itu dalam hal agama, ilmu pengetahuan, kebijaksanaan hidup, atau bahkan sekedar bahasa jawa sopan : meski mereka lebih tua dari-ku mereka belum seaktif saya ketika bicara bahasa jawa sopan.
Sorenya, aku mengisi pengajian orangtua siswa dan guru. Entahlah, sampai saat ini, aku masih bingung, kok seakan kehidupan gemas sekali pada hidup saya. Seringkali 'memaksa'-ku untuk melakukan hal-hal yang sebenarnya - sepertinya - saya ndak sanggup. Termasuk pengajian orangtua siswa itu. Aku dididik dengan bahasa intelektual kampus. Betul, aku banyak belajar bahasa sederhana dari berbagai ilmu, termasuk agama, karena tugas intelektual adalah menerjemahkan bahasa rumit - ilmu dan agama - menjadi bahasa sederhana yang bisa dikonsumsi, katakanlah, masyarakat awam. Berbagi ilmu, bukan hanya bab pengalaman hidup, tetapi hampir segala bidang ilmu pengetahuan dan agama. Mazhab fiqh, sejarah Nabi, sejarah kerajaan jawa, sejarah indonesia, politik pertanian, berternak, pendidikan, dolanan anak jawa, musim, aduh, apalagi yah? Saya bahkan pusing sendiri.
"Panggil saya jangan ustadz ya bu, saya bukan ustadz. Saya guru - meski makna sebenarnya sama saja. Kalau dipanggil 'pak' serasa masih muda, ya panggil mas saja. Atau, Om, juga boleh, hehe,"
"Mungkin bukan tausiyah ya bu, yang akan saya sampaikan, tapi sesarengan belajar, tawashow bil haq wa tawashow bish shobr,"
Guru-guru tak berani bicara ketika saya hadir di sana. Harapan saya sih, mbok ya gantian ngomong, jangan saya terus yang masih terlalu awam tentang 'hidup'. Terlebih lagi, bendahara sekolah, salah satu guru yang ikut pengajian itu menghormati saya bukan karena saya kepala sekolah. Tapi lebih dari itu, karena saat kemarin sms, "Honor kepala sekolah ndak sekalian?"
Saya jawab, "Ndak. Belum saatnya," saya ndak ngambil honor selama ini. Jer basuki mawa beya, aku pikir itu harus aku lakukan, jika sekolah itu ingin menggapai impian. Min haitsu la yahtashib, barangkali aku menggunakan itu dalam hal rezeki. Seperti kemarin misalnya, ada banyak undangan kondangan. Aduh, pusing saya, ndak punya duit (hehe). Eh, ternyata ada panggilan dari ketua Dabin (daerah binaan kepala sekolah) untuk mengambil honor menulis naskah UTS. Alhamdulillah, bisa buat kondangan. Untuk mengakali agar bisa kondangan di banyak tempat, untuk undangan dari keluarga kaya (mampu) aku hanya memberinya sedikit. Tapi untuk mereka yang dari keluarga sederhana, dua kali lipat aku berikan. Intinya, agar semua undangan terdatangi, meski fulus habis. Entahlah, sampai saat ini, kok rasanya saya betah jadi manusia pelayan yang selalu membagi-bagi uang? (hehe)
Aku rasa, lebih baik miskin dalam hal harta, daripada ilmu, iman, terlebih lagi, kesadaran. Ibu saya yang sering mengeluh, "Koen kerjane gedebukan, tapi duite laka," haha, terkadang ibu menertawakan anak bungsunya sendiri di hadapan orang-orang.
Tentang kemiskinan, aku selalu ingat dengan surah al ma'un. Bahkan, ketika kuliah dulu, jalan-jalan malam kami sebut sebagai 'perjalanan al ma'un'. Kami mungkin saja, termasuk dalam golongan orang-orang yang mendustakan agama. Menghardik anak yatim, bukan dengan ucapan, tapi dengan derajat - mahasiswa, dengan makan makanan mewah tanpa pernah berbagi bersama mereka, dengan pamer apa yang kita miliki : kita menghardik dengan cara itu. Barangkali juga benar, kami orang yang tak mengajak untuk berbagi makan pada mereka yang miskin. Makan, bukan hanya nasi atau kebutuhan pokok, tapi juga makan ilmu, iman, dan kesadaran atau pencerahan.
"Utluma uwhiya ilayka minal kitabi wa aqiymishola," ucapku tadi sore. "Innasholati tanha 'annil fahsya i wal munkar,"
"Baca dan pelajari kitab ini, qur'an. Umat Islam umat yang kuat, untuk menghancurkannya, tak perlu menyerang, jauhkan saja dari qur'an dan akhlak nabi, maka akan hancur dengan sendirinya. Jika tak bisa baca dan mempelajari qur'an sendiri, baiknya mengikuti pengajian seperti ini," kataku. "Sholat bisa mencegah perbuatan munkar, jahat, ketika kita paham qur'an dan watak kita seiring dengan manfaat sholat : kebaikan,"
Seorang ibu bertanya, "Tapi, mengaji seperti ini (dengan keterangan yang mencerahkan) dimana lagi, pak (selain disini)?"
Aduh, saya ndak bisa menjawabnya. Lebih banyak ulama yang mengajarkan rasa takut pada pengikutnya. Mengajarkan kelemahan, dengan mengharap surga dari ibadah ritual, sedangkan 'teologi al ma'un' tak diseiringkan. Lebih banyak ulama yang ketakutan, ketika ia miskin. Karena ulama miskin sama dengan ulama ndak manjur : tak hebat. Dan hanya orang-orang 'gila' saja, yang tak 'realistis' yang mau istikomah dalam kesederhanaan. Mereka yang bukan golongan wayam na'unal ma'un. Mereka yang tidak termasuk alhakumut takatsur! Mereka yang bukan kelompok innasyani huwal abtar. Rasulullah tak mengharamkan umatnya agar kaya, tapi (sangat) mengkhawatirkannya. Seperti kekhawatiran beliau pada umat yang miskin : ilmu, iman dan kesadaran.
Jangan menyangka, aku pengikut Muhammadiyah, dengan pemahaman 'al ma'un' itu. Karena pengajian orangtua murid tersebut, ada tahlil dan yasinannya. Tapi jika aku seorang NU, mengapa pula aku paham Muhammadiyah? Apakah jika aku paham syi'ah, aku juga termasuk golongan itu? LDII, Persis, Wahabi, Salafi, bla bla endebreh endebreh...???
Aku muslim, tok. Jangan diikatkan dengan apapun selain Tuhan, Allah.