Hampir
dua minggu ini, rasanya malas sekali berangkat sekolah. Beberapa kali
mengheningkan diri, mencoba mencari apa penyebabnya – biasanya ku tahu, tapi
ternyata tak kunjung temu. Bayangan-bayangan maut ketika melakukan perjalanan,
semakin menjadi. Tapi, selalu saja, aku katakan pada diriku sendiri : Aku lebih
memilih mati sebagai seorang pemberani, daripada menjadi manusia yang memilih
kenyamanan sebagai pecundang.
Dua
hari kemarin aku main ke saudara. Beliau ahli menggambil gambar, syuting. Rencananya, sekolah mau bikin
film pendek. Selain buat pembuktian ke masyarakat – bahwa sekolah yang kalian
hina adalah sekolah hebat, juga sebagai bahan pertimbangan donatur, hadiah ‘Ultah’
RI Agustus nanti (tema film-nya nasionalisme), terakhir untuk dilombakan dalam
film indie.
Tadi
pagi, siswa yang tetap berangkat, aku ajak untuk main sulap. Sebenarnya,
sekolah lain sudah bebas. Untuk menghibur mereka – agar ke sekolah tak sia-sia,
aku pertunjukan beberapa sulap. Pertama membakar tissue yang kemudian menjadi
uang, lalu botol kaca yang airnya tak tumpah saat ku balik. Mereka cukup
terhibur, aku senang. Sekitar seminggu lalu, saat aku main ke dosen di Bandung,
beliau memuji : Sekolah kamu hebat, punya kepala sekolah yang serba bisa. Bikin
film, sulap, trainer, inspirator, penulis, public speaking, pekerja keras,
intelektual muda. Aku tertawa : biasa saja. Aku tak merasa seperti itu,
sedikitpun. Yang aku tahu adalah, tak ada seorang pun yang bisa membatasiku
selain aku sendiri. Selalu belajar untuk menghapus mainstream : pendapat diri yang mengakar kuat. Belajar hidup tanpa
mainstream apa-apa. Ketika harus melakukan
kebaikan bukan untuk / karena apa-apa. Orang-orang yang hidup dalam kerja
keras, perjuangan, kebaikan : tanpa berpikir imbalan apa-apa. Sakit sekali
rasanya, ketika fase penghancuran diri itu terjadi. Prosesnya sangat amat
menyakitkan, terlebih lagi untukku sebagai pemuda lemah. Ketika hidup menyiksa kita melampaui makna, alasan hidup, pikiran
dan perasaan. Hidup macam apa yang seperti itu?
Entahlah.
Kini aku mulai jarang baca buku. Baca qur’an pun, hanya
ayat-ayat qur’annya saja, tidak ku baca terjemahannya. Ada perasaan misterius
ketika membaca ayat qur’an dilanjut terjemahannya. Imajinasiku melayang, seakan
mencoba menggapai tingkatan-tingkatan makna yang terkandung di dalamnya. Membaca
buku pun, novel-novel Pram, misalnya : aku tak kuat lebih dari tiga lembar. Tak
pernah aku bisa membohongi diri sendiri, ketika ku baca tentang Minke. Hati ini
mengejek, “Mengapa kau hanya bisa
berkhayal?” ada begitu besar perasaan puitis yang, bukan hanya
mengetuk-ngetuk, tapi juga menggedor, meneriaki hati ini. Bukan tentang seks,
bukan juga tentang gairah cinta (passion). Semacam perasaan puitis yang sangat
besar, yang meminta diungkapkan, dialirkan : tapi pada siapa?
Seperti imajinasi ini ketika membaca qur’an : kemana aku
akan mengalirkan pemahaman-pemahaman itu? Aku tak bisa terus menyimpannya,
kecuali, ya, kecuali penghancuran diri ,
ketika semua apapun yang ada dalam diri ini – cinta, ilmu, iman – hancur menjadi
bukan apa-apa, kosong, hidup tanpa mainstream.
Aku dengar nasehat dari Caknun, tentang orang-orang yang
harus memiliki jamaah – karena sendiri itu mati. Tapi, ibarat penumpang asing,
perahu siapa yang sanggup membawaku? Penumpang asing yang tak mau diatur oleh
kebodohan, tak tenang dalam kenyamanan, tak damai dengan kasta – apapun bentuknya,
tak mentolelir kejahatan sekalipun dalam pikiran? Mana, mana kapal yang bisa
membawaku? Aku di sini, seperti sebuah gelas terisi di tengah-tengah manusia
yang tak merasa kehausan. Dan aku tertolong, karena selalu belajar hidup tanpa
mainstream. Tanpa pikiran, perasaan. Hidup macam apa yang seperti itu?