Hari Sabtu itu hari yang paling melelahkan buat Jon,
tapi merupakan suatu kebahagiaan. Bukan karena malam minggu-nya, tapi di hari
itu ia menghabiskan waktunya untuk ‘mendidik’ banyak orang. Pagi ia mengajari
siswa-siswi kecilnya menyanyi, drama, music, melukis/menggambar, ditutup dengan
sholat shuha bersama : guru dan siswa.
Siangnya, ia mengevaluasi guru. ‘Mendidiknya’
bagaimana menjadi guru yang ‘seharusnya’ : berpikir luas, open minded,
kecerdasan majemuk, peduli, tak kenal henti belajar. Menjelaskan hasil supervise
kelas yang ia lakukan dalam satu minggu itu. Ternyata, setelah Jon, amati,
jantungnya kemajuan sekolah adalah itu : supervisi akademik/kelas. Minggu-minggu
ke depan, ia akan semakin rajin nampaknya.
Sore hari, ia berniat tak akan datang dalam
pengajian orangtua siswa dan guru. Ia kena diare, bolak-balik masuk wc. Tubuhnya
lemas, jalannya bungkuk, agar otot perut tak tertarik ke atas, mengendurkan
otot perut. Tapi ternyata, seorang wali murid sms, “Pak Jon, ditunggu di
pengajian,”
“Ok,” Jon balas cepat, sembari meringkuk di
kasurnya. Andai ia punya istri, mungkin akan ada yang merawatnya.
Ibunya Jon serba salah kalau melihatnya seperti itu.
Tak tega membiarkannya berangkat, tapi beliau tahu prinsip hidup anak bungsunya
itu : ketika sudah memutuskan, ia akan terus jalan. Layaknya seorang prajurit
yang tak akan mundur meski ia terluka parah. Prinsip hidup orang-orang ‘gendeng’.
Padahal ‘kan tak akan membuatnya kaya? Bego benar dia.
Di pengajian, Jon duduk (di antara dua sujud) tegap,
wajahnya ia ceriakan, agar tak ada kesan bahwa ia sedang sekarat : mules plus lemas.
“Jajannya jangan ditaruh di depan saya ya bu, saya
sedang puasa. Sih puasa apa, kok hari sabtu?” sapa Jon pada para jamaah. “Nanti
tak certain,”
“Saya disuruh bapak saya puasa weton (hari lahir). Saya paham ilmunya, dalam Islam tidak ada puasa
seperti itu, apalagi tiga hari. Betul, bahwa ada sebagian ulama (tradisional)
yang mengatakan Rasululloh puasa hari Senin karena beliau lahir hari itu, dan
kamis adalah hari lahirnya Siti Khadijah. Betul, ada juga puasa tiga hari
(13,14,15) dalam bulan hijriah, tapi sekarang ‘kan bukan tanggal itu. Puasa senin
kamis, ketika rasulullah ditanya seorang sahabat, itu waktu ketika malaikat
menghitung dan melaporkan amal-amal kita selama sepekan. Rasulullah ingin
ketika dihitung amalnya, beliau sedang dalam keadaan puasa,” Jon memulai
celotehannya.
“Tapi, puasa ini saya niatkan birrul walidain. Patuh
pada orangtua, sedangkan niatnya, lillahi ta’ala bukan sebagai pahala, murni
solidaritas kemanusiaan. Sih kemanusiaan apa?” tanya Jon pada jamaah. “Kemarin,
bu, ada bencana yang, subhanalloh, luar biasa ngeri di Filipina. Filipina sih
dimana? Wis pokoke jauh. Kita kalau
hujan besar saja sudah bingung ya bu, apalagi ini kena angin topan. Dan puasa
saya sebagai solidaritas itu, selain toleransi pada mereka yang miskin dan
kelaparan,” jamaahnya Jon ibu-ibu yang sami’na
wa atho’na pada para ustadz atau kyai, jadi akan susah menceritakan Filipna
itu dimana. Pokoke nang tv wes!
“Nah, sebelum saya lanjut, ada yang mau ditanyakan
dari jamaah?” pengajian Jon itu bukan pengajian ceramah, tapi tanya jawab,
diskusi. Dia tak bisa ceramah, bisanya diskusi.
“Begini, pak,” kata seorang wali murid. “Anak-anak
kok kalau pulang sekolah taruh tas seragam dan sepatunya suka seenaknya, apa di
dekolah tidak diajari?” tanya seorang wali murid.
“Em, ya, masukan bagus ini,” kata Jon. “Saya pernah
membiasakan itu waktu mengajar di kelas tiga. Tapi setelah diamanahi kepala
sekolah, saya memang belum membiasakan itu lagi. Nanti saya coba sampaikan ke
para guru agar mempraktekan pembelajaran itu,” kata Jon lagi. “Kebetulan ini,
pertanyaan tentang adab anak memasuki rumah. Saya boleh cerita, bu? Cerita diri
saya sendiri ini,”
“Monggo pak,
monggo…” kata jamaah.
“Sebelumnya, jangan melihat saya dalam keadaan
sekarang. Saya ini anak yang tidak kalah nakal dengan anak-anak jaman sekarang,
dulunya. Saya pernah tak naik kelas, rapot saya merah semua, juga pernah jadi
pemulung. Saat SMA, saya sekolah di SMA nakal, beberapa kali juga berantem di
sana. Tapi, bu, yang penting adalah doa orangtua, dan dekatkan anak-anak kita
dengan buku, kitab. Terlebih lagi qur’an, karena itu mengajarkan kita untuk
berpikir besar,” celoteh Jon.
“Bahwa qur'an
mengingatkan manusia untuk selalu berpikir besar. Great Minded. Berpikir,
karena itu jembatan antara predikat 'makhluk' (yg lebih dekat dengan binatang)
dengan manusia tertinggi : ahsani taqwim, insan kamil. Berpikir besar, karena
darisana terukur seberapa tinggi kualitas kemanusiaan kita. Ayat yang pertama
turun, 'Iqro, surah al alaq, tapi surah pertama dalam alqur'an, alfatihah. Alhamdulillah,
ayat pertama alfatihah. Segala puji untuk Allah. Pada siapa pujian dari mulut
kita tertuju? Dia cantik, tampan, indah, semua tertuju pada-Nya, manusia hanya
bayangan, yang keberadaannya nisbi. Hanya saja, terkadang pujian kecil kita itu
mandeg, tak diteruskan pada Ia yang maha indah. Ar rahman ar rahim. Bahwa
konsekuensi mengucap itu, maka si pengucap wajib pengasih&penyayang.
Penyatuan dari itu, rahman rahim, melahirkan 'hub', cinta, pada segala hal,
termasuk tragisnya dunia. Hanya, orang-orang awam seperti kita cukup berat
untuk sampai pada pemikiran itu, maka terbagilah : hubbun nas, hubbul alam,
hubbulillah. Malikiyawmiddin, secara harfiah, penguasa hari pembalasan. Wa la
taziruw wazirotuw wizro ukhro, seseorang tak memikul dosa orang lain. Wa lana
a'maluna, wa lakum a'malukum, bagiku apa yang ku 'hidupi', bagimu apa yang kau
'hidupi'. Ia maha adil. Fa mayya'mal mitsqoladzarotin khoiroy yarroh, tiap kita
akan melihat bahkan hingga bersitan pikiran baik/jelek di masa lampau, waktu yang
kita mungkin lupa bahwa kita pernah mempersangkai itu : pikiran baik/buruk.”
Waktu hampir menunjukan pukul
setengah enam. Seorang wali murid menyarankan, barangkali Pak One, seorang guru
– laki-laki – di samping Jon (ia mengajar kelas dua) akan menyampaikan sesuatu.
Jon memberikan mikropon-nya.
“Ibu-ibu,” kata Pak One. “Saya
terima kasih banyak atas kedatangan ibu-ibu pada pernikahan saya,
berbondong-bondong, ramai sekali, saya senang,”
“Nanti Nikahnya Pak Jon mesti lebih
ramai ya!” celetuk wali murid. Jon tertawa salah tingkah. Nampaknya ia akan
kena jewer tentang persoalan
pernikahan yang sedang disampaikan Pak One.
“Saya mohon maaf, baru bisa datang
ke pengajian ini,”
“Ya paham, kalau sudah ada istri
pasti betah di rumah,” celetuk jamaah lagi. Ibu-ibu memang sukanya meledek kaum
muda. Asem tenan.
“Pak Jon kok jadi tersipu-sipu
begitu?” celetukan lagi dari jamaah : tertawa. Si Jon tersenyum-senyum.
“Tenang saja ya pak,” kata seorang
jamaah. “Sekarang juga lagi ‘lihat-lihat’,” jamaah tertawa lagi. Si Jon gemetaran
: tambah mules.
Si Jon benar-benar kena ‘jewer’
sore itu.
Pengajian ditutup dengan doa
bersama.
Begitulah kehidupan Jon. selepas
pengajian, malam minggu, jika tak menghabiskan waktunya untuk nongkrong bersama
teman Madesu-nya, ia nonton film, atau menggubah lagu untuk siswa-siswinya. Lagu
Mars Slank dia gubah menjadi lagu semangat belajar. Lagu Twinkle Twinkle Little Star dia gubah jadi lagu sholawatan. Tapi ada
satu lagu yang ia tak bisa menggubahnya.
Lagu apa?
Aduh.. Senangnya pengantin baru…