The
Pilgrimage (P.Coelho), Platon (Whitehead), The Rule of Life & Love (Richard
Templar), hanya dihargai 20ribu/buku. Wanita (tidak) seperti buku, mereka yg
berkualitas tak akan dimengerti orang banyak/orang umum, hanya sedikit orang yg
mendekati. Wanita (buku?) yg paling baik, 'dibeli' dengan harga mudah (bukan
murah!). Tapi, tidak seperti buku yg tak bisa menolak ketika hendak dibeli
seseorang yg memahaminya, wanita bisa. Dalam hal ini, aku tak mengerti siapa yg
rugi.
Minggu
pagi, baru saja makan dua suap, panggilan datang. "Bantuin bapak servis
diesel. Temen kamu ada yang bisa 'kan?" waduh, pagi-pagi begini, mereka
masih pada molor kali. Tapi baiklah, sami'na wa a'tho'na ya abi.
Saya telepon teman, ternyata ia mengiyakan - meski ternyata ada maksud
terselubung (hehe).
"Jam
8-an aja, sekarang masih pagi," katanya.
"Oke.
Oke. Tapi, diesel-nya tak bawa kesana dulu yak?"
"Oke,"
Setelah
sampai rumahnya, ternyata, "Bisa anterin gua ke kabupaten nggak? Mau las
besi nih," (Pantesaaan... dia mau pagi-pagi,hehe)
"Emh,
ya insya allah. Paling rada siang, soalnya ini gua bawa dulu sih ke
proyek,"
"Proyek
apa?"
"Skiptank
komunal,"
"Emh,
kalau ini gua beresin langsung, kita bisa lebih cepat berangkat nggak?"
niat terselubung!(hehe)
"Hadeh,
ya udah deh. Tapi gua mandi dulu yak?" jawab saya.
Teman
saya ini unik, tiap saya servis tak mau dibayar. Makanya saya sering bingung
kalau mau main, mau bawa apa buat cemilan disana, anaknya tak merokok pula.
Saya belajar banyak dari dia, tentang kesederhanaan hidup dan keikhlasan (juga
kekonyolan hidup).
Selesai
bongkar pasang mesin diesel, niat 'terselubung' keduanya muncul, "Nanti
ajarin gua bikin Selai Jeramiyak?"
makanan berprotein tinggi untuk binatang ternak : ayam, bebek, entok, kambing,
sapi.
"Iyeee
ah, pantesan mau langsung benerin," canda saya.
Kami
jalan-jalan sampai siang ke kabupaten. Masuk gang-gang kecil, gang buntu,
nyasar, pokoknya jalan-jalan. Sekalian mencari jalan akternatif, barangkali kejar-kejaran
sama polisi gara-gara saya tak pernah mau pakai helm (jangan ditiru!hehe). Helm
membuat kepala saya pusing, berat. Duhur kami pulang, istirahat, dan janjian
sore berpetualang lagi : cari buku.
Saya
baru ingat, saya ada sedikit uang. Karena saya bukan tipe orang yang suka
nongkrong menghabiskan uang, saya sering gunakan buat beli buku. Untuk anak
muda desa seperti saya, kebiasaan ini aneh, tak umum. Karena, desa bukanlah
tempat yang 'cocok' untuk para penggila buku, bukan tempat yang 'cocok' untuk
para manusia cerdas yang tak ingin kaya. Tentang jajan makanan, saya lebih suka
makan di rumah, masakan ibu, atau mungkin sebentar lagi, my
lovely wife :
entah siapa dia. (hehe)
Dulu,
saat masih kuliah, banyak teman yang tanya, "Kamu kok bisa ya nemu buku
yang sederhana tapi bagus-bagus?"
Apa
jawab saya?
"Kalau
mau beli buku, kenalan dulu, tanya hati kita yakin tidak dengan buku yang mau
kita beli itu. Kover banyak yang menarik, tapi kualitas tak terukur dari
sana,"
Aku
pikir ada kesamaan antara memilih buku dengan wanita (maaf ya, jika
tersinggung,hehe). Sore itu aku beli empat buku, The Pilgrimage
(P.Coelho), Platon (Whitehead), The Rule of Life & Love (Richard Templar),
hanya dihargai 20ribu/buku. Murah sekali?!! Tapi, mengapa buku-buku cantik seperti ini tak diminati banyak
orang? Jawabannya? Buku yang baik hanya untuk orang-orang yang baik (mirip
jodoh, bukan?hehe). Kualitas diri seseorang bisa terbaca dari buku yang
disukainya.
