Teruslah berputar, wahai dunia, teruslah bergerak. Aku tak
akan mengikuti putaran dan gerakanmu : aku memiliki gerak dan tarianku sendiri.
Hanya ikan mati yang selalu mengikuti arus.
Dua hari ini, atau mungkin empat hari (jumat dan sabtu
minggu lalu), rasanya malas sekali berangkat sekolah. Nuansanya lucu. Seperti aku
kecil dulu, saat malas berangkat ke sekolah : SD N 2 Desaku. Aku tak ingat
lagi, kelas berapa saat SD, aku mulai berani berangkat sendiri. Tapi aku masih
ingat, saat baru lulus TK, nyaris saja aku tak mau sekolah SD : karena tak
punya sepatu. Aku menolak dibelikan sepatu (apakah tanpa sepatu aku tak bisa
belajar?). Mungkin, itu pertama kalinya aku menunjukan ‘keanehan’ pada
orangtuaku : bahwa ada yang ‘beda’ dengan anak bungsunya ini. “Ayahmu ini beli
sepuluh sepatu juga sanggup, mengapa kamu tak mau?” mungkin mereka akan berkata
seperti itu. Akhirnya, sepupuku, meminjami sepatunya : dia punya koleksi sepatu
banyak. Romantic sekali.
Ada perasaan ‘remeh’ ketika ku lihat dunia ini. bukan, bukan
dunia dalam arti luas, tapi duniaku. Dunia yang sedang aku gerakan, di sini,
(seakan) sendiri. Dunia yang menghendaki pikiranku untuk selalu menjaga
kegilaannya. Aku pikir, apa yang tersisa dalam diri ini? Jasad kerempeng,
menginginkan kekayaan – tapi – diminta untuk
selalu menjaga jarak dengan apa saja yang diinginkan, keterbatasan hidup. Emm..
mengapa harus ada batas? Apakah agar manusia selalu terjaga dalam kesadarannya?
Kesempatan hidup, pilihan, berada di sekitarku, tapi, seakan ada kekuatan yang
menarikku agar jangan melangkah ke sana. Jika orang lain akan mengerti jika
merasakannya, aku dipaksa harus mengerti hanya dengan melihatnya.
Tiap pilihan – yang sebenarnya keharusan, lalu aku dipaksa untuk menikmatinya meski hanya
sebatas melihat saja. Melihat guru-guru yang tersenyum lega dengan honor yang
sangat memprihatinkan , anak-anak bandel yang – seakan – tiba-tiba mampu
menghafal surat-surat pendek atau doa-doa sederhana, melihat siswa-siswa yang
mengajak bercanda dan bermain sulap kecil atau bernyanyi lagu-lagu buatanku
sendiri : ah, nikmat sekali rasanya.
Banyak hal saat-saat ini yang terjadi di luar dugaanku,
pikiranku. Saat aku kecil, seorang sepupuku suka bercanda – bahwa, aku suka
menyanyikan lagu ‘aneh’, yang katanya diajari oleh seorang anak yang tak
terlihat mata. Aku masih ingat, ketika seorang teman SMA bercerita – bahwa, ada
jin perempuan yang menyukaiku, tidur denganku. Ia anak indigo. Benar, tiap aku
tidur saat itu seakan ada yang memeluk, mencium. Tapi aku tak pernah percaya,
aku manusia rasional-ilmiah. Sampai, pada saat-saat ini, kerasionalan dan
keilmiahan pikiranku terbentur pada kenyataan yang keras, tak terduga. Sesuatu yang
tak biasa terjadi, bukan berarti itu tak mungkin (bisa) terjadi dalam hidup
ini. tapi, kesadaran itu nampaknya telat. Kesadaran yang datang setelah aku
menerima tanggung jawab dan kegagalan-kegagalan berat. Sangat benar, Tuhan maha
tahu. Dan Ia tahu aku ini (sangat mungkin) manusia yang mudah menyombongkan
diri. Alasan itulah, yang membuat-Nya tak bosan memberikan kejutan tanggung jawab besar, diiringi kegagalan pahit di
belakangnya. Itu semua datang, sebagai tanda agar aku selalu tenang, dan rendah
hati (diri?).
Seperti saat ini, masyarakat memanggilku dengan jujur,
namaku sebenarnya. Atau nama panggilan main-ku : Bet (Karebet), Bang Doel, Farid.
Karena memang rasanya tak nyaman di panggil pak
guru ketika aku tidak di sekolahan. Di masyarakat, aku bukan seorang guru,
aku seorang anak muda biasa, yang tak layak disebut guru. Dan sangat tak mungkin manusia kelak menghadap Tuhan dengan
bentuk atau penampilan jasad : guru, dokter, insinyur, bla bla bla. Setiap manusia
akan menghadap Tuhannya dengan telanjang : denotative ataupun konotatif.
Setiap manusia menghadap Tuhan sendirian. Karena cukup
Tuhan-lah yang menjadi teman. Manusia yang sendirian, akan mudah terbujuk
setan. Jangan pernah katakan, kau sendirian : Ia selalu menemanimu. Hanya saja,
Ia akan terlihat oleh mereka yang membuka hati dan pikirannya. Ia selalu dekat.
Mengapa dekat? Karena tak berjarak. Sesuatu dikatakan jauh, ketika ia memilki
jarak.
Seperti manusia dengan dunia. Mereka yang tak berjarak, akan
dibuat bingung olehnya – meski mereka gembira memilikinya. Manusia akan mudah
tersakiti, ketika dunia yang dimimpikan dan diusahakannya dengan
sungguh-sungguh tak dapat ia raih. Pikiran manusia membuat manusia terluka. Apakah
itu berarti, pikiran-lah yang harus dikendalikan lebih dulu? Kemudian, pikiran
bekerja – terutama, melalui mata. Apakah mata yang harus lebih dulu ku
kendalikan arahnya, karena dari sana dunia memasuki diri ini? tapi, mata tak
akan terbuka tanpa keinginan untuk terbuka. Mata berkedip, karena keinginan
naluriah, bahwa ia ingin berkedip sekalipun di luar pikiran. Jadi, apakah
keinginan yang harus dikendalikan lebih dulu? Apakah selama ada keinginan,
manusia akan tersiksa? Tanpa keinginan, apakah manusia akan bahagia, sekalipun
mereka melihat manusia-manusia lain yang teraniaya dunia?
Entah sampai kapan, aku tak berani membayangkan diri ini
yang tenggelam dalam samudera cinta. Diri yang tak terpengaruh apapun, termasuk
dunia yang berputar dan bergerak di luar harapan. Ah, ya, harapan, hampir
seperti keinginan – harapan, adalah sumber khayalan. Seperti kebanyakan
orang-orang beriman – yang lemah namun baik, berani menyiksa diri demi harapan
imbalan akhirat yang sebenarnya begitu menyakitkan : ketika melihat dunia kurang
ajar menari di hadapannya.
Orang-orang yang terlalu banyak berharap, mereka akan lebih
mudah melihat Tuhan. Mengapa? Tuhan lebih mudah dilihat manusia ketika terpuruk
putus asa. Dan harapan-lah yang berada di barisan terdepan untuk itu, ketika
tak sampai. Keputusasaan memang pahit terasa. Tapi, demikianlah kehidupan. Pahit
adalah rasa manis yang dimaksimalkan. Sedangkan manis, adalah rasa pahit dalam
kadar terendah. Hidup ini sebaiknya tak boleh berlebihan, keterlaluan. Meski konyolnya,
dunia memperlakukan kita demikian : keterlaluan.
Duniaku sendiri, dunia administrative, sangat mengebiri
intelektualitas diri. Tapi barangkali, itu memang seharusnya, agar diri ini
menjadi semakin kuat : menantang kemalasan yang mengurung akal dan perasaan. Agar
selalu menantang dunia, berani tak mengikuti irama tarian seksinya. Memilih memiliki
gerak dan tarian sendiri, meski makan hati. Malu rasanya, menggunakan tangan
yang lemah ini, untuk merangkul pinggul dunia yang tengah menari-nari di
depanku. Tangan lemah ini tak akan ku jadikan semakin lemah lagi, dengan
mengemis, meminta-minta : sekalipun atas nama pendidikan. Bagiku, pendidikan
itu tinggi. Mana mungkin kita meninggikan dengan cara merendahkan diri?