Hari itu, rapat kepala sekolah terakhir – tutup tahun. Para
bapak dan ibu kepala sekolah nampak senang sekali, ramai, nuansanya nikmat
sekali. Berbeda dengan Jon, ia bukannya ikut nimbrung menikmati kesenangan –
yang ia juga tak tahu mengapa mereka merasa senang begitu – di sana, ia justru sibuk menjadi pengamat.
Dalam benaknya, ia masih terkena sindrom kerendahan diri
akut. Bahwa ia sebenarnya sangat tak layak berada di tengah-tengah ‘orang
penting’ seperti mereka. Ia selalu membayangkan, barangkali Tuhan memang suka
sekali bercanda dengannya. Termasuk, dengan menitipkan
ia suatu ‘peradaban’.
Sulit menemukan peradaban dalam sejarah yang tak terbangun
dari penindasan orang-orang lemah. Si Jon sarjana sejarah, ia paham apa yang
harus dilakukan seseorang ketika akan membangun peradaban tanpa harus menindas
: kontradiksi hidup. Di satu sisi, ia harus membuat suatu ‘jalan’ agar semua
orang paham, sedang berjalan ke mana, untuk apa, atau bahkan menyadari bahwa
mereka sedang berjalan – bukan sedang tidur atau duduk-duduk santai. Tapi di
sisi lain, ia seakan tak butuh bantuan apapun dari orang-orang. Mungkin ini
persoalan martabat diri. Si Jon orang rendahan, ia tak mau menjadi ‘pengemis’,
meski ia dari kasta sudra. Jadi wajar, jika Jon merasa biasa saja ketika
berada dalam kesenangan. Hatinya telah lama mati, tak mampu membedakan mana
kondisi senang yang membolehkan dirinya tertawa, mana kondisi sedih yang
mengharuskannya menangis, mana kondisi netral yang mengharuskannya untuk diam. Karena
seringkali, kondisi hidup yang mengharuskan Jon untuk menangis, justru ia
tanggapi dengan tawa riang. Selain mengidap sindrom kerendahan diri akut, ia
mengidap kecacatan mental sejak dini. Entah obatnya apa.
Peradaban – hidup – yang sedang Jon bangun, bukan merupakan ‘hadiah’
dari langit, barangkali. Lama sebelum masa ini, ia mengalami – mungkin tak bisa
dikatakan sebagai badai kehidupan tapi, ketertekanan diri yang membuat hasrat
hidupnya impoten. Ketika ia ditawari
menikmati malam dengan beberapa wanita, pertimbangannya bukan dosa atau hukum
karma, tapi tanpa alasan apa-apa menolaknya. Ia tak mau karena memang tak mau. Ketika
kepalanya bocor di tengah malam, ia berjalan sendirian tanpa bantuan menuju
kontrakan dan di sana ia tak tidur semalaman. Dokternya bahkan sampai bingung,
ini anak sudah gila apa? Kok luka begini parah malah ketawa-ketawa saja? Ia pernah
menolong teman-teman yang membenci-mencurigainya saat kuliah. Tapi setelah
dibantu – karena berhubungan dengan ‘gaib’, ia malah disebut anak dukun. Barangkali,
penyihir. Masih mending Harry Potter yang tampan, si Jon itu penampilannya
mirip orang kena angin topan : gembel kucel amburadul. Terakhir saat kelulusan,
karena ia merasa tak pantas duduk bersama para ‘orang suci’ bernama wisudawan,
ia tak mengikutinya : wisuda. Di rumah, ia justru menjadi penggembala sapi,
pencari rumput, tukang becak, dan pembersih kotoran sapi. Ia benar-benar ‘mati
rasa’, tak tahu dirinya siapa, hingga mau saja di tempatkan dengan kotoran
sapi. Dari sana, ia dititipi peradaban yang sedang ia bangun sekarang.
Ia sadar, bahwa peradaban butuh korban. Dan ia sangat sadar,
apa yang akan terjadi pada para pemimpin yang mengkorbankan orang-orang lemah. Si
Jon memang tubuhnya ringkih – susah disebut sebagai orang kuat, tapi ia
diamanahi ‘sesuatu’ yang sangat mungkin seribu satu anak muda yang mendapatkannya.
Kesadaran itu, yang membuatnya untuk mengkorbankan diri. Satu tahun setengah ia
bekerja, selama itu pula ia tak mengambil gaji. Ketika bendahara bertanya, ia
menjawab, “Belum saatnya,” ia menerima honor itu.
“Jika honor guru ‘sebesar’ ini, maka kas akan sangat minim,
padahal ini sudah tanpa honor kepala sekolah. Apa tidak dipotong saja honor
untuk guru?” tanya bendahara.
“Jangan. Saya akan berusaha lebih keras,” entah, sekeras
apalagi ia akan berusaha untuk menambah ‘penghasilan’ sekolah. Di sisi lain,
sekolah yang ia pimpin itu, gratis – karena memang untuk keluarga kurang mampu.
Tapi, di sanalah letak gurauan Tuhan : dan ia menemaninya
untuk bercanda. Ketika banyak orang membencinya, ia justru mengiriminya makan. Ketika
orang-orang membicarakan kejelekannya, ia malah mengucap puji syukur. Ketika ujian
hidup datang, ia malah semakin mendekat pada Tuhan. Ketika orang memarahinya,
ia malah tersenyum, atau bahkan menertawakan : dirinya sendiri. Ia tak pernah
menutup diri dari apapun, bahkan kemarahan atau kritik pedas orang-orang. Katanya
: Jika pikiran dan hati kita tertutup, lalu bagaimana kita akan keluar? Bagaimana
kita aka bebas? Jiwa kita.
Manusia modern barangkali tak membutuhkan jiwa, karena yang
mereka butuhkan adalah harta, pangkat dan kehormatan nama baik, mutlak. Sebaliknya,
Jon, ia mau dijelekan atau dikagumi, ia akan seperti itu sampai mati. Tak akan
menjadi manusia ‘pesanan’ seperti yang diimajinasikan para penggemarnya. Entah ada
berapa orang yang awalnya memuji menyanjungnya, kemudian mereka menjauh
menghinanya. Tapi ia biasa saja. Ia sudah mampu mengesampingkan perasaan dan
pikirannya dalam hidup. Menjalani kehidupan tanpa berpikir dan merasa. Itu mengapa,
ia tak membenci orang yang menghinanya, sebaliknya, orang lain tak harus
memujinya untuk mendapatkan cintanya. Satu yang pasti, barangkali betul ia
banyak yang suka, tapi, selain ia tak mungkin menikahi semua wanita yang
menyukainya – ia hanya butuh satu, ia sadar belum saatnya. Tapi tentang candaan
Tuhan – melihat para kepala sekolah tua itu yang bergembira, setiap saat ia
menyadarinya.