Ini adalah surat-surat yang Jon Quixote tulis untuk teman-temannya di sana.
"Assalamu'alaikum... semoga di sana seperti aku di sini, selalu berjuang membuat negeri ini lebih baik. Manusia Indonesia macam apa yang dilahirkan tidak mampu membuat negeri ini lebih baik? Ada yang berkata, hidup ini adalah pertarungan kekuatan moral antara orang-orang yang tak layak hidup. Karena manusia yang layak hidup, menginginkan hidup, ia akan mati muda atau, mati tua tanpa apa-apa. Jangan kau kira, hidupku disini menyenangkan dan nyaman. Saat aku masih muda, ketika kita masih berjuang di sana, pun aku tak pernah mengingkan itu : kesenangan dan kenyamanan. Kita merapikan trotoar untuk tidur, kita menyapa truk lampu merah untuk dipaksa mengantar kita, menaklukan hujan, meludahi panas matahari, mengejek rasa lapar, terus berjalan menuju apa yang kita impikan. Kau akan menjadi baik, kata seseorang, jika kau terus memikirkan dan berupaya di jalan itu. Kau akan menjadi merah, hijau, putih, ketika kau terus kontinyu keras kepala menuju sasaran itu. Terkadang, dunia seperti apa yang kita pikirkan. Jangan pikirkan merah, jika kita menginginkan putih, begitu pun sebaliknya.
Tentang kegagalan, bagiku adalah suatu kepastian. Keterpurukan bagiku adalah satu ketetapan, takdir. Ibarat bersin, kegagalan adalah bersin yang menyakitkan, membuat pusing, hidung tersumbat, mata merah, badan meriang. Tapi, barangkali, itu suatu keharusan. Ibarat keterpurukan adalah kentut, kita membutuhkannya meski tidak untuk hidung kita. Menyakitkan memang, serasa brengsek dan kurang ajar ketika itu hadir. Tapi, perjalanan muda kita, memberi satu pelajaran, bahwa kita memang terlahir bukan untuk jalan yang nyaman. Kaki kita tumbuh berjalan di tanah-tanah kotor, berkerikil, penuh lintah dan comberan. Kita tak bisa melawan takdir, mencekik memukul atau menggigit telinganya. Kita hanya bisa menyesuaikan bagaimana kita mampu untuk mengalir bersama itu.
Jangan remehkan sesuatu yang nampaknya sepele, semisal kegagalan yang serasa seperti kentut dan bersin. Bisa jadi, kerikil kecil di jalan itu, akan menjadi sebab kecelakaan lalu lintas. Secara langsung mungkin, mungkin, kita tak dirugikan saat kecelakaan itu terjadi. Tapi, bagaimana dengan keluarga mereka? Lagipula, teman, hidup ini bukan sebatas untung dan rugi. Ada nilai-nilai lain yang lebih tinggi, dan tak dapat terukur dengan takaran untung dan rugi. Tentu, berbicara tentang kerugian, siapa yang mau? Tapi lihat temanmu ini, keuntungan apa yang telah aku dapatkan setelah berjuang di sana? Tapi, apakah aku termasuk rugi? Tidak! Di sini, aku harus mendatangi pintu-pintu emas untuk mengetuk pemiliknya, apakah mereka mau bergabung dengan jalan itu, jalan yang tak pernah rusak karena selalu diperbaiki, menuju kebaikan universal, kekal. Mendatangi satu per satu, layaknya pengemis, untuk tujuan itu, mengangkat manusia-manusia yang terbuang, tak terperhatikan oleh para raja, teranggap sampah. Siapa dari kita yang rela menjadi pengemis? Bahkan pada Tuhan pun kita tak akan pernah mau menjadi pengemis, karena Ia memang menciptakan kita bukan untuk itu. Kita dibekali akal, hati, telinga dan mata untuk bekerja dan mencermati. Mengapa harus aku, seringkali aku berpikir begitu.
Mengapa tidak aku saja yang menjadi si kaya, lalu aku menyisihkan sedikit hartaku, untuk mereka. Ada garis takdir apakah hingga kita hidup di jalan seperti ini? Apakah berlaku, kehidupan yang sangat lalu, bahwa kita begitu berdosa hingga tertakdir menjadi pelayan manusia? Kita tidak membicarakan Tuhan, teman, kita membicarakan kehidupan kita, manusia. Tuhan macam apa yang dengan tega meninggalkan ciptaan-Nya, sedang Ia hanya menyaksikan dari kejauhan nun tinggi disana? Tuhan seperti itu akan kita tembaki, kita lempar ketapel, tarik kolor-Nya yang panjang, lalu kita pukuli sama-sama. Tuhan bukan seperti itu, bukan?
Aku datangi pintu-pintu mereka untuk mengemis, karena memang saudara dan bapakku itu tak akan ku andalkan. Aku tak bisa mengandalkan bapakku itu, sehebat apapun beliau menjadi penderma. Karena, laysal fata may yaquwlu kana abi, wa la kinnal fata may yaquwlu ha anadza! Seorang pemuda bukan ia yang berkata, 'Ini bapakku (secara keturunan ataupun lembaga)', tapi seorang pemuda adalah ia yang berkata, 'Inilah dadaku!' Aku bisa mengandalkan kakakku, sebagai saudaraku. Tapi tak mungkin bisa mengandalkan satupun kader partai itu, ataupun kader partai apapun di negeri ini. Mereka masih saja berseragam, enggan 'telanjang' ketika menyatu dengan masyarakat awam. Mereka merasa raja, dan itulah seragam yang mereka kenakan dimanapun mereka berada. Aku bisa merasakan hawa seseorang yang berada di dekatku, dan dengan itu aku merasakan - tanpa berburuk sangka, kami bisa berhubungan, tapi akan sulit rasanya jika harus menjadi teman. Karena, kita terlahir untuk saling mengenal, terhubung, membangun kehidupan yang semakin hancur. Inna kholaqnakum min dzakairiw wa untsa wa ja'alnakum syu'ubaw wa qoba'ila lita'arrofu. Bagaimana dengan pertemanan? Yawma la yughniy mawlan 'ammaw lan syai'aw wa la hum yunshorun illa marrahimallah. Akan datang suatu hari, ketika tidak ada lagi hubungan pertemanan, kecuali yang terahmati Tuhan. Karena teman, adalah mereka yang saling mengenal karena keyakinan (iman). Dan aku harap, itu kita.