Seperti rutinitas tiap hari Sabtu sore, Jon berniat mengisi
pengajian orangtua siswa dan guru dengan tema ‘dolanan jawa’ : cublek-cublek
suweng, lir ilir, mentok-mentok tak kandani, sluku-sluku bathok, dll. Tapi,
satu jam sebelum ia berangkat, sms dari kakaknya – mantan kepala sekolah yang
sedang Jon pimpin, masuk. “Jamaah dikasih ke ustadz Nur saja. Kamu bukan bidangnya – bukan ustadz (!),” lalu Jon balas
dengan singkat. “Ok,”
Demikianlah hidup Jon. ia menjadi keledai yang siap direndahkan siapapun, melayani siapapun atau
apapun, tanpa ada yang mempercayainya atau memahami kehendaknya. Bukan hanya
untuk mencerahkan masyarakat, sekolah yang ia pimpin saja, kakaknya meridoi
karena tidak ada orang bodoh yang mau dikorbankan selain dia. Si Jon diberikan
amanah, tapi tidak dengan kepercayaan bahwa ia mampu dititipi amanah itu. Tapi,
barangkali itulah dia. Jon Quixote bukan Jon Quixote, jika ia hidup ‘normal’. Ia
menjadi keledai Tuhan, yang
kaki-tangan-lehernya terbelenggu tak mampu mengejar apa yang ia inginkan dalam
hidup ini. Orang bijak berkata, hidup
adalah pilihan. Tapi bagi Jon, hidup adalah keharusan. Keharusan melakukan
apa yang memang seharusnya meski itu mengebiri keinginan pribadinya. Fa la nafsiy illa huwa. Bukan keinginanku
(Jon), tapi Dia. Ia serasa menjadi keledai
yang ditungganggi Tuhan dalam wujud apapun, tapi setelah ia menoleh, ingin
tahu siapa yang menungganginya, ia tersentak bahwa yang menungganginya adalah
dirinya sendiri.
Di depan rumah ustadz Nur, Jon berbincang sambil menunggu jam
5 – saatnya tausiyah.
“Kamu dengar ceramah ustdz tadi – di dekat rumahnya ada
pengajian warga NU? Hihi, kosong betul apa yang disampaikannya. Dikiranya ia
dan organisasinya-lah yang paling benar. Selain organisasinya adalah wahabi,
muhammadiyah,” ustadz Nur juga orang NU. Bahkan, keluarganya adalah tokoh NU di
desa tersebut. Adiknya, memiliki majlis taklim dan pesantren NU. Tapi,
demikianlah receh ulama-ulama di
desa. Sesama keluarga tapi suka
bertengkar. Betul, bahwa tidak ada satu keluarga pun yang bahagia tanpa
konfilk. Tapi jika lebih suka berkonflik daripada berdamai ‘kan, itu bodoh.
“Sekarang sudah memanas suhu politiknya. Kakakmu itu, yang
dari PKS – beliau mendukungnya, sedang difitnah besar-besaran. Kemarin saja,
ada yang bilang kakakmu itu kunyuk (monyet)
sarungan (memakai sarung),” idiom
untuk umat muslim yang ‘wahabi’. Padahal, kakak Jon dan keluarganya adalah ‘hijau’.
“Sebenarnya,” kata Jon sambil menyalakan rokok black
filter-nya, “Hasyim Asy’ari (pendiri NU) dan Akhmad Dahlan itu satu guru,” Jon
menghembuskan nafas terakhirnya. Eh? Salah salah. Maksudnya menghembuskan asap
rokoknya (hehe). “Setelah berguru pada Syekh Nawawi Al Bantani, mereka berguru
pada Syekh Kholil Bangkalan, Madura. Soekarno saja ia Muhammadiyah, tapi peduli
pada warga NU meski ia berguru pada Ahmad Hasan, Persis,” Jon berceloteh.
“Ah, ya, A. Hasan, Ahmad Hasan.” Ucap Ustadz Nur sembari
mengunci pintu rumahnya.
“Kyai Akhmad Dahlan sendiri, ia masih keturunan Sunan Prapen
alias Sunan Giri IV. Ulama yang paham, tak berkonflik untuk urusan sepele
beginian – partai, tapi yang receh ‘kan
kelihatan mereka bodohnya. Kalau menurut saya, tanda kita benar adalah, ketika
kita baik lalu banyak orang yang membenci,”
Ustadz Nur diam.
“Dukungan pada kakakmu semakin besar. Bisa jadi, ke depannya,
akan semakin besar fitnah dan celaan masyarakat awam padanya,” kata beliau. “Udah?
Hayu, berangkat,”
Jon menyalakan motornya. Ia yang menyetir. Di perjalanan,
mereka dialog – Jon sudah pensiun naik
motor kenceng-kenceng.
“Jamaahnya banyak?” tanya ustadz Nur.
“Lumayan, tadz. Sekitar 30-an,”
“Wah, lumayan ya. Setiap minggu atau sebulan sekali?”