Mari,
aku ceritakan tiga wanita yang pernah menjadi mimpi saya. Bukan sebagai appologize atau penyesalan, sungguh -meski
tentu saja anda boleh tak percaya, tapi sebagai pelajaran hidup.
Dua dari
tiga wanita itu, saya ingat bagaimana sebuah awalnya. Tapi satu di antara
mereka, saya nyaris lupa bagaimana hingga kami bisa saling, katakanlah,
'terhubung'.
Perempuan
pertama, saya mengenalnya saat SMA kelas satu semester dua, lewat MIRC. Saya
anak kampung pantura, dia gadis priangan sana. Kami terpaut jauh, atau
katakanlah, long distance love. Saya
masih ingat saat saya pertama 'mengganggunya', malam Jumat, iseng menanyakan
kabar. Saya kira sms itu mengganggu, tap ternyata? "Engga, malah Dee (bukan
nama sebenarnya donk,hehe) seneng aa sms (eaaaa...hehe)," Dari sms itu,
kami mulai sering sms-an. Senyawa pun mulai terikat. Dan mulailah, kemampuan alien -metafisika- saya
terbukti.
Saya
sms, "Aku lihat kamu di mimpi boncengan sama cowok, aku harap itu saudara
kamu ya?" (sms telah diedit,hehe)
"Aa
maaf, Dee kemarin jatuh dari motor, jadi pulang sekolah sekarang di antar teman
yang satu jalur, Dee bonceng. Maaf ya Aa (eaaaa...lagi.hehe).
Jatuh
cinta itu sungguh nikmat. Jatuh cinta bukan sebuah dosa. Dunia ini penuh
'lubang' kesalahan dan, katakanlah, dosa, tapi Tuhan tidak melarang kita dalam
semua hal. Ia hanya memberikan peringatan, rambu-rambu, bahwa sekalipun
'jebakan' itu nikmat, tapi engkau (manusia) akan menderita jika terus menerus
di dalamnya. Dan datanglah para rasul, agar memberikan kejelasan yang lebih
terang, mana yang boleh dan mana yang tidak. Tapi, keputusan mutlak di tangan
masing-masing manusia. Ia yang berbuat, ia-lah yang akan menanggung akibat.
Apapun itu.
Akibat
dari cinta pertama itu apa? Ketika seorang wanita diberikan pilihan kepatuhan
pada orangtua atau cinta individunya, saya lebih setuju agar ia mematuhi
perintah orangtuanya. Mengapa? Mereka telah berkorban begitu banyak, sedangkan,
katakanlah, kekasih, ia baru dikenal beberapa tahun. Betul, kebijaksanaan ini
sangat berat, pahit. Tapi demikianlah hidup. Jatuh cinta terasa manis, tapi
ketika ia pergi akan terasa sangat pahit. Manis dan pahit, begitu kata kopi.
Manis adalah rasa pahit dalam kadar terendah. Pahit adalah rasa manis dalam
kadar tertinggi. Pelajarannya? Sesuatu yang berlebihan, cenderung jelek.
Perempuan
pertama, dijodohkan orangtuanya dengan seorang insinyur ITB (Ooohhhh...hehe).
Awalnya depresi, bukan karena ia yang menikah dengan orang lain, tapi juga karena
mendapat seseorang yang, 'wow', kelas atas. Tapi, ketika kita bercermin dan
dalam cermin itu kita jelek, jangan salahkan cerminnya. Kesalahan ada dalam
diri kita sendiri. Pada akhirnya, meski membutuhkan waktu yang cukup lama, saya
memahaminya. Hanya orang-orang yang sakit jiwa/batin yang merasa senang melihat
orang sedih, dan merasa sedih melihat orang dalam kesenangan. Hanya orang yang
sangat sial, yang tertinggal apa yang ia cintai, plus tak dapat melihat 'makna' di
balik itu.
Benar,
rasa pahitnya hidup terkadang sangat lama hilangnya. Dia, alasan mengapa saya
kuliah 'di sana'. Bahkan, sampai tiga tahun setelah itu, rasa pahitnya masih
berbekas. Dan di awal kuliah-lah, saya baru menemukan 'rasa manis' kedua :
wanita kedua.
Wanita
kedua, saya membayangkannya sebagai seorang yang amazing.
Saya satu kelompok saat ospek kampus dengannya. Anda tahu anda sedang jatuh
cinta, ketika hati anda merasa aneh-aneh-bahagia ketika melihat matanya. Tapi,
karena saya orang yang belagu (belaga dan ragu-ragu,halah!he), saya berjanji
tak akan menemuinya sebelum saya memiliki karya. Itu, saya anggap sebagai
pembelajaran dari cinta pertama. Saya bukan apa-apa tanpa karya, maka saya
berusaha keras untuk menciptakan karya : buku. Selama selang dua tahun, bahkan
hingga ia lupa wajah saya (wajah saya memang tipe wajah yang mudah
dilupakan,hehe), saya beri dia dua buku perdana saya. Sialnya, ia ternyata
mahasiswa super sibuk, dan saya mahasiswa yang sok sibuk (hehe). Saya titipkan
buku itu di seorang temannya, karena saat itu saya sedang kerja jaga Warnet.
Mengapa buru-buru? Ketika anda mencintai seseorang, ketakutan pertama adalah ia
akan direbut oleh orang lain. Kedua, tak dianggapnya. Ketiga? Terserah anda.
(hehe)
Terhitung,
hanya dua kali saja kami bertemu, dan itupun sangat singkat. Dan tentu itu
tidak cukup, untuk proses saling mengenal. Kami ada dalam satu kampus, tapi
bertemu pun begitu susah. Ia pernah mengamini puisi tentang takdir yang
menyatukan dua jiwa. Ia juga pernah (mungkin) menjanjikan pertemuan untuk
membahas persoalan itu : cinta. Dan beberapa (mungkin) janji yang pernah ia
katakan. Tapi, barangkali ia lupa. Saya bukan anak muda kejam yang tak tahu
aturan pertemuan antara laki-laki dan perempuan yang, katakanlah, mengerti
agama. Betul, beberapa sahabat menganggap saya liberal, atau bahkan 'sesat'
dengan pemikiran yang (sebenarnya tak begitu) rumit. Tapi, se-sesat apapun,
saya paham dengan siapa saya bicara. Kecuali, dengan cinta kedua saya itu yang
tak pernah memberi kesempatan bertemu. Dan akhirnya, satu tahun setelah saya
lulus, seperti yang saya bayangkan sebelumnya, ia menikah dengan laki-laki lain
-saya tulis dalam esai 'alhamdulillah'. Sekali lagi, saya bercerita bukan untuk
mengajak pembaca bersimpati atau menunjukan cengengnya diri saya. Rasanya tak perlu
saya ceritakan kehidupan jalanan yang saya alami, agar kata 'cengeng' itu bisa
ditanggapi dengan kisah jalanan tersebut.
Ketika
komunikasi terputus dengan wanita kedua, saat masih di tingkat tiga, saya
anggap dia sudah memiliki calon suami karena sangat jarang menanggapi sms, saya
aktif menjadi relawan sosial. Di sana, ketika komunikasi dengan perempuan kedua
ini benar-benar buruk, saya bertemu dengan wanita ketiga. Saya lupa bagaimana
awalnya, hanya saja masa itu benar-benar fase 'teraneh' yang pernah saya
rasakan.
Saya
menyebutnya dalam novel yang sedang saya tulis sebagai, 'Gadis Ar Rahman'
(jangan tersinggung ya, kalau mbak baca ini,hehe). Seorang perempuan yang ingin
mendapatkan mahar (mas kawin) 'hanya' hafalan surat Ar Rahman dari calon suaminya.
Saya tidak menjamin itu, saya hanya berkata, akan membantunya menyelesaikan
skripsi (karena sudah cukup lama ia kuliah) dan barangkali -jika skripsi
selesai- kami berjodoh. Tapi, karena berbagai alasan keluarga yang tak mungkin
saya memaksa, hubungan itu berakhir dengan dialog antara saya dengan ibundanya.
Bahwa saya tak bisa memberikan jaminan kapan akan meminang putrinya, karena
saya masih memiliki kakak perempuan yang belum menikah. Saya harus menunggu.
Dan akhirnya, setelah saya memberikan tiga buku (saat itu tiga buku sudah saya
tulis), kami bersepakat bersama tidak bisa melanjutkan cinta itu. Ia menikah
dengan seorang yang beruntung di tahun 2012. Cerita lengkapnya, akan ada di
Novel saya selanjutnya. Apakah saya pacaran? Jatuh cinta tak harus pacaran.
Bertemu dengan orangtuanya, itu baru harus.
***
Di
perjalanan ke toko buku sore lalu, bayangan mereka teringat. Sama sekali tidak
memberatkan. Rasa pahitnya sudah tak begitu terasa. Kebiasaan 'berbelanja'
buku, aku dapatkan dari sana, tempat kuliah. Dan tempat belajar itulah yang
mengajarkanku begitu banyak kebijaksanaan hidup. Jadi, barangkali tak aneh
ketika menuju tempat buku-buku itu, aku memikirkan mereka : dan mendoakan
semoga selalu diberkahi dan bahagia.
Saat
memilih buku-buku sore itu, pikiranku mengajak dialog. Mengajak berbincang
tentang, ah, mengapa harus wanita yang di-seperti-kan buku?
Wanita
(tidak) seperti buku, mereka yg berkualitas tak akan dimengerti orang
banyak/orang umum, hanya sedikit orang yg mendekati. Wanita (buku?) yg paling
baik, 'dibeli' dengan harga mudah (bukan murah!). Tapi, tidak seperti buku yg
tak bisa menolak ketika hendak dibeli seseorang yg memahaminya, wanita bisa.
Dalam hal ini, aku tak mengerti siapa yg rugi.
Katanya,
wanita paling berkah adalah yang paling mudah maharnya. Dan laki-laki paling
baik adalah yang tak pernah marah -berbeda dengan cemburu. Tapi, semahal apapun
buku, ketika sesorang ingin, ia pasti akan berusaha membelinya. Berbeda dengan
wanita, semakin ia berkualitas dalam hal agama, mungkin ia semakin mahal di
hadapan Tuhan -tapi tidak pasti ia 'jual mahal, ia akan semakin paham seperti
apa (awal) berkeluarga yang seharusnya. Tapi, buku-buku bagus belum tentu
diketahui oleh penjualnya. Tidak seperti wanita, yang pasti diketahui oleh
orangtuanya, bahwa ia memang berkualitas dan jangan sampai 'jatuh' pada orang
kurang ajar (barangkali saya,hehe). Jika buku boleh kita miliki dalam jumlah
yang banyak, maka istri cukup satu -untukku. Barangkali, memang ada
satu-satunya buku yang harus terus dimiliki manusia sampai mati. Buku apa itu?
Kitab suci.
Seperti
wanita-wanita di atas, mereka ku anggap suci, seperti wanita lainnya. Sama
sekali tidak ada rasa benci atau dendam. Aku belajar banyak dari sejarah, bahwa
demikianlah hidup. Sebaliknya, semakin seseorang benci padaku, semakin cinta
aku padanya. Bukan mencintai diri-individualnya, tapi kemanusiaannya. Sampai
saat ini, aku masih mencintai mereka, tapi bukan dalam wujud diri-individu,
melainkan manusia, hamba Tuhan, seperti cinta saya apa apapun. Anda boleh tidak
percaya, bahwa saya sudah tidak merasa sakit dengan, katakanlah,
kegagalan-kegagalan itu. Tapi, air yang tak mengalir, lebih sering tak berguna.
Biarkan mengalir dengan baik semua kenangan itu. Pelajari masa lalu -sejarah,
lalu maju. Lihatlah manusia-manusia dalam sejarah. Ratu Bilqish tetap saja
mati, meskipun ia sangat cantik dan berkuasa. Zulaikha dan Yusuf, juga tak
abadi. Bahkan Rasulullah dan Sang Humairah-nya, juga tak
abadi. Kebencian tak akan membuat kehidupan semakin baik. Sebaliknya, hanya
cinta yang bisa.
Curcol mas afa kaya gelombang di laut pasang surut melulu :D
ReplyDeleteOkelah kalo begitu... Saya jadi pembaca baru blog anda nihhh ^_^
hihi,, menandakan kalo sayah masih manusia (belum sepenuhnyah jd alien,wkwkwk).
ReplyDeletehaturnuhun bu dosen,,hehe