Jon terbangun di tengah malam. Ia nampak stress, begitu
banyak pekerjaan kedinasan yang harus ia kerjakan sendiri. Resiko menjadi
seorang Jon memang demikian. “Seorang pemimpin bukan hanya ia yang menjadikan
seekor ayam menyadari sejatinya seekor ayam, tetapi juga, terkadang keadaan
memaksa seekor ayam itu agar terbang layaknya Elang. Dan seorang pemimpin harus
mampu melakukan itu : mengubah bentuk dan kesadaran.
Ia tipikal anak muda yang kesabarannya sudah dol (rusak parah, B. Jawa). Bukan berarti
ia tak memiliki kesabaran lagi, melainkan ia tak pernah membatasi kapan ujung
kesabaran itu berakhir. Menunggu, menanti, terus menerus bersabar mendidik
orang-orangtua yang dijaganya. Mendidik
anak-anak lebih mudah daripada orangtua. Mengapa? Kesombongan telah mengakar
kuat di hati mereka. Karena, penjara yang paling mengerikan bukanlah Guantanamo
atau Digul, tapi penjara yang batas jeruji-jerujinya tak jelas terlihat.
“Mengapa manusia bisa sedih?” tanya ia suatu saat kami
memancing di pinggir sungai.
“Kalau tidak ada kesedihan, mana bisa kita merasakan
kesenangan? Kita tahu manis ‘kan karena pernah merasakan pahit,” jawabku
sekenanya.
“Bukan, bukan,” ucapnya. “Baiklah, jika memang kesedihan
harus ada. Tapi mengapa rasa sedih terkadang begitu menyakitkan? Apakah karena
manusia selalu mengharap kesenangaan dan terbiasa dengan rasa senang? Apakah jika,
manusia telah mampu menghentikan harapannya akan kesenangan, ia akan lepas dari
kesedihan?”
“Budha, maksudmu?”
Ia diam.
“Manusia-manusia – hina – seperti kita ini tak akan berharga
tanpa adanya persoalan-persolan (rumit),” keluhnya.
“Tapi, Jon, sesedih apapun manusia, dunia ini memang boleh
melukai perasaan kita, tapi tak boleh sampai mengubah diri kita sebenarnya –
menjadi jahat sekalipun hanya dalam pikiran,”
Hidup temanku yang satu ini tak mudah ditebak. Ia seorang
pendidik, bahkan dalam usia mudanya ia sudah memiliki ‘status sosial’ di
masyarakat. Tapi kelakuannya seperti anak kecil, jalan kaki tak bersandal,
memakai kaos partai tipis yang terkadang terbalik, sangat amat pendiam, seperti
agen rahasia yang sedang menyamarkan diri di tengah masyarakatnya. Orang-orang
lebih tahu, bahwa Jon hanya pemuda pendiam yang tak bisa apa-apa – seperti yang
mereka lihat sehari-harinya.
Tapi barangkali, ia seperti nyala api, bahwa urip iku urup. Hidup ini harus ‘menyala’,
menerangi segala apa yang ada di sekitarnya. Bisa jadi, di masyarakat ia diam,
karena masyarakat tak menyukai orang-orang yang
banyak bicara. Seperti pepatah lama leluhurnya, lamun sarwa putus,
kapinteran simpenen ing pungkur, bodhonira ing ngarsa yekti, gampang traping
tindak tanduk, amawas pambekaning wong. Ia belajar untuk terus menghayati Waqshid fii
masyyiq waghdudl minshowtik. Seperti
nasehat guru mengajinya, dulu, dulu sekali saat ia masih mengaji : Jaman
sekarang susah cari orang bodoh, karena orang-orang bodoh mengaku dirinya
pintar. Setelah lulus nanti, jadilah orang yang pura-pura bodoh – saja. Tapi ketika
ada persoalan pelik, cepat-cepatlah kamu selesaikan. Sederhanakanlah jalanmu,
santunkanlah lisanmu. Jalan perjuangan, lisan pemikiran.