“Tiap minggu kita bergilir. Sabtu sore,”
“Kok rajin ya? Ada pembagian sembako atau amplopnya?” sebagian
masyarakat memang enggan mengaji jika tanpa ‘penyumpal mulut’.
“Hehe, engga ada, tadz. Saya juga bersyukur, bisa mengajak
mereka untuk belajar agama bersama,”
“Biasanya siapa yang mengisi?”
“Saya, tadz. Cuma saya engga enak, barangkali mereka bosan. Sebenarnya
‘kan saya yang muda ini yang perlu dinasehati, bukan malah saya – anak muda –
yang menasehati orang-orang tua,” kata Jon melenguh. “Tapi ada satu tema yang
engga bisa saya berikan,”
“Apa itu?” tanya ustadz Nur.
“Tentang pernikahan, berkeluarga. Karena saya belum
berkeluarga, hehe,” Jon ngekek.
“Yaa.. sebenarnya boleh saja, toh ilmu kamu juga sudah
mumpuni,”
“Tapi ‘kan, nanti saya melanggar surah ash shaff ayat dua dan
tiga, tadz?”
“Itu ‘kan tafsir. Jika memang masyarakat paham apa yang kamu
sampaikan, meski kamu belum mengalaminya, itu tanda ilmu itu sudah menyatu
dengan hidupmu,”
Perjalanan pun hampir sampai. Mereka baru saja akan memasuki
gang, tempat rumah pengajian diadakan.
“Jon! Bentar bentar!” teriak sang ustadz.
“Ada apa, tadz?”
“Ini bukan di rumahnya pak anu
‘kan?”
“Hehe, iya, tadz. Di rumahnya pak anu – yang disebut ustadz. Kenapa,
Tadz?”
“Aduh! Balik, balik! Nanti tak
certain sambil jalan pulang,”
Si Jon mengiyakan. Ia seekor
keledai yang tak mau membebani siapapun, seperti orang-orang membebani
hidupnya. Saat di perjalanan.
“Dulu,” cerita sang ustadz. “Saya pernah ribut dengan pak anu,”
“Ribut masalah apa, tadz?” tanya Jon.
“Masalah duit, bayar pakan ayam yang ditunda-tunda. Pak anu
beli pakan ayam, terus saya minta duitnya – bayar, dia bilang nanti nanti
terus. Akhirnya ributlah saat itu,” cerita sang ustadz lagi. “Selain itu, dulu
waktu saya masih bujang, sering nongkrong di warung kopi anaknya, si fulanah. Ya
ampun Jon, dia cantiiiik sekali saat itu, mirip Nurul Arifin,”
Si Jon menggigit bibirnya, menahan gelak tawa yang sebenarnya
ingin meledak.
“Sampai neneknya, yang tentanggan sama ibu saya, bilang ke
ibu, ‘Anak kamu suka sama cucu saya kok ndak
bilang-bilang. Mbok ya bilang,
biar bisa disatukan,’ saya ‘kan serba salah. Kalau saya bilang suka, keluarga
engga akan beri restu (keluarga si fulanah tidak
sederajat), kalau saya bilang tidak suka, ya ampun, saya engga bisa
membohongi diri sendiri,” sang ustadz Curcol. “Malah waktu ada laki-laki,
namanya Genu, yang suka sama fulanan, saya marah-marahin dia. ‘Kamu kok suka
sama si Genu?! Dia itu gembrot, bla bla bla…’ tapi, yah, mereka tetap saja
menikah,”
“Emmm… begitu toh,”
Jon mencoba memahami.
“Jadi maaf banget ya,
Jon. saya jadi engga enak ini,” kata sang Ustadz. “Jangan bilang siapa-siapa
ya?”
“Engga. Aman.” Si Jon memang penyimpan rahasia orang. Tapi ia
tukang ngomongin watak orang, tanpa
menyebut nama orang tersebut.
Kemudian Jon kembali menuju pengajian itu. Di jalan, kakaknya
sms, “Jadi mengundang ustadz Nur?”
“Jadi, tapi tadi di tengah jalan dia mules katanya. Insya Allah
minggu depan,”
Dalam benak Jon, ternyata ustadz juga manusia. Memiliki kisah ajib tentang cinta. Jika Jon yang jadi
ustadz Nur, ia akan mempertemukan dua pihak keluarga, keluarganya dan keluarga
gadis yang ia suka. Sekeras apapun watak orang tua, bapak, yang tak menghendaki
menikahi dengan kasta waisya / sudra,
akan sekeras itu pula Jon mencari jalan. Sayangnya, ssatu-satunya kendala yang
ia hadapi adalah, kakak perempuannya yang belum nampak ingin menikah – meski sudah
cukup berumur. Itu mengapa, tadi saya
katakan, si Jon itu keledai yang
kaki-tangan-lehernya terbelenggu tak mampu melakukan apa yang ia inginkan. Berkarir,
kaya, menikah sebelum kakaknya. Pecundang si Jon itu. Bah!
Bacaan selanjutnya
Qutiba Alaikumul Qital Berhala ka'bah yang melarikan diri
Bacaan selanjutnya
Qutiba Alaikumul Qital Berhala ka'bah yang melarikan diri