"Siapa ini?" balasku.
"Temanmu," balasnya. "Bukan siapa-siapa," jawab yang satunya. Entah satu orang dengan beberapa nomor telepon, atau apa, entahlah.
"Siapa namanya?"
Bukannya membalas, tapi sebaliknya, mengirim sms kekacauan hati yang sedang mereka rasakan. Tentang hati, sebenarnya kita terkadang terlalu cengeng. Tapi, mungkin memang hati di desain oleh Yang Menjaganya, Fawllahu khoiron hafidzon wa huwa arhamu rahimin, Sang Mughodlibal qulb, menjadi sesuatu yang rapuh. Begitu banyak tulisan-tulisanku di masa lalu yang menceritakan ini. Jika sejenak kita menarik nafas panjang dan berpikir positif, tidak menjadikan diri kita sebagai 'Tuhan' yang seenaknya menentukan apapun yang diinginkan, maka akan kita temui beberapa 'alasan' mengapa itu terjadi. Tidak jarang memang, sesuatu terjadi seakan spontan dan 'kebetulan', ketika kita renungkan dalam-dalam, tak bertemu juga penyebab / alasannya. Terkadang, untuk mencari sesuatu yang dalam, kita harus menggalinya lebih dalam.
Alasan mengapa aku tak menyertakan nomor telepon di jejaring sosial adalah itu : 'teror'. Entah mengapa tangan sebagian wanita menjadi 'gatal' ketika melihat gambarku di jejaring sosial, plus 'keberuntungan' untuknya dengan menemukan nomor teleponku di sana. Dan mungkin itu adalah jalannya untuk mereka - para wanita kesepian yuriydullahu bikumul yusro wa la yuriydullahu bikumul 'usro. Ketika kau galau, sms-lah nomor ini. Hadeeh... Tega amat sih Tuhan. (hehe)
Sebagian wanita yang ternyata masih satu kota, saya minta untuk bertemu, mengajak walinya, agar tak timbul fitnah. Jika bertemu, aku ceramahi dia atau mereka bagaimana menjadi wanita yang baik, menjadi manusia yang baik, menjadi hamba Tuhan yang sewajarnya. Saya mencintai siapapun di sana, laki-laki atau perempuan, apapun kondisinya. Tapi saya tidak mencintai kelelakian dan keperempuanan saudara. Saya mencintai anda sebagai manusia, atau, sesama hamba-Nya. Dan ada perasaan bersalah yang begitu mengusik ketika saya tidak membalas Curhatan anda tentang 'anggapan' tragisnya hidup ini. Tapi, di sana akibatnya. Ketika mereka paham, oh betapa nyaman aku denganmu, maka mereka akan menganggap pelayananku itu sebagai 'hal' lain. Mengubah perasaan pasien dengan dokter menjadi perasaan keperempuanan.
Para pemimpin kita, tak bisa menjamin rakyatnya suatu kebahagiaan. Tak bisa memberikan kepastian, seseorang tak akan lapar, seseorang tak akan merasa kesepian. Sebenarnya, lebih wajar jika para manusia putus asa - para wanita itu misalnya, mengadu pada pemimpin mereka : lurah, walikota, presiden, atau, ulama. Dan sangat jelas, aku bukan salah satu di antara mereka. Dan aku bukan Nabi atau rasul, yang bisa menyampaikan aduan hamba-Nya lewat diri saya. Bagaimana mungkin saya ini warotsatul anbiya, wong ustadz saja bukan.
Jika sudah begitu, bingung-lah diri saya ini. Akan saya lanjutkan sms-sms tersebut, atau saya berhenti membalas? Jika berhenti, ada perasaan bersalah telah meninggalkan seorang hamba Tuhan yang sedang kecewa : bisa jadi jika tak ditolong ia akan lebih kacau. Jika membalas, maka akan semakin tumbuh 'perasaan yang lain'. Berbeda lagi jika, ada seorang istri di samping saya. Ia yang akan membalas sms-sms itu.
Dan tentang pertanyaan, "Siapa ini?"
Barangkali itu pertanyaan untuk diriku sendiri. Siapa saya, kok belagu menjadi teman setiap orang